Cerpen

Melangkahi Waktu

Sebuah cerpen berjudul "Melangkahi Waktu", yang ditulis oleh Devi Savitri, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya 2017

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Dokumentasi Penulis

Enam tahun terakhir dilalui Karina dengan rasa rindu yang mendalam. Meskipun tidak lagi menyakitkan seperti saat tahu Deon pergi meninggalkannya dan seluruh dunia. Sekuat apapun usahanya untuk melupakan, tetap saja hati kecilnya tak mudah untuk merelakan.

Karina teringat bagaimana Deon muncul di hadapannya secara tiba-tiba. Dengan tampang polos dan logat Kutai yang masih jelas melekat saat Deon menuturkan kata, membuatnya menahan tawa ketika Deon bertanya di mana arah ruang dosen.

“Kamu bukan asli Samarinda ya?” tanya Karina sambil melempar senyum manisnya.

“Iya, aku dari Bengalon.” Dengan malu ia membalas senyum Karina.

“Oh, masih satu pulau. Syukurlah jodohku nggak jauh,” Goda Karina sambil pergi berlalu setelah mengantar Deon ke ruang dosen.

Sejak saat itu Deon selalu mendapati nasib bertemu Karina dengan tidak sengaja. Karina pun selalu senang bertemu dengan Deon, senang menggodanya. Alhasil keadaan seperti itu membuat hati Deon luluh. Ia menyukai Karina. Tentu saja tidak bertepuk sebelah tangan, karena Karina pun memiliki rasa yang sama.

Suatu malam, pada masa kuliah memasuki semester lima, Deon memberanikan diri mengajak Karina jalan-jalan. Kala itu, di Tepian Mahakam masih terlihat remang. Hanya cahaya dari lampu-lampu rumah di seberang sungai yang menjadi penerang. Mereka memandangi permukaan sungai yang menjelma laut—begitu luas, tetapi sejatinya tetaplah sungai. Sesekali perahu bermesin melintas, memperdengarkan bising mesinnya dan deburan ombak yang menghantam dinding pembatas sungai.

Banyak kisah yang mengambang, merasuki kepala, dan menjadi kenangan di malam itu. Segala perasaan pun tercurah. Segalanya. Segala penantian Karina dan segala rasa cinta yang tertumpuk di dalam dada Deon terbayar sudah. Malam itu di akhiri dengan gerimis pertama bulan Desember. Semakin deras, semakin hangat pula.

Di lain waktu, sesekali Karina mampir ke kos-kosan Deon pada Minggu pagi, mengantarkan beberapa lauk untuk sarapan. Selepas sarapan mereka akan pergi ke teras, mengobrol tentang apapun. Tiba-tiba Karina mendengus sedikit kesal.

“Kenapa kamu ngekos di sini sih? Kenapa enggak pindah? Biar kalau aku mau ketemu jadi enggak harus mutar lewat jembatan Mahakam. Coba aja jembatan Mahkota tu cepet jadi, pasti enggak perlu jauh-jauh mutar kan? Kamu juga jadi enak kalau mau ke rumahku, atau antar jemput.”

“Tenang-tenang. Kemarin pas aku pulang ke Bengalon, teman Bapakku nawarin aku kerjaan buat pembangunan jembatan Mahkota. Tapi aku ngambil habis wisuda nanti. Jadi bisa lebih dekat kan? Pokoknya itu jembatan bakal cepet jadi pang  kalau aku yang bikin,” Deon mengelus kepala pacarnya itu.

Waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa hari wisuda telah tiba di depan mata. Hari itu Deon memutuskan untuk melamar Karina. Segala sesuatunya semakin terasa indah bagi mereka. Saat itu di bawah rindangnya pohon, di tempat yang sama saat pertama kali mereka meluapkan rasa cinta. Di sanalah Deon mengatakan kalimat terindah yang kesekian kalinya kepada Karina.

“Karina, namamu sangat indah. Tahukah kamu bahwa nama itu merupakan salah satu nama rasi bintang yang paling terang di angkasa? Dan kemudian rasi bintang itu terwujudkan di depan mataku saat ini. Aku ingin menjaganya seperti Tuhan yang menjaga agar bintang itu tetap terang. Besok aku akan datang ke rumah, melamarmu. Tapi tidak perlu terburu-buru. Tunggu sampai aku punya cukup biaya untuk menghidupimu. Barulah aku meminangmu.” Deon mengecup kening Karina dengan khidmat.

Kemudian datanglah petaka itu pada tahun ketiga setelah Deon melamar Karina. Tidak ada yang bisa menduga dan tidak ada yang tahu kapan Tuhan mencabut daun kehidupan manusia. Tepat di hari Jumat pagi Deon meninggal dunia.

Deon ingin memastikan kerangka jembatan tersebut sudah terpasang dengan kuat. Tidak ada satupun yang terlupa, dari tali pengaman yang sudah terikat mantap di tubuhnya, helm pengaman yang kuat melindungi kepalanya, sampai do’a yang terus diucapnya di dalam hati. Sayang, semua itu tetap menjatuhkannya. Seharusnya tali pengaman itu tetap menyelamatkannya, kalau saja tidak terputus tiba-tiba. Helm yang kuat itu pecah membentur beton penyangga jembatan. Tubuhnya terpelanting hingga tercebur ke sungai.

Dua jam setelahnya barulah tubuh itu ditemukan, sudah tanpa nyawa. Kabar duka itu pun segera terdengar di telinga Karina. Seminggu, sebulan, setahun, berlalu dengan tangisan Karina di setiap malamnya.

Enam tahun berlalu begitu saja. Sejak sore Karina sudah duduk di Tepian Mahakam. Memandangi lampu-lampu yang kini sudah menerangi setiap ranting pohon yang dulu tidak dapat dilihatnya bersama Deon. Semakin larut semakin ramai pula orang yang berdatangan. Hanya untuk sekadar ngumpul sembari menikmati kopi hitam, kentang goreng, maupun menghamburkan asap rokok bersama kawan. Padahal dulu, tempat itu rasanya hanya milik mereka berdua.

Karina merasa suntuk, dengan susah payah ia melalui gerombolan manusia serta kios-kios yang memadati Tepian Mahakam. Kini ia sudah berada di atas motornya. Karina melintasi malam yang sepi, menuju tempat terakhir yang sangat ingin ia kunjungi setelah bertahun-tahun ia benci.

Semilir angin mengibaskan anak rambut Karina. Ia memutuskan berjalan kaki setelah sampai di tempat itu. Dinikmatinya setiap bisikan yang dibawa oleh angin. Matanya menyapu seluruh bagian dari tempat itu, lalu ia melihat ke bawah.

“Di sanakah kau terjatuh waktu itu?” ucapnya lirih. Setetes air mata melintas di pipinya.

“Andaikan jembatan ini rampung sejak dulu, coba saja waktu itu ku paksa agar kau pindah kos-kosan. Kita pasti akan lebih sering bertemu. Lebih sering memandang. Tapi kau selalu bilang ‘Aku tidak harus menunduk lalu mendongak untuk memandangmu di seberang. Aku tidak harus. Mata kita bisa selalu bertemu setiap saat’. Bagaimana mungkin mata kita bertemu tetapi raga kita di pisahkan oleh laut kecil ini. Andai saja kau masih di sini, aku tidak akan menghabiskan waktu di atas jembatan ini sendirian.”

Bahu Karina mulai mengguncang. Air matanya kini menyatu dengan air Mahakam. Ditumpahkannya kembali segala kesedihan yang sempat ia simpan. Diingatnya lagi sosok Deon yang selalu membayangi kehidupannya.

Malam ini menjadi malam Karina bangkit kembali. Ia bertekad untuk merelakan kepergian Deon kali ini. Sudah cukup baginya meratapi hidup dengan kesedihan selama bertahun-tahun. Deon tidak akan pernah dilupakannya, tapi kini ia merelakannya.

“Terimakasih Deon. Kini kota Samarinda sudah tidak seperti dulu. Kota ini telah berkembang dengan indah. Samarinda sangat indah, Deon. Tapi bersamamu dan Samarinda yang dulu, lebih terasa tentram, aku lebih hidup. Kini aku merelakanmu. Aku juga harus seperti Kota ini, maju dan terus maju, tanpa melupakan adat istiadatnya. Selamat tinggal Deon, kini kau bisa tenang.”

Ditulis oleh Devi Savitri, Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya 2017.



Kolom Komentar

Share this article