Cerpen

Lose and Give Up

Cerpen.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

Seperti biasa pukul 4 sore, aku duduk di kedai kopi yang menjadi langgananku sejak 2 tahun lalu. Hari ini tidak ada tugas kuliah. Beruntung sekali, aku tidak seperti teman-temanku yang setiap hari dijatuhi tugas. Bersyukur karena jadwalku tidak padat dan dosen-dosenku pun tidak menyusahkan.

Aku bosan di rumah, dengan kegiatan yang itu-itu saja. Bangun tidur, sarapan, kuliah daring, datang ke kedai kopi, kemudian kembali tidur. Ibuku pernah menyuruhku untuk mencari kesibukan lain, tapi kurasa ini sudah cukup. Aku tidak perlu uang tambahan dan kesibukan lainnya yang membuatku lelah ketika pulang ke rumah,

Masih pukul 5 sore, aku hanya duduk melamun sesekali mengecek akun Instagram-ku yang memamerkan kesibukan dan kebahagiaan orang lain. Menjadi penonton di kehidupan orang memang menjadi rutinitas kita saat ini. Walaupun hanya beberapa persen dari kehidupan nyata, orang-orang yang membagikan ceritanya di media sosial sudah pasti sebisa mungkin memamerkan hal bahagia. Setidaknya yang menurut mereka bahagia untuk diri mereka pula.

Raga, salah satu barista yang paling akrab denganku tiba-tiba ikut duduk bersamaku. “Kenapa?” sambarku.

“Lala, nggak mikirin apa-apa, kan? Aku punya sesuatu untuk kamu pikirin,” katanya, sambil menggulung lengan baju kaosnya.

Raga adalah orang yang merekomendasikan kedai kopi ini. Awal aku bertemu dengannya yaitu saat duduk bersebelahan di MRT dan aku tak tahu ternyata dia baristanya. Sebuah marketing yang awalnya membuatku jengkel. Raga adalah orang yang ramah, supel, dan tahu bagaimana ia akan menempatkan diri. Aku orang yang susah berkenalan dengan siapapun. Tetapi dengan Raga, aku bisa percaya bahwa kedai kopi rekomendasinya memanglah nyaman dipertemuan pertama kami bertemu.

“Aku putus sama Wanda," satu kalimat itu membuatku terkejut.

Raga menghembuskan napas dan lanjut bercerita sebelum aku sempat menjawab. “Ternyata dia nggak happy sama aku. Dia merasa aku membatasi geraknya. Kasian dia, setiap hari nangis karena kepikiran aku yang suka marahin dia kalau nggak ada waktu buat aku.”

“Ya bener, dong? Dia kan nggak ada waktu buat kamu. Bener aja kamu marah,” jawabku menyosor.

Dia hanya diam, masih belum menjawab. Raga kemudian bertanya apakah dia boleh meminjam handphone-ku yang mana langsung kuberikan.

Raga membukanya sebentar dan melihatkan satu foto perempuan cantik dengan memegang sertifikat juara 1 lomba debat. Itu foto Wanda di akun Instagram miliknya.

Aku masih bingung, dari dulu aku tahu bahwa Wanda memang perempuan cerdas, aktif berorganisasi dan banyak mengikuti lomba. Tapi apa maksud Raga?

“Menurut kamu, gimana?” tanya Raga.

Aku menjawab singkat, tidak sabar dengan maksud Raga. “Keren.. Aku tahu sih, Wanda memang cerdas.”

Raga tersenyum. “Iya, Wanda emang keren. Hebat banget."

"Tapi aku nggak bangga, La. Justru disaat dia dapet apa yang dia mau, aku nggak seneng. Aku nggak ada di waktu dia berdarah-darah untuk mencapai semua cita-citanya. Aku bukan alasan di balik foto bahagianya, Wanda kuat karena Wanda sendiri, La. Bukan karena aku.”

Aku hanya diam menunggu kata-kata selanjutnya. Aku merasa ini masih panjang.

Tetapi ternyata, Raga tidak melanjutkan ceritanya lagi. Dia memilih untuk lanjut bekerja, membuat kopi, membuat apapun yang bisa mengalihkan pikirannya. Dan aku, benar-benar dibuatnya menjadi memikirkan segalanya.

Ada banyak yang menyangkut dipikiranku, termasuk mengapa Raga bisa tidak bangga dan ikut bahagia saat Wanda berhasil. Bagaimana perasaan Wanda saat tahu bahwa pacarnya sendiri tidak pernah mendukung apapun yang ia lakukan?

Jawaban yang akhirnya aku sadari. Alasan itulah yang membuat Raga memutuskan hubungannya dengan Wanda.

Aku kembali mengecek jam di gawaiku, tidak terasa sudah pukul 6.30. Barusan aku dihubungi teman satu kelompokku untuk hadir di pertemuan daring nanti malam. Aku memutuskan untuk pulang, berpamitan dengan Raga dan mengatakan hubungi aku jika suatu saat ingin bercerita, Raga hanya menjawab dengan anggukan.

Diperjalanan pulang, aku kembali memikirkan Wanda, perempuan cantik dan cerdas itu ternyata selalu menangis karena orang yang ia sayangi tidak mendukungnya. Di balik keberhasilannya, ternyata ada orang yang membenci hal bahagia itu. bagaimana bisa Raga seegois ini?

Sesampainya dirumah aku bergegas kembali ke kamarku, segera membersihkan tubuh, kemudian menyelesaikan tugas kelompok daring. Malam ini aku akan fokus mengerjakan tugas saja. Biasanya, aku akan menunda sampai satu hari sebelum tenggat. Tetapi entah kenapa kali ini aku merasa aku perlu lebih banyak melakukan sesuatu.

Baru saja aku bilang perlu lebih banyak melakukan sesuatu, Raga menelepon. Raga memang suka menelponku atau hanya sekadar chat untuk bertanya apakah aku akan ke kedainya atau tidak. Tapi kali ini berbeda, Raga ternyata ingin melanjutkan ceritanya, tentang alasan mengapa ia tidak bahagia saat Wanda bahagia, cerita yang dimulai dari awal terjadi percikan api hingga sudah menjadi abu. Semuanya kudengarkan.

Tiba-tiba di sela hening yang agak lama, Raga memanggilku. “La.”

“Ya?”

“Kamu jadi pacarku ya, La?”

Ditulis oleh Nessa Witias, mahasiswa Ilmu Hukum, FH 2019.



Kolom Komentar

Share this article