Cerpen

Lukisan yang Berkisah

Hal terakhir yang Sabrina ingat adalah keinginan untuk melupakan hidupnya

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Pexels

Hal terakhir yang Sabrina ingat adalah keinginan untuk melupakan hidupnya.

Sabrina bangkit dari ranjang milik Tamara. Si empunya tempat tidur tengah asyik melukis sesuatu di atas sebuah kanvas kecil, tak jauh dari ranjang tempat Sabrina berada.

Beberapa saat lalu, Tamara bercerita. Sabrina adalah orang baik dan ramah yang punya banyak teman. Sabrina percaya, ia adalah orang baik karena pada dasarnya semua orang adalah baik. Tetapi tergantung kepada siapa mereka bersikap. Seperti saat ini. Sabrina berusaha bersikap baik dan hati-hati pada Tamara yang pertama kali dilihatnya saat ia terbangun dari tidur pagi tadi.

Tamara membereskan peralatan melukisnya, memberi isyarat pada Sabrina untuk mengikutinya keluar kamar. Mereka berkeliling cukup lama. Sabrina pikir, rumah Tamara terlalu luas untuk ditempati seorang diri. Keduanya lalu melewati meja makan besar dengan 6 kursi di sekelilingnya, terlalu suram untuk dipakai makan sendiri.

Tamara menggeser pintu besi, gelap yang menyapa. Sabrina memandangnya horor. Tapi tanpa ragu, Tamara melangkah menuruni tiap anak tangga, menuju rubanah.

Diliriknya Sabrina yang membatu “Ikuti aku,” pungkasnya sambil tersenyum.

Lampu di atap rubanah menggunakan sensor yang tiap kali Sabrina dan Tamara menjejakkan kaki akan menyala dan lampu yang sudah mereka lalui akan padam. Sabrina menyembunyikan garpu yang tadi dicurinya dari meja makan di balik dress-nya sambil memperhatikan rambut Tamara yang bergoyang seiring dengan langkah kakinya.

Kini anak tangga berganti lorong panjang. Dindingnya putih dan lampu menyala terang, di kanan dan kiri lorong itu ada banyak lukisan. Sabrina mengira lukisan tersebut pasti karya Tamara. Seperti berjalan di sebuah pameran yang sepi, Sabrina menilik satu per satu lukisan yang dilihatnya.

Sabrina menarik sudut bibirnya, lukisan berjudul "Tikus yang Selalu Sedih dan Katak yang Baik Hati" menarik perhatiannya. Judul lukisan itu tidak masuk akal dan nyeleneh, padahal isi lukisan tersebut adalah seorang anak perempuan yang memanyungi anak perempuan lain yang kehujanan. Meski begitu, lukisan-lukisan itu tampak tidak asing bagi Sabrina. Sekelebat ingatan tentangnya dan Tamara seketika melintas di kepalanya.

Tamara menuntun Sabrina ke depan lukisan utama berisi siluet dua anak perempuan di tepi dermaga. Di ujung lukisan tersebut tertera tulisan "Katak Jahat dan Tikus yang Tidak Pernah Bahagia" karya T.

Sabrina terbelalak, ia menoleh ke belakang tetapi lukisan-lukisan yang ia lihat sebelumnya menghilang dilahap dinding putih. Sabrina kebingungan, ia ingin memastikan bahwa lukisan sebelumnya adalah karya Tamara dan ia tidak salah lihat.

Sabrina membalikkan badan dan mendapati lukisan karya T. secara ajaib perlahan membesar, seolah memaksa Sabrina untuk mengingat kembali kenangan dalam lukisan tersebut. Sabrina menjatuhkan garpu yang digenggamnya erat sejak tadi, memegangi belakang kepalanya yang terasa nyeri. Memaksa Sabrina membuka pandora dalam memorinya.

Pagi itu, hari ulang tahun Sabrina. Ayah menghadiahinya sepatu bewarna biru kesukaannya. Tamara yang melihat itu cemburu dan pergi mengadu pada ibu. Ia menangis dari pagi hingga menjelang sore. Ibu berkali-kali menenangkan dan mengulangi kalimat yang sama, “iya, nanti ibu belikan.”

Tamara menutup telinga. Tamara pernah menonton acara televisi yang mengatakan, kalau nanti artinya sesaat sebelum mati. Jadi, ia terus merengek sampai akhirnya ayah kembali dari bekerja sambil membawa kue tar strawberry.

Ayah meletakkan kue itu di atas meja makan, memanggil Sabrina yang sibuk menyelesaikan tugas menggambarnya untuk menikmati kue itu bersama. Tamara menyeka air mata di pipinya, turut melingkar di meja makan bersama ayah dan Sabrina sedangkan ibu pamit pergi membeli beras.

Sabrina dan Tamara sama-sama diam memerhatikan ayah yang membuka kotak kue dan menaruh lilin angka 11 di atasnya. Ayah menyanyikan lagu selamat ulang tahun, Tamara memeriahkan dengan tepukan tangannya sebelum meniup lilin dan tiba saat yang Tamara tunggu-tunggu. Ayah memotong kue menjadi bagian kecil dan membaginya di piring dessert.

Tamara bergeming menanti suapan, tetapi ayah dan anak itu sama sekali tidak memedulikan keberadaan Tamara. Ia pun berinisiatif utuk mengambil sendiri bagiannya. Sayangnya, belum sempat sendok logamnya menyentuh krim kue, ayah sudah menepis tangan kecil Tamara membuat sendok itu terlepas dari genggamannya dan jatuh di kaki meja.

“Mau apa kamu?”

Ayah menatap Tamara tajam. Ayah Sabrina bukan ayahnya, jadi Tamara sadar betul kalau keberadaannya tidak disukai orang itu. Tetapi bersedia menikahi Ibu Tamara, berarti seharusnya menerima ia juga ‘kan? Ibu selalu bilang Tamara harus bisa mengambil hati ayah, sekarang Tamara sedang berusaha.

“Kuenya kelihatan enak!” ujar Tamara. Ia tak gentar, matanya justru berbinar riang.

“Pergi, sana!” Kata-kata singkat itu keluar dari mulutayah, nada dinginnya mencapai ulu hati Tamara bahkan membuat Sabrina merinding. Tamara tidak kuat lagi menahan air mata yang memupuk, kaca di matanya akhirnya pecah membanjiri wajah cantiknya. Tamara lelah berusaha, ia juga sudah bosan sendirian dan selalu diasingkan. Saat ini, ia hanya butuh Ibu yang memeluknya, tapi ia juga benci Ibu yang selalu membela Ayah Sabrina.

Tangisannya semakin menjadi, mengusik ruang pendengaran Ayah. Ayah pun membara, ia benci mendengar orang merengek, ia tidak butuh anak yang lemah dan cengeng. Ayah hanya suka Sabrina yang sempurna. Ayah lantas menyeret tangan Tamara, membanting anak itu ke sofa panjang ruang keluarga.

Ayah melepas gesper yang melingkar di pinggangnya. Melilitnya sedikit di tangan sebelum melayangkan ikat pinggang berbahan kulit rusa itu ke tubuh Tamara.

Tamara memekik, kaos merah mudanya tidak bisa menutupi rasa perih kala kepala gesper mencium punggungnya. Ayah Sabrina adalah orang jahat. Ini bukan yang pertama kali Tamara dipukul, tetapi ini yang paling mengerikan. Tamara merapalkan maaf berulang kali, tapi Ayah sudah dikuasai roh jahat, ia menjadi ganas dan tuli.

Sabrina mengintip dari balik tembok, berpikir ratusan kali untuk membantu atau tidak. Lama-lama Sabrina resah sendiri, dilihatnya Tamara sudah seperti siput yang ia tetesi jeruk nipis kemarin malam. Sabrina memanggil Ayah dengan berteriak tapi Ayah tak dengar. Jadi Sabrina cepat-cepat menghampiri Ayah dan menjadikan tubuhnya tameng. Gesper itu jatuh mengenai bahunya, Sabrina menggigit bibir menahan sakit. Ia memandang Tamara yang meringkuk penuh luka dan peluh. Tamara sudah bertahan sampai akhir.

Ayah terkejut dengan kehadiran Sabrina. Ia membuang ikat pinggangnya jauh ke belakang dan bertanya pada Sabrina apa ia kesakitan. Bagi Sabrina, Ayahnya tentu orang yang baik. Tapi belum tentu bagi orang lain, lebih-lebih lagi Tamara.

“Ini sedikit perih, tapi aku baik-baik saja,” jawab Sabrina

Tanpa berkata sepatah kata lagi Ayah pergi mencari obat apapun yang bisa menghilangkan perih di bahu Sabrina.

Sabrina mengambil es batu di kulkas dan membungkusnya dengan plastik lalu menggendong Tamara di punggungnya, membawa saudara tirinya itu ke dermaga tak jauh dari rumahnya. Sabrina juga sudah memotong sebagian kue tar strawberry dan membawanya.

Mereka tiba di dermaga menjelang magrib. Semburat oranye menghiasi langit, burung-burung gereja berlalu lalang hendak pulang, para nelayan juga menarik jangkar untuk pergi memancing ikan.

Keduanya duduk di tepi dermaga. Sabrina memberikan kue tar pada Tamara yang duduk sambil meringis. Disikapnya kaos merah muda Tamara, memperlihatkan memar panjang yang tercetak di punggung Tamara. Sabrina penah membaca di satu buku, kalau es batu bisa meredakan rasa perih. Jadi ia langsung saja menempelkan es batu sealur dengan memar panjang tak beraturan itu.

“Apa kamu nggak mau pergi, Tamara? Berada di sini pasti menakutkan,” tanya Sabrina.

Tamara berhenti mengunyah. “Maksudnya? Pergi ke mana?”

Sabrina menerawang kapal yang pergi dari kejauhan. “Nggak tahu, tapi bukankah rumah kita adalah neraka bagimu?

Tamara memandang kue tar strawberry tidak lagi berselera. Jauh di lubuk hatinya, Tamara menyetujui pernyataan Sabrina.

Suhu tubuh Tamara meningkatkan, mempercepat proses pencairan es batu. Air yang mengalir kini tidak hanya dari matanya, tetapi juga punggungnya, membasahi belakang kaos merah muda. Sabrina berhenti mengompres luka Tamara karena kehabisan es batu.

“Ikut aku, Mara.” Sabrina menarik lengan Tamara agar ia berdiri.

“Ke mana?”

Sabrina mengangkat tangannya, menunjuk matahari tenggelam di ufuk Barat. “Tempat yang jauh.”

Tanpa aba-aba Sabrina melompat bebas mencium air laut. Tamara yang digandengnya terkejut dan turut jatuh. Di bawah permukaan air, Sabrina melepas pegangannya pada Tamara. Membiarkan adik tirinya terus mengepak-epak dan mencari pijakan sedang Sabrina membiarkan dirinya tenggelam hingga kesadarannya perlahan memudar.

Tamara bodoh, seharusnya ia tenang kalau ingin hidup.

Jam beker berdering nyaring, gadis berambut panjang mematikan alarm tersebut tanpa bangkit dari ranjang. Sudah semenjak sepuluh tahun lalu, bangun adalah yang paling ia hindari. Tiap kali bangun, kepalanya pening seperti mau pecah dan tiap kali ia melihat matahari hari ini rasa bersalah mencubit dirinya.

Seorang Ibu masuk ke kamarnya, menyikap gorden dan menyuruhnya bangun. Suaranya lembut yang memasuki ruang pendengarannya pagi ini, adalah satu-satunya harapan meski di saat yang sama suara itu membuatnya semakin dibelenggu rasa sesal. Ibu tirinya yang baik. Maaf, Bu. Seharusnya aku pergi sendiri.

Ditulis oleh Bintang Hidayah, mahasiswa FKIP 2020.



Kolom Komentar

Share this article