Dia Tidak Sendiri di Bukit Soeharto
Ia tak sendiri.
Sumber Gambar : Pexels
Ujang memegang lehernya sebab merinding kedinginan. Gerimis dan kabut tebal menutupi mata tajamnya, bulu badannya berdiri kaku. Tak ada sedikit pun suara bising kendaraan terdengar, hanyalah suara gesekan dari ranting pohon tua. Pohon-pohon besar tak lagi terlihat indah di malam hari. Semua hitam tak berwarna.
Siapa yang kini menemaninya, Ujang tak tahu. Tak satu pun kendaraan lewat ia lihat. Salah sendiri, bisik batinnya. Mengapa ia bodoh, ingin buang air kecil di tengah hutan rimbun. Mestinya ia sadar, seharusnya sebelum berangkat ia lebih dulu buang air kecil di WC indekos.
“Permisi!” celetuk seorang bapak-bapak yang tengah menghampirinya.
Tiba-tiba, di tengah kegelapan seseorang menyapanya. Tentu saja Ujang kaget hingga batang rokok yang ia pegang terjatuh. Bapak itu menatap mata Ujang seakan ada yang ingin ia beritahu, pakaiannya tak sama seperti yang Ujang gunakan, dengan baju bahan kain tipis. Badannya harum seperti bau bunga, namun bau harum tersebut belum pernah ia cium sebelumnya.
“Iya Pak, ada apa?” tanya Ujang kepada bapak itu.
Ujang tak sadar bahwa ia sedang berdiri di tepi jurang dekat pembatas jalan. Lalu, Ia kembali bertanya kepada pria itu.
“Apa yang Bapak lakukan disini, ke mana mobil travel yang bapak tumpangi?”
Bapak itu seketika merubah raut wajahnya, lalu berkata, “Mereka sudah pergi ke arah sana,” sambil menunjuk jurang.
Ujang merasakan dingin yang luar biasa. Ia kembali mengambil rokok dari sakunya dan membakarnya. Rasa dingin itu tidak membuat badannya hangat, waktu tak akan pernah berhenti, serentak dengan sautan suara jangkrik Ujang pun pelan-pelan menjauh dari bapak itu.
“Mengapa kamu keluar mobil dengan sendiri? Ke mana teman-temanmu? Kembalilah dengan segera ke mobilmu,” perintah bapak itu.
Ujang menundukkan kepalanya dan tersenyum manis kepada bapak itu.
“Iya Pak, saya baru saja buang air kecil, lalu mengapa bapak sendiri disini?” tutur Ujang.
“Saya tidak sendiri,” sahut bapak itu.
Ujang menawarkan rokoknya kepada bapak itu.
“Ini Pak, rokok saya?” tawar Ujang.
“Simpan saja dua batang rokok itu ke sebelah kananmu, tepat di balik pohon,” sangkal bapak itu.
Sungguh aneh bapak ini. Ujang pun meletakkan lima batang rokok ke arah yang bapak itu tunjukkan.
“Mengapa kamu memberikan lebih dari dua batang rokok?” tanya sang bapak.
“Tidak apa-apa Pak, rokok itu bisa menemani bapak sendiri di tengah dinginnya hutan.Di depan itu ada warung, nanti bapak bisa ke sana,” jelas Ujang.
Ujang tidak menawarkan tumpangan sebab khawatir itu hanyalah modus untuk merampok. Ujang ingat, bahwa ia membawa hadiah untuk adik kecilnya di kampung. Ia tak mau kehilangan hadiah itu.
“Saya sudah bilang saya tidak sendiri,” pria itu menatap mata ujang dengan sangat dalam.
“Kenapa Pak? Ada yang salah dari saya?” Tanya Ujang kembali.
Ujang mulai berpikir logika dengan pria tua yang sendiri di tengah hutan, berpakaian kuno, harum bunga, dan banyak garis cakaran pada pipi dan lehernya. Ia berpikir bahwa yang ada di depannya saat ini bukanlah penumpang travel lain. Berpura-pura bahagia sudah biasa, namun berpura-pura menjadi orang bodoh saat berhadapan dengan sosok misterius adalah hal yang tak mungkin.
“Saya duluan ya, Pak,” tegas ujang.
Segera Ujang berlari mendatangi mobil travel yang ia tumpangi bersama dengan teman-temannya. Tibalah ia di mobil travel yang ia tumpangi, di dalam mobil ia masih melihat temannya sedang bercanda dengan sopir travel sambil menceritakan masa-masa muda dulu. Ujang membuka handphone-nya untuk melihat jam, ia kaget ternyata masih pukul 01:47 dan ia tahu persis jam berapa ia turun dari mobil. Tepat pukul 01:45, ia turun dari mobil untuk buang air kecil. Padahal, ia merasa cukup lama saat ia pergi tadi.
Mobil yang ia tumpangi berjalan mulus memecah dinginnya malam di tengah hutan. Ujang mulai menceritakan dengan apa yang ia alami barusan. Seakan memahami dengan yang ujang alami, sopir travel memotong percakapannya dengan temannya.
“Nanti saja diceritakan di depan dek,” sergah sang sopir.
Suasana berubah menjadi hening, sepanjang jalan.
“Bang, saya pusing,” ucap teman Ujang kepada sopir.
“Ya sudah, buka saja kaca jendela itu, biar saya matikan AC-nya,” kata sopir.
Perjalanan kembali membaik dan semua pun memutuskan untuk tidur. Namun di tengah lelapnya bermimpi, ada hal yang membuat kecepatan mobil ini bertambah.
“Ihhh.. bau apa ini? Bau amis,” tutur Ujang.
“Iya bau darah,” tambah temannya Ujang.
Bau amis itu tercium sangat menyengat hingga ke dalam mobil, sopir kembali menutup kaca jendela agar tidak tercium.
Semua diam dan hanya saling menatap. Sekitar 20 menit, mereka pun tiba di Balikpapan dan bertanya-tanya. Siapakah sosok laki-laki misterius yang Ujang temui. Apakah benar yang tercium itu adalah bau darah? Semua tak bisa memberikan jawaban yang tepat. Apa yang sebenarnya terjadi di bukit Soeharto waktu itu? Seperti bayangan yang sekilas namun terlihat.
Ditulis oleh Kevin Geordy, Mahasiswa Kimia, FMIPA 2019.