Cerpen

Lubang Tambang dan Penantian-penantian Panjang

Sebuah cerpen karya Hijrana, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, angkatan 2018.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Merdeka.com

Valentine segera tiba. Cokelat-cokelat sudah mulai memadati etalase toko pusat perbelanjaan kota. Cokelat itu dihias secantik mungkin agar orang-orang yang lewat tertarik menyentuh dan membelinya.

Sementara jauh di jantung pusat kota itu, seorang gadis remaja dengan perasaan berdebar di dadanya tidak sabar menanti empat belas Februari. Sekarang tanggal dua, dan waktu terasa berjalan begitu lambat. Setiap hari menjelang petang, gadis itu duduk di beranda rumahnya yang tepat menghadap ke ufuk barat. Ia senang melihat matahari terbenam. Ia lebih menikmati rindu dan penantiannya, katanya.

“Kapan dia mau pulang?”

“Sebentar lagi. Ia sudah berjanji akan pulang sebelum empat belas Februari. Kita akan menikmati Valentine di bawah sinar bulan purnama,” jawab perempuan itu dengan senyum merekah di wajahnya. Sebenarnya tidak ada purnama di tanggal empat belas bulan ini, tetapi ia menciptakan sendiri di kepalanya.

Tanggal dua berlalu dan jalanan kota lebih sering macet dari hari biasanya. Orang-orang datang silih berganti mengunjungi pusat perbelanjaan cokelat tersebut. Seorang pria dengan pakaian yang tidak begitu menarik meminta pelayan toko agar mengeluarkan sebatang cokelat dengan pita merah dari dalam etalase itu. Ia yakin kekasihnya pasti menyukainya. Setelah cukup lama tinggal dan bekerja di kota, hidup pria itu memang bisa dibilang berkecukupan. Ia pekerja keras dan tidak senang berfoya-foya. Ia bekerja di sebuah perusahaan batu bara yang sukses. Tidak heran jika gajinya cukup untuk membayar kontrakan, membeli makan dan mengirim uang untuk keluarga di kampung. Juga untuk membeli sebatang cokelat untuk pacar.

Dengan perasaan menggebu, pria itu membawa cokelatnya ke meja kasir, membayar, lalu menentengnya dengan bangga keluar dari toko itu. Sama seperti pasangan-pasangan yang lain, ia juga akan menikmati hari kasih sayang dengan bahagia, batinnya.

Kalender telepon pintar menunjukkan tanggal dua belas. Waktu di mana pria itu diberi izin oleh perusahaan untuk mengambil cuti dan pulang kampung. Setelah sekian lama memendam rindu, akhirnya ia diberi waktu untuk menuntaskannya. Sebenarnya, pria itu amat yakin bahwa rindunya tidak akan pernah benar-benar tuntas. Pertemuan hanya upaya untuk menumbuhkan rindu-rindu lain setelah ini. Tetapi apa pun itu, ia tidak peduli. Ia harus pulang menemui kekasihnya.

Dua belas Februari yang manis, pria itu pulang dari kantor menuju kontrakannya dan mengemasi pakaian yang akan dibawanya pulang esok hari. Jarak antara kota itu dan rumahnya tidak begitu jauh, hanya memakan waktu sekitar enam jam jika ditempuh dengan mengndarai sepeda motor.

Keesokan harinya, pria yang sering dipanggil dengan Ujang itu mengendarai sepeda motornya, melesat meninggalkan kota menuju kampung halaman. Dengan senyum semringah Ujang menatap bangunan-bangunan tinggi yang ia lewati di sepanjang jalan dengan bahagia. Meski cuaca di bulan itu sedang tidak baik dan sangat sulit ditebak, kapan akan hujan dan kapan matahari akan bersinar terus, ia tetap melaju dengan sangat bahagia. Tidak peduli jika sepanjang hari itu matahari akan terus memancarkan sinarnya atau hujan akan mengguyur sekujur tubuhnya. Ia tidak akan berteduh, batinnya.

Pukul empat sore. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, cuaca di bulan itu sama sekali tidak bisa ditebak. Tiba-tiba awan gelap mengepul tebal di angkasa, pertanda hujan akan segera turun. Meski masih ada sedikit kemungkinan untuk ia tidak jatuh. Suka-suka hujan. Terserah kapan ia ingin menjatuhkan diri, atau terserah Tuhan kapan hujan itu Ia izinkan turun membasahi bumi, serta menyiram habis tubuh pria dimabuk asmara itu.

Pukul lima sore lewat lima belas menit, sepertinya langit tidak mampu lagi membendung awan gelap itu. Hujan turun perlahan. Rintik demi rintik sampai ke bumi. Rintik demi rintik jatuh menyentuh tubuh Ujang yang ringkih. Tetapi hujan bukan masalah baginya.. Ia telah siap basah sebelum berangkat.

“Sabar Jang, sisa setengah jam lagi baru nyampe,” ucapnya menguatkan diri.

Hari semakin sore, hujan kian deras dan langit semakin gelap. Lampu-lampu warga dinyalakan dan adzan maghrib mulai dilantunkan dari pengeras suara masjid yang dilalui Ujang. Ia terus melaju dengan sepeda motornya. Meski hujan dan gelap mulai menghalangi pandangannya, ia tetap melaju dalam kecepatan yang tinggi. Agar cepat sampai dan tidak menemukan kendala di jalan.

Melaju.. melajuu.. dan sreeeetttt….

Ban motor Ujang terpeleset di gundukan tanah becek dan licin. Tubuh Ujang terpelanting, seketika ia merasa berada dalam genangan air, seperti sebuah kolam. Dengan kemampuan berenangnya yang terbatas, Ujang berusaha mencari tepi kolam itu dalam gelap tanpa lampu. Tetapi Ujang tak kunjung menemukan tepi kolamnya. Semakin lama, kolam itu terasa semakin penuh oleh air hujan. Ujang mulai kewalahan dan merasakan keram di kakinya.

“Apakah ini adalah sungai yang dalam?” tanya Ujang pada dirinya sendiri.

Tetapi Ujang tentu sangat tahu bahwa salah satu hal yang tidak dimiliki kampungnya adalah sungai. Kampungnya juga tidak punya kolam renang, yang mereka miliki hanya lubang bekas tambang. Dan lubang tambang itulah yang menjebak tubuhnya saat ini. Keram di kaki Ujang tidak tertahankan lagi, ia tidak bisa lagi bergerak mengayun. Air di lubang tambang itu semakin penuh hendak melahap habis tubuhnya. Ia mulai kesulitan bernapas dan akhirnya pasrah pada air yang sebentar lagi menjadikannya tiada. Ia tidak bisa minta tolong. Tidak akan ada siapa pun yang melintasi jalanan itu saat hujan lebat. Mereka semua tahu bahwa lubang tambang itu berbahaya. Lubang tambang itulah yang beberapa bulan terakhir menjadi hantu di lingkungan warga sekitar. Lubang yang dibiarkan menganga lebar tanpa pengaman dan tanpa plang peringatan. Puluhan jiwa telah menjadi korban karena tertipu dengan lubang malapetaka itu. Dan sebentar lagi Ujang akan mengalami nasib yang sama. Ironisnya karena perusahaan tempat Ujang bekerjalah yang pergi meninggalkan bekas lubang tambang itu. Setelah menguras habis harta kekayaan batubara, mereka pergi tanpa tanggung jawab.

Dalam sisa nyawa yang sekarat, Ujang menangis. Harapannya pupus. Tidak ada lagi hari valentine, tidak ada lagi bahagia. Semua harapannya berakhir sia-sia di lubang tambang bekas galiannya sendiri.

Namun penantian gadis itu belum juga usai, ia masih menunggu. Masih berharap bisa menikmati valentine di bawah sinar purnama bersama Ujang, kekasihnya. Meski valentine dan purnama sudah lama berlalu, ia tidak tahu jika apa yang ditunggu telah tiada.

Tidak, ia tahu tetapi menolak untuk tahu. Seperti itulah ia menghabiskan hari-harinya di beranda rumah dengan penantian.

“Kau tahu, tidak ada penantian paling panjang selain menanti sesuatu yang tidak akan pernah tiba,” gumamnya dengan hati dan mata nanar.

Ditulis oleh Hijrana, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Indonesia 2018



Kolom Komentar

Share this article