Cerpen

Kisah Matahari Terbenam

Menemui akhir hayat.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Christnina

Gadis di sampingku masih betah merokok. Kakinya yang panjang berayun bebas di luar sela-sela terali jembatan yang mulai keropos dimakan usia. Malam begitu kelam dan menyisakan cahaya lampu jalan yang kelelahan.

Tak ada siapa pun kecuali kami di sini. Satu dua motor sempat lewat namun, tak ada apa-apa selain itu. Tak ada pula kata-kata yang terlontar darinya, maupun aku. Hingga ia menghabiskan dua batang dan melemparkannya ke sungai, gadis itu membuka mulutnya.

“Sudah waktunya, ya?” tanyanya pelan. Aku mengangguk. Lama, ia menatap sungai yang tak begitu deras arusnya.

“Dulu, larimu amat kencang. Terutama ketika Ibumu memanggil,” kataku. Ia menoleh, kemudian tertawa.

“Tentu saja. Tak ada petaka yang lebih buruk daripada lengkingan yang memotong senja hariku,” jawabnya.

“Waktu itu, aku hanya bisa menatap dirimu.”

“Kenapa begitu?” ia bertanya.

“Matamu adalah matahari paling terang di bangku belakang taman kanak-kanak. Bibirmu juga merupakan danau paling ramah sedunia,” ungkapku.

“Dan kau tak berniat mengunjunginya?” sahut gadis itu.

“Aku berniat, tapi aku hanya sebuah biji jagung yang cilik,” balasku.

“Padahal, kau adalah pengecualian. Tapi kau pengecut,” tukasnya.

“Aku tahu itu.”

Ia berdiri dan ikut bersandar bersamaku. Di sela-sela bau rokoknya yang pekat, ada wangi kesepian yang memabukan.

“Hari ini, besok atau lusa adalah garam di lukaku. Langit juga akan menjadi ladang tempat aku mati,” katanya.

“Kau suka lupa bahwa kenyataan seringkali menampar pipimu yang indah itu. Padahal, kau tumbuh menjadi peta dunia yang tiada duanya,” keluhku.

Gadis itu menutup matanya, kemudian menghela napas panjang.

“Aku lupa caranya hidup. Aku mencintai kedunguan luar biasa yang mendarah daging dalam hatiku yang tak tahu malu.”

“Lalu, apa itu alasanmu gantung diri pada omong kosong dunia dan memilih mati untuk hidup dengan mimpi-mimpi patah hati?”

“Aku benci dunia yang munafik. Aku benci cara mereka tertawa dan berbicara. Mereka bahagia serta menipu diri mereka sampai akhir. Mereka membunuh anak kecil dalam diri mereka,” tegas gadis itu. Matanya penuh sorot kekecewaan. Ia sendu sejak lahir, merangkul dan memeluk dirinya sendiri.

“Sebaiknya memang kau sudahi saja matahari itu, Sayang. Ia ingin terbenam,” kataku.

“Memang seperti itu yang aku inginkan. Bukankah kau membuatku menjadi yatim piatu agar kau dapat menjemputku di beranda?”

“Kurasa begitu. Apa kau sudah siap?” tanyaku.

“Kau mau aku menunggu kantuk sembari meracik kopi dan mengulur kematian?”

“Aku hanya berharap, kali ini kau kembali ke pangkuan Ibumu. Dengarlah, derap-derap harap akan terulang kembali. Malam ini.”

Malam itu ditutup dengan senyum termanis sang gadis. Ia melambaikan tangan padaku, lalu pergi menyusuri jembatan dan menghilang dalam kabut yang merangkum kelam.

Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswa Akuntansi, FEB 2017.




Kolom Komentar

Share this article