Malam Hari
Malam hari yang penuh keluh kesah
Sumber Gambar: Pexels
Jam menunjukkan pukul 00.00, dan kau masih terjaga. Duduk di depan perangkat laptopmu yang menampilkan halaman Word putih tanpa ada sepatah kata pun terketik. Halaman itu putih dan kosong, agaknya mirip dengan hati dan pikiranmu malam ini.
Kau meletakkan jemarimu di atas keyboard, akhirnya menari untuk menuliskan satu kata hingga terbentuk satu kalimat. Namun, kau merasa ragu, lantas menekan tombol hapus. Kembali ke awal. Lingkaran itu berputar hingga tak sadar, sudah setengah jam kau duduk. Tak ada tulisan yang berhasil kau ciptakan hari ini.
Frustrasi, kau mengacak-acak rambutmu yang sudah tidak rapi entah sejak kapan. Cangkir teh yang kau siapkan untuk menemani malam pun sudah habis, sementara belum ada tulisan yang kau selesaikan. Dadamu sesak, kepalamu pening. Sebuah dinding tak kasat mata menghalangi inspirasimu untuk mengalir bebas.
Merasa tak ada yang bisa kau tulis, akhirnya kau menutup laptop. Namun, kau belum beranjak dari tempat duduk ketika layar itu sudah menghitam. Diam. Pelan kau meletakkan kepalamu yang sudah terlalu berat itu di atas meja. Matamu terpejam, setetes air mata jatuh. Tangisan layaknya hujan, intensitasnya bertambah seiring berjalannya waktu. Tanpa sadar, kau sudah terisak begitu saja di atas meja belajar. Kamarmu yang sepi akhirnya terusik oleh suaramu yang mengindikasikan kelelahan.
Impianmu adalah menjadi penulis beken. Melahirkan berbagai judul yang dicintai oleh banyak penggemar. Sudah difilmkan, dibaca sekian juta orang, kalimat yang kau impikan hadir di setiap sampul tulisanmu.
Impianmu adalah melahirkan karakter demi karakter yang akan dicintai banyak orang. Menuliskan cerita yang akan merubah hidup banyak orang. Banjir pujian. Ingin melihat karyamu bersanding dengan karya penulis kondang.
Namun, pada akhirnya impian dan mimpi itu tidak bisa mengalahkan realita. Kau sudah menulis banyak hal, tapi tak ada satu pun penerbit yang mau meminang ceritamu. Viewers yang tercatat paling banyak hanya tiga digit di platform online, dan malam ini, kau mencoba untuk menulis lagi. Namun, kau gagal.
Impianmu itu dicerca banyak orang. Hanya menjadi penulis tidak akan memberikan apa-apa, kata mereka. Kau berusaha tutup telinga, tetapi kau juga merasakan ada sebuah fakta di antara kalimat itu. Selama ini kau menulis hingga larut, tetapi… apakah semuanya berbuah hasil yang kau inginkan? Penerbit selalu menolak tulisanmu dengan segala macam alasan. Kau semakin hari semakin tua, banyak tuntutan dari banyak arah. Orang tuamu pun menyuruhmu untuk menyerah saja, dan memilih pekerjaan yang jelas. Seperti menjadi pegawai sipil yang monoton dengan gaji yang sesuai UMR kota kau tinggal.
Tentu saja kau menolak. Namun, semakin kau bertambah usia, semakin kau menyadari bahwa hidupmu tak akan menentu jika terlalu idealis. Entah sudah berapa banyak contoh mereka yang gagal menempuh passion yang sudah dipaksakan kepadamu hanya untuk membuatmu sadar. Dunia itu kejam untuk mereka yang bermimpi setinggi angkasa.
Motivasimu semakin lama semakin memudar. Ratusan ide yang sudah kau kumpulkan bertahun-tahun menguap seperti bekas air hujan di daerah kering. Tak akan datang dalam waktu dekat lalu menghilang dengan cepat. Bayangan masa lalu ketika kau yang masih polos dengan lantang menyebut penulis adalah cita-cita terbesarmu lewat, semakin menambah sesak di dadamu. Tak bisa terpikirkan betapa kecewanya dirimu kecil ketika melihat kau yang sekarang, meringkuk dalam kesedihan tanpa satu pun karya yang tercipta.
Kau masih tenggelam dalam tangisan. Suaramu meminta tolong pada siapa pun yang ada di kamar sunyi ini. Kau lelah. Kau tidak tahan. Apakah impianmu itu terlalu sulit untuk diraih? Kau bertanya dalam hati. Kau mendekap tubuhmu yang bergetar, lalu dirimu bertanya pertanyaan yang sama setiap harinya.
“Apakah aku punya masa depan?”
Angka di jam ponselmu menunjukkan pukul 00.15 saat kau menyalakannya. Tangisanmu berhenti. Matamu sedikit perih setelah mencurahkan kesedihanmu. Kau menarik napas lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Jantungmu yang berdebar kencang mulai kembali ke ritme normal. Meskipun sedikit pusing, kau mengangkat kepalamu lagi.
Pandanganmu mengarah ke laptop yang sudah kau tutup sebelumnya. Setelah memantapkan hati, kau kembali membuka perangkat di hadapanmu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, kau segera menulis segala hal yang 15 menit lalu kau rasakan. Tak terasa, tiga halaman telah kau lewati. Apakah kau merasa bangga? Tak ada yang mengetahui jawabannya bahkan dirimu sendiri.
Sekali lagi kau menatap layar dengan sepasang mata merahmu. Ada sedikit perasaan lega setelah merekam semuanya dalam bentuk tulisan. Apakah ini akan menjadi karya perdanamu? Apakah tulisan ini akan mendekam di laptopmu hingga bertahun-tahun?
Sekali lagi, pertanyaanmu tidak menghasilkan jawaban pasti. Kau menyerahkannya pada dirimu di masa depan. Setidaknya, malam ini kau menemukan satu poin penting.
Kepuasan ketika selesai mengetik itulah yang seharusnya kau kejar. Menjadi penulis nomor satu dengan semua bukumu yang dipajang di setiap rak toko buku di penjuru negeri memang terlalu besar untukmu. Melewati terlalu banyak langkah ketika menaiki tangga hanya akan berakhir jatuh bahkan sebelum kau memulai.
Kau menghela napas. Setelah menyimpan tulisanmu, laptop kau matikan kemudian segera memindahkan dirimu ke kasur. Barusan dirimu terjatuh lalu berusaha bangkit, waktunya kau istirahat.
Tak apa jika tulisanmu belum masuk bacaan best seller. Selama kau terus mencoba, tiga ratus kata pun bisa kau sebut sebagai karya. Dunia memang kejam untuk mereka para pemimpi, tapi tak ada larangan untuk mengambil langkah yang pelan. Perlahan, tetapi terus melangkah ke depan.
Selamat malam, mimpi yang indah.
Cerpen ditulis oleh Anisa Dwi Lestari, mahasiswi Sastra Indonesia, FIB 2021.