Cerpen

Mahakarya yang Tertunda

Sebuah cerpen yang berjudul "Mahakarya yang Terlambat", ditulis oleh Darul Asmawan, mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP 2013. (Sumber foto: istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Kamar sewaanku terasa lengang malam ini. Semua barang milikku sudah terkemas rapi. Besok pagi aku akan menempuh ribuan mil untuk pulang. Pulang ke kampung halaman membawa rasa bangga. Tak pernah aku sangka, masa kecilku yang saban hari hanya sibuk membaca dan membantu orang tua, sekarang bergelar sarjana di tanah Ratu Cleopatra.

Malam ini, aku sangat bahagia. Pertama, karena aku telah menuntaskan S1 dengan nilai summa cum laude di Universitas Al-Azhar. Kedua, karena target lulus di usia 20 tahun yang aku rumuskan di peta hidupku tercapai. Ketiga, karena aku akan pulang membawa mahakarya ini untuk satu-satunya orang tuaku, ayahku.

Kuambil sebuah foto kusam di dalam dompet, kutatap wajah kedua orang tuaku. Nampaklah kedua wajah mereka tersenyum. Aku duduk sembari merenungi wasiatnya dulu. Mahakarya ini adalah amanah besar yang berhasil aku tuntaskan. Ini amanah! Bukan dari keinginanku, bukan pula ayahku, melainkan wasiat almarhum ibuku.  

Merengkuh title sarjana Al-Azhar adalah cita-cita besar yang gagal ibu wujudkan semasa mudanya. Ibu berperan besar atas keberhasilanku lolos seleksi Al-Azhar. Setahun aku berkuliah di Kairo, ibu justru berpulang di usia 63 tahun. Cita-cita ibu kulanjutkan, dan kini bisa kupenuhi. Inilah mahakarya pertama yang bisa aku persembahkan untuk ibu. Satu misi hidupku selesai.

Malam beranjak, pagi menyingsing. Perjalanan penuh kerinduan itu tiba juga. Rindu akan sosok ayah, tiga tahun sudah aku tak berjumpa beliau. Rute penerbangan Kairo-Balikpapan dengan dua kali transit aku tempuh seharian. Setelah itu, dua jam perjalanan rute darat. Aku sampai di rumah malam harinya.

Ayahku malam itu duduk santai di beranda rumah. Beliau menggunakan setelan khasnya, baju koko putih dan sarung tanggung, setelan identik beliau pasca sholat Isya berjamaah di Masjid. Melihat aku datang, wajah tuanya tersenyum cerah laksana rembulan. Senyum yang sama persis seperti di foto. Hanya kini lebih sepuh.

Aku memeluk ayah penuh bahagia, kuciumi kedua tangannya. Kerinduan tergurat jelas di wajah ayah, apalagi wajahku. Beliau kemudian berucap pelan, “Selamat datang anakku.” Aku bercerita banyak hal tentang studiku di Cairo malam itu. Ayah menyimak takzim, tidak banyak memotong. Beliau lebih banyak tidak paham ketimbang memahami ceritaku.

Dua jam berlalu, Ayah menyuruhku istirahat. Aku mengangguk, beranjak menuju kamar. Tiga tahun kutinggalkan, kamarku tetap bersih. Deretan tropi juara olimpiade sains milikku masih terhias rapi. Itu deretan mahakarya kecil, oase di tengah kemelaratan akut keluarga kami.

Malam itu, rumusan peta hidup kembali aku hampar. Aku tidak boleh bersantai. Pertama, karena aku baru melaksanakan 20 dari 100 cita-citaku, masih ada 80 lagi, masih banyak. Kedua, karena aku harus merintis jalan menuju Baitullah. Ini cita-cita ayahku, itu juga yang tertulis di peta hidupku, cita-cita nomor 31. Aku harus mewujudkannya segera.

Dua minggu berselang, aku mengejar cita-cita menuju Jakarta. Menurutku itu adalah  kemuliaan hidup. Ayah memberi restu, disertai wejangan-wejangan khas orang tua. Hari berganti minggu, bulan mengejar tahun. Tak terasa, usiaku sudah menginjak 23 tahun. Malam ini, aku tersenyum, aku kembali berhasil mengejar cita-citaku yang ke-30 tadi pagi.

Aku telah berhasil menggenggam posisi penting salah satu media besar pusat, menjadi pemimpin redaksi termuda di perusahaan media Islam terbesar se-Indonesia. Ongkos menuju Baitullah untuk dua orang telah cukup. Aku kembali tersenyum. Tiba-tiba panggilan telepon masuk. Dua menit cerita penelpon membuyarkan kebahagiaanku. Rekahan senyumku seketika mengkerut.

Kabar buruk kembali datang malam ini. Wajah penuh semangat ini seketika berurai air mata. Foto kusam itu kembali kupandangi dengan getir. Kembali kurenungi wasiatnya dulu. Ragaku sudah siap berangkat ke Baitullah. Tapi tidak dengan raga sang pemilik wasiat, ayahku. Mahakarya yang kuperjuangkan kembali terlambat dinikmati tuannya.

Beliau meninggal tadi sore di usia 74 tahun. Anak semata wayang ini kini sempurna sebatang kara. Aku kembali teringat sosok ayah. Meski tak mengenyam bangku sekolah, ayah adalah guru spiritual terbaikku. Nasehat-nasehat bijak beliaulah yang hari ini menuntunku hingga usia ke-23. Aku tiba-tiba teringat dua pesan ayah seminggu sepulangku dari Kairo.

“Zafran, kamu punya banyak cita-cita besar, itu adalah kemuliaan hidup! Tugasmu adalah berusaha keras, sukses-tidaknya cita-citamu tergantung usahamu, selebihnya serahkan pada-Nya,” aku mengangguk. “Dan apapun yang terjadi padamu, yakinlah bahwa itu yang terbaik bagimu. Selalu ada hikmah di setiap peristiwa, terlepas itu buruk secara kasat mata.”

Aku merenungi pesan ayahku yang kedua. Apakah itu juga berlaku bagiku saat ini? Banyak orang jatuh dan bisa bangkit setelah kehilangan orang tua. Bahkan Baginda Nabi Muhammad yatim piatu saat usia enam tahun, tapi beliau mampu membangkitkan gelora Islam ditengah paradigma jahiliah.

Aku menarik nafas panjang dan menelan ludah sejenak. Batinku berkata mantap, aku harus menuntaskan wasiat ayahku. Esok harinya aku bertolak menuju Baitullah. Dalam tawaf, aku terbayang senyum Ibu memandangku bergelar sarjana Al-Azhar, terbayang pula senyum ayah memandangku menjadi tamu di Baitullah. Air mata bahagia mengalir tak terbendung.

Jika diizinkan memutar balik waktu, aku ingin benar-benar mengukir senyum itu di wajah mereka berdua dengan mahakarya pesembahanku ini.

Ditulis oleh Darul Asmawan, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, angkatan 2013.



Kolom Komentar

Share this article