Jatuh Pergi, Ucap si Mabuk Perasaan
Perasaan tumbuh, menghilang, dan akhirnya menemukan jalan pulang

Sumber Gambar: Website Pexels
Pernah kan berada dalam sebuah perjalanan di mana saat berangkat rasanya jauh sekali. Tapi ketika pulang rasanya perjalanan panjang itu terasa singkat. Lalu, bagaimana jika itu terjadi pada sebuah perasaan? Ketika itu terjadi saat perasaan yang perlahan membelai. Tetesan yang lambat laun menyeruak satu demi satu. Waktuku melambat menguji nalar meratapi bayangnya yang tak kunjung memudar.
Pertemuan itu rupanya belum usai. Masih membayang bagai kunang-kunang pengganggu penglihatan. Masih meniti mencari arah angin yang sepandang. Tapi bukannya bertemu hal pasti, layaknya memanah sambil menutup mata, aku masih disuruh menebak-nebak apakah busurku tepat sasaran atau tidak.
Bayang gelap kerap memudarkan papan jalan, dia lagi-lagi membuatku tersesat dalam kasih dunia fana. Mengajakku terlupa akan Tuhan yang selalu menyelimuti dengan kasihnya. Tapi rupanya ingin tahu itu lebih besar dari rasa takut, aku tetap menggandeng tangannya menyusuri setiap rasa indah dalam bayang-bayang kelabu.
“Hey, Kamu. Cantik tapi sulit untuk digapai,” godanya dalam pikiran. Dia terus merayu dalam perasaan tak berujung itu. Tak berujung? Ah aku hanya mengira-ngira saja.
Dia mengajakku menyirami bunga-bunga dalam jiwa. Bayangannya membawa khayalan penuh makna hingga menembus batas yang seharusnya. Aku masih penasaran, akankah dia membawa ke arah tujuan yang kuinginkan, atau hanya sang penggoda, penggosok daki rusa, yang butuh dambaan pelukan. Jadi, diam saja dalam diam masih menjadi andalan.
Semakin dalam dia membawaku, semakin erat tali yang mencengkram, membuatku terus bertahan pada air bah tak dikenal. Rupanya kini dia membawaku tenggelam akan ketidakpastian yang membutakan. Ah, aku yang membutakan mataku sendiri. Jadi, sekarang hanya dia yang menuntunku. Dia yang terang benderang sehingga papan jalan yang tertutup bayang tak lagi dibutuhkan.
Tapi dasar sang penggoda, penggosok daki rusa, soal membuat tersesat mudah baginya. Tinggal matikan saja terangnya, ‘kan?
Layaknya turunan, angin kencang menerpa wajahku saat aku berlari menyusurinya. Membawa bau-bau tak sedap menerpa indra penciuman. Perasaan berbunga-bunga itu tergores oleh pemantik, menyalakan api. Dia kini merobek rasa yang sudah kubangun pelan-pelan dengan ulet.
Dalam perasaan aku menanam kecemburuan di atas haknya memiliki tujuan lain. Tak sadarkah dia yang membuatku menanam bunga-bunga dalam jiwa. Tak ingatkah dirinya yang tersenyum saat rasa dihati berkembang menumbuhkan intisari yang bermekaran. Kini hanya asik membawa tangan lain mencari tujuan.
“Kamu salah. Kamu tau apa tentangku? Memangnya kamu yang aku suka?” sergahnya dalam pikiran.
Oh, iya. Benar juga. Sebuah ilham merasuki jiwa, merengek minta putar arah. Aku di ambang kebingungan. Setengah hati meminta diteruskan, setengahnya lagi marah kepadaku yang mabuk, mati duduk, tenggelam. Semakin besar perasaan, semakin kurasa hilang arah mata angin. Dia juga sedang mabuk, menabur serbuk, pada perasaannya sendiri. Sedangkan aku mengais-ngais jikalau ada yang tersisa.
Rupanya tujuanku sudah kelihatan. Aku sudah sampai dari kenyataan, berwarna abu-abu yang kelam menawan. Tuhan memberiku luka yang mengering. Tujuanku sudah sampai dan aku harus pulang. Aku berbalik menyusuri perasaan-perasaan sama yang familiar. Bunga-bunga yang kulewati tumbuh berkemang kini hanya layu tak bertuan.
Wah, cepat juga dia menghilang. Bayang-bayang menutupi papan jalan kini telah tiada. Betapa mudahnya aku menemukan rumahku kembali. Diriku sendiri. Tuhan Sang Pembolak-balik hati. Menanam rasa rupanya lebih sulit dari pada mengikhlaskan. Jadi, saatnya menemukan jalan lain.
Cerpen ini ditulis oleh Siti Mu’ayyadah, mahasiswa Program Studi Sastra Inggris FIB angkatan 2022