Cerpen

Lelaki Abu-abu

Kisah seorang lelaki tua.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Pinterest

Gedung itu diresmikan bulan Agustus tahun 1975 oleh Gubernur. Sejak didirikan, gedung berlantai dua yang sekarang merangkap sebagai Balai Bahasa, ruang dosen sekaligus ruang akademik sebuah fakultas itu tidak pernah berubah. Selalu dicat dengan warna yang sama: abu-abu.

Di halaman parkir gedung itu, seorang lelaki tua tengah berjalan di bawah terik matahari siang. Menenteng gitar dan kresek merah yang berisi pakaian. Mengambil botol Aqua yang berisi tetesan air dari outdoor pendingin udara begitu tiba di samping ruang dua, dan meneguknya.

Gluk. Gluk. Gluk.

Sedikit air lolos melalui celah di sudut mulutnya dan jatuh di kerah polo cokelat yang ia kenakan. Begitu tandas, lubang botol itu ia sejajarkan dengan posisi tetesan air jatuh seperti sedia.

Lelaki tua itu mengambil sebatang begitu saya menyodorkan sebungkus rokok.

“Terima kasih,” ujarnya.

Di langit, arak-arakan awan bergerak perlahan ke timur. Menuju gumpalan besar awan hitam yang terlihat serupa kepulan asap pemukiman warga yang terbakar. Di kota ini, barangkali juga di kota atau tempat mana pun, banyak hal yang tak dapat dipastikan. Persis cuaca cerah yang mendadak akan menjadi hujan. Atau mungkin nasib seseorang.

“Sudah 25 tahun saya kuliah di sini. Gedung rektorat dari dulu begini.”

Ia datang dari sebuah daerah terpelosok setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Ke kota ini dengan harapan akan membawa pulang sebuah gelar. Betapa pun semrawutnya, kota ini memberikan satu hal yang tak dimiliki kota lain: pendidikan tinggi dengan harga yang dapat dijangkau orang-orang miskin pada masa itu. Tapi dari ribuan orang dengan harapan yang sama, selalu ada yang gagal nantinya. Lelaki tua itu satu diantaranya.

Ia banyak menghabiskan masa kecilnya di sawah, menangkap belalang atau mengusir segerombolan burung yang memakan biji-biji gabah, sebab ayahnya seorang petani. Sebidang sawah itu menghidupi keluarga mereka bertahun-tahun. Setiap kali teringat masa kecil itu ia akan menangis tersedu-sedu. Sawah itu dijual untuk membiayainya.

Ia bisa membayangkan kekecewaan di wajah orang tuanya saat mengetahui ia gagal memenuhi harapan mereka. Ia tak berani menghadapi itu sehingga membuatnya jatuh depresi.

Hingga puluhan tahun, ia masih di kota ini tanpa pernah sekali pun pergi. Orang tuanya sudah lama meninggal. Banyak hal telah berubah dan gedung itu sudah bukan gedung rektorat, meski masih terlihat sama seperti waktu pertama ia datang: abu-abu. Dan lelaki tua itu nyaris tak pernah beranjak dari gedung itu dan hidup dalam kenangannya dua puluh lima tahun silam sebagai seorang mahasiswa.

“Dulu,” kenangnya, “jalanan belum sepadat ini. Tak banyak orang yang memiliki kendaraan. Itu saja belum dibangun waktu itu,” katanya sembari menunjuk Aston.

Pepohonan yang rimbun, sungai yang dahulunya mengalir bersih dan ikan-ikan yang dapat dilihat dari tepi, tinggal kenangan. Kota ini tumbuh menjadi ibu kota yang sesak. Jalanan yang sempit dikerubungi segala macam merek kendaraan. Trotoar yang beralih fungsi menjadi tempat parkir atau jalanan sepeda motor ketika macet. Rumah-rumah yang berdempetan di tepi sungai, dan ketika sore hari para ibu akan mencari kutu anak-anak mereka di depan rumahnya. Cerita semacam ini terjadi di berbagai kota.

“Lantas?”

Lelaki tua itu menghembuskan asap rokoknya, mempertimbangkan jawabannya. “Kau dilahirkan tanpa kenangan masa kecil.”

Saya tak begitu mengerti maksudnya, saya tak lahir dan besar di kota ini. Tapi, saya pikir, memang mengerikan menyaksikan kota ini hancur perlahan-lahan hingga tak layak untuk dikenang. Siapa yang mau mengisi kenangannya di kota ini dengan kemacetan, sungai yang hitam dan siap mengeluarkan bau busuk. Bukankah kenangan adalah hal yang berharga ketika menjadi tua?

Lelaki tua itu kemudian beranjak ketika langit semakin mendung. Saya menawarkan rokok sebelum ia pergi, tapi ia menolak.

“Terima kasih.”

Satu-satunya yang bisa kuingat setelah itu adalah kresek merah yang tampak mencolok meski di kejauhan, satu-satunya warna yang terlihat ketika hujan lebat membuat dunia terlihat semakin abu-abu. Apa inti dari cerita ini?

Tak ada. Kecuali, kau meyakini bahwa ini bukan fiksi.

Ditulis oleh Fitra Wahyuliansyah, mahasiswa Sastra Indonesia, FIB 2012.



Kolom Komentar

Share this article