Cerpen

Di Antara Dua Pohon, di Bawah Guyuran Hujan

Maraknya penggunaan pohon sebagai alat kampanye.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Google

Aku adalah makhluk yang ingin hidup, tetapi aku adalah mati. Keberadaanku selalu dipandang oleh makhluk hidup yang senantiasa meminta arah atau petunjuk atau simbol daerah dan semacam hal lainnya, itulah keistimewaanku. Aku sudah lama berdiri di sini. Di antara dua pohon yang  seakan-akan saling mencintai, tetapi dipisahkan jarak sekian meter, dan dipisahkan oleh aku.

Sekali lagi, aku adalah makhluk yang ingin hidup. Aku sering mendengarkan pembicaraan dua pohon yang kupisahkan ini. Mereka sering berkata aku ingin memelukmu, aku ingin menciummu, aku ingin membuahimu dengan gerakan dari dahan dan ranting yang saling gemerincing. Sedari aku berdiri, hanya tiga kalimat itu yang pohon-pohon katakan. Namun, sayang. Andai kedua pohon ini mempunyai kaki dan bisa berjalan, aku yakin mereka akan pergi ke suatu tempat yang sepi yang sampai pada akhirnya membentuk sebuah keluarga atau koloni-koloninya untuk terus melangsungkan hidup. Namun, sekali lagi sayang. Di kota ini, tempat sepi tersebut berganti dengan lubang-lubang yang sudah memakan 28 anak manusia. Dan aku pernah berbicara pada dua pohon yang pernah memperkenalkan diri padaku—Manggi dan Mangga—tetapi dia tidak ingin membahasnya. Biar bapak yang bersangkutan  saja yang membahasnya.

Di tempat kami berdiri—aku dan dua pohon yang sengaja kupisahkan itu—terdapat jalan raya. Jalan raya ini tidak pernah sepi dari suara-suara, mulai dari suara manusia, suara mesin kendaraan yang kadang melaju dengan sangat lambat, suara burung, dan suara lainnya—termasuk suara sepasang manusia yang berciuman di atas jembatan penyeberangan ketika malam sudah kelewat larut.

Di tempat kami berdiri ini tidak pernah membuat bosan. Ketika pagi, kami sudah mendengar orang-orang pasar berteriak. Tentu karena berdirinya kami di sini berdekatan dengan pasar. Begitu juga dengan sore, ketika orang-orang pasar mulai meninggalkan kios dagangannya—dan pengunjung pasar semakin sepi—kami tinggal putar balik kanan untuk melihat matahari terbenam di sungai Mahakam. Ya. Kami berdiri di antara pasar dan sungai. Sungguh lokasi yang romantis untuk kami bertiga.

Hari ini, di tempat kami berdiri. Aku tak tahu ini jam berapa, dan pohon pun tak tahu ini jam berapa, dan memang kami tak pernah mengenal waktu, hanya saja waktu selalu menemani dua pohon dan aku yang selalu berdiri di sini—dan tak akan ke mana-mana. Awal pagi, kami masih melihat matahari yang ceria. Sejuk. Pohon bergembira karena mendapatkan perawatan alaminya. Namun, sesaat menjelang siang, matahari bersembunyi. Awan mulai mengepul menciptakan warna kelabu. Kami sudah hapal, lima menit lagi hujan akan turun.

Benar saja. Hujan turun. Tak lama kemudian. Orang-orang berkendara motor sibuk mencari tempat teduh. Satu orang berhenti tepat di depan ruko yang tutup, dan tepat juga berada di depan kami. Memakai kaos putih yang tak jelas gambarnya. Wajahnya runyam dan aku sempat mendengar ucapannya yang 'sialan' itu. Kemudian, di susul oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Sepertinya mereka berpasangan, sama seperti dua pohon di sampingku. Bedanya adalah mereka saling merangkul dan tanpa jarak, sedangkan pohon ini, yah, seperti yang aku bilang tadi. Lalu orang keempat berhenti, orang kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan.

Aku sempat mengintip sedikit saat aku menikmati hujan yang turun ini, raut wajahnya harap-harap cemas. Ada yang selalu melihat benda di tangan kirinya. Ada yang duduk, kemudian berdiri, lalu jongkok, akhirnya berdiri lagi. Namun, ada satu manusia yang menarik perhatianku. Laki-laki berkacamata, berjaket merah, bercelana hitam panjang, yang selalu memandang ke depan—memandangku. Tak ada raut kecemasan di wajahnya. Ia seakan menatapku dan menantangku untuk melakukan siapa  yang paling kuat menatap dan berdiri? dan aku menjawabnya dengan senang.

Aku menatap laki-laki jaket merah itu, pun dengan laki-laki itu, menatapku. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Sepuluh menit. Ia masih betah menatapku, dan aku juga masih betah menatapnya. Dua pohon disampingku menggeleng-geleng yang dibuktikan dengan goyangan dahannya yang ke kanan dan ke kiri karena diterpa angin.

Lang,  kenapa? Kenapa menatap laki-laki berjaket itu.

Dia  menantangku. Aku terima tantangannya.

Bodoh  kau. Kau pasti menang lah. Lihat saja kakinya mulai gelisah.

Laki-laki berjaket merah itu mulai menggerak-gerakkan kakinya. Kadang kaki kanan yang ditopangkan ke kaki kiri. Kadang kaki kiri yang melakukan sebaliknya. Rupanya laki-laki itu mulai kelelahan untuk berdiri, tetapi tak ada kulihat dari raut wajahnya untuk menyerah. Ia masih mau melanjutkan.

Laki-laki  itu tak terpengaruh pandanganmu, Lang?

Mengerikan,  ia semakin menantangmu. Lihat, dia mengangguk-anggukan kepala. Kau bisa kalah  nanti, Lang.

Diamlah.  Ini pertarunganku.

Dan semakin serulah pertarungan antara aku dan laki-laki berjaket merah itu. ia semakin aktif menaik-turunkan kepala, mengangguk-anggukannya. Aku curiga, dan sangat curiga. Tidak mungkin dia mendengar harmoni hujan yang hanya aku saja yang mampu mendengarnya, melalui badanku.

Laki-laki itu tersenyum padaku. Senyuman yang meremehkan. Ia melakukan pergerakan yang membuat kecurigaanku terbukti. Ia membuka tutupan kepala yang menyatu di jaket itu. Aku tak tahu apa namanya, yang jelas, sepasang benda kecil nemplok di telinganya. Dan sayup-sayup kudengar ada suara manusia yang berdendang, our time is running out,  and our time is running  out.

Sialan, makiku. Aku tidak akan kalah.

Perlombaan memandang ini semakin lama semakin seru. Diperkirakan, aku sudah enam puluh menit memandangnya, dan ia memandangku. Tidak ada yang mau mengalah. Semua ingin menang. Tidak ada yang mau kalah. Namun, pemenang sudah hampir bisa ditentukan. Laki-laki berjaket merah itu semakin gelisah. Ia menggerakkan kaki-kakinya seolah sedang berjalan di tempat. Dan benar saja, tak lama kemudian, laki-laki itu menghampiri motornya yang kebasahan dan helm yang sudah berubah menjadi seperti tempat penampungan air yang kecil, warnanya kecokelatan. Kotor  sekali. Kemudian laki-laki itu pergi. Menyerah. Membawa kekalahannya bersama hujan yang membasahi jaketnya, meskipun sudah tidak terlalu lebat.

Aku menjadi yakin. Kemenanganku ini adalah bukti bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan alam, sekalipun manusia yang menciptakan alat-alat modern antikematian atau antikemalangan atau anti-anti lainnya. Akan tetapi, aku tidak yakin. Apakah aku termasuk bagian dari alam itu, karena aku tidak hidup. Aku dingin. Menjadi semakin dingin ketika malam makin menjadi.

***

Selepas terjadinya hal yang saling tantang-menantang itu situasi kembali lengang. Sudah saatnya kami tidur karena langit mulai gelap dan muncul benda langit berbentuk bulat yang menerangi kami—selain cahaya lampu.

Langit masih gelap, tetapi kami terpaksa bangun dari tidur dibarengi dengan rasa sakit yang ada di badan kami. Entah sejak kapan, tubuhku dan dua pohon di sebelahku ini terpasang angka 1, 2 dan 3. Pohon di sebelah kananku terpampang angka satu yang diaplikasikan bersama papan kayu tipis, kemudian dipaku. Sedangkan pohon satunya, yang di sebelah kiriku, terpasang angka tiga yang diaplikasikan bersama papan kayu tipis pula. Bedanya, ia menggunakan tali kawat dan mengikatnya erat-erat pada pohon tersebut. Lalu aku, ada angka dua menempel di wajahku. Aku mengetahuinya setelah aku melepas poster angka dua ini. Anehnya, pada masing-masing angka tersebut terdapat dua manusia yang berbeda. Berbeda nomor, berbeda pula dua manusia yang terpampang.

Sialan.  Siapa yang melakukan ini pada kita. Tanyaku pada pohon-pohon yang di sebelahku.

Aku  sempat melihat seseorang tadi, setelah dia memaku badanku ini. Setelah itu dia ke arah sana. Jawab pohon di sebelah kananku yang kemudian menggerakkan-gerakkan rantingnya.

Aku melihat ke arah yang diberi. Empat orang mengenakan kemeja yang berbeda warna: dua orang menggunakan warna merah, dua orang lagi menggunakan warna kuning. Di tangannya masih membawa palu; bungkusan plastik hitam yang aku perkirakan adalah paku; tali kawat yang digulung; kertas dan cairan perekat.

Manusia  berandal. Sialan! Tidak bermartabat.

Ditulis oleh Panji Aswan, mahasiswa Sastra Indonesia, FIB.




Kolom Komentar

Share this article