Cerpen

Deadline

Kerap dalam harinya manusia, kita temukan hal-hal di luar dugaan.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Google

Aku paling malas harus menginap bersama desain-desain majalah sial ini. Jujur saja, kalau bukan karena mati lampu di kos, aku tak akan bermalam di gedung jahanam ini. Berkali-kali kuhubungi anggota lainnya, tapi bukan mereka yang menyahut, namun suara halus seorang perempuan yang selalu mengatakan hal yang sama.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan...

Berengsek! Setelah deadline ini berakhir, aku akan melepas tanggung jawabku sebagai ketua desain. Kuliah sudah cukup mengganggu hidupku, tapi hobiku ini rupanya lebih mengganggu dari dugaanku.

Cepat-cepat aku menggerakkan tetikus dan segera meletakkan bagian desain yang sesuai. Sebisa mungkin cover ini harus selesai sehingga aku tak perlu menginap. Aku akan menggedor pintu kos siapapun yang mengaku berteman denganku.

BRAK!

Suara jatuh yang keras membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Sebelum aku mulai berpikiran aneh dan mengerikan, segera kunyalakan music player dengan keras.

"Permisi..."

Sangat memalukan, tapi aku berteriak kencang saat seseorang mendorong pintu sekretariat dan memunculkan kepalanya. Mataku kemudian mulai membiasakan diri. Oh, dia seorang gadis. Setelah pintu semakin terbuka, sosoknya lebih terlihat. Aku mengamatinya dari bawah ke atas.

Kaki memijak tanah. Warna kulitnya bukan putih pucat, pakai seragam pramuka, menggotong tongkat-tongkat sendirian, maka bisa dipastikan kalau dia bukan setan. Aku menghela napas.

"Maaf, saya teriak-teriak. Ada apa ya?" tanyaku. Ia kemudian menunjuk ke arah tongkat-tongkat yang berjatuhan di lantai. 

"Bisa tolong bantu saya untuk angkat ini, Mas? Saya nggak kuat," jawabnya. Oh, kupikir hanya aku saja malam ini yang bernasib sial. Ia tampak kepayahan. Meski aku sangat ingin mengabaikannya karena desain yang belum rampung, tapi rupanya hati nuraniku masih berfungsi. Aku melangkah keluar, membantunya membereskan tongkat-tongkat tersebut, dan mengunci pintu.

"Biar saya bantu. Teman yang lain pada ke mana, Mbak?" tanyaku. Ia diam sambil menundukkan kepala. Sedetik kemudian, ia menoleh dan menjawab.

"Lagi pergi, Mas. Tapi belum kembali sampai sekarang," sahutnya. Aku hanya bisa menyumpah dalam hati, bagaimana bisa gadis ini ditinggalkan sendiri dengan tongkat-tongkat biadab bersamanya. Kurasa para anggotaku tak lebih buruk dari anak-anak pramuka ini.

Saat menaiki lantai tiga, lampu di atas kepala kami rupanya akan segera mati. Ia hanya berkedip-kedip dan membuatku semakin mati kutu karena takut. Aku lantas melirik kembali gadis ini. Oke, rupanya dia masih sama. Kakinya masih di lantai.

Mudahan dia bukan setan, amin, doaku dalam hati.

Sampai di depan gudang unit pramuka, ia mendorong pintunya dan langsung disambut dengan bebauan barang-barang tua yang mungkin bisa membuat tikus mati dalam sekejap.

"Ditaruh di sini aja, Mas," katanya. Aku, yang gengsi dan tak mau membantu setengah-setengah, ikut masuk dan mengikutinya ke dalam gudang. Anehnya, aku baru sadar kalau lampu ruangan ini sangat remang sampai aku tak bisa melihat terlalu jauh.

"Anu, ini lampunya nggak diganti aja? Udah gelap gini..."

"Woi, ngapain kamu?!" teriak seseorang dari arah pintu.

Aku menoleh ke belakang. Dua orang mahasiswa dengan kaus dan celana pendek tampak marah dan bingung menatapku. Langsung saja aku sadar, kalau mereka yang menelantarkan gadis ini sendirian. Kusingkirkan tongkat-tongkat itu dan mendatangi mereka.

"Hei, beraninya kalian ninggalin cewek sendirian! Bawa-bawa tongkat lagi! Kalian pikir bagus, ha?" sergahku.

Mereka tertegun dan saling menatap satu sama lain. Lelaki di depanku terlihat takut dan menelan ludahnya.

"Em, bisa nggak kamu keluar dulu? Kami mau ngomong," kata si jangkung di depanku ini.

"Apaan sih..."

"Kamu dari unit apa? Kita ngobrol di sekretariat kamu aja," ucap temannya yang berbaju hijau di sebelahnya sambil mendorong bahuku keluar.

"Eh tapi dia gimana? Ditinggal?" tunjukku ke dalam.

"Udah, kita turun dulu ya, nanti 'dia' yang tutup pintu," sahut si jangkung.

Aku dilanda bingung dan takut. Jangan-jangan mereka mau malak? Jangan-jangan mereka punya teman lain yang mau ngapa-ngapain cewek di atas? Atau mereka mau ngasih tahu sesuatu?

Kami sampai di depan pintu sekre. Wajah mereka semakin bingung dan mulai kelihatan pucat dan takut.

"Anu, lain kali jangan diikuti ya, bahaya," ujar si baju hijau.

"Iya, soalnya nanti kalo ada apa-apa kan bisa gawat," sahut si jangkung menimpali.

"Maksud kalian apa sih? Coba ngomong yang jelas!" seruku mulai muak sembari mengingat deadline cover yang tinggal besok pagi.

Dengan muka yang ngeri, si jangkung memberikan penjelasan, dan aku ingin pipis di celana.

"Cewek yang kamu lihat itu, dia...penunggu di sini. Kamu nggak tahu ya? Kadang-kadang dia muncul di dekat unit mahasiswa pecinta alam, muncul di toilet sayap kiri, atau mondar-mandir di sekitar tangga dan lahan parkir," jelasnya.

Lututku lemas seketika. Jadi itu setan? Jelas-jelas kakinya memijak tanah! Tapi kalau dipikir, sejak tadi ia memang menundukkan kepala dan masuk gudang begitu saja tanpa reaksi apa-apa.

Sialan, aku merinding luar biasa sekarang.

"Ah, kami juga minta maaf ya karena teriak-teriak. Soalnya kami yang harus jaga gudang malam ini. Pintunya belum diperbaiki, hehehe," kata si hijau.

"Oh iya, nggak apa. Makasih banyak ya. Kayaknya aku mau pulang aja deh, kerjaan belum kelar. Makasih banyak ya," ucapku. Aku segera membuka pintu sekretariat dan bergegas memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Masa bodoh, aku takkan menghabiskan malam ini di sini.

"Jon! Untung belum pulang! Ke kosan gue yuk, makan bakso!" teriak seseorang di depan pintu sekretariat kami. Sebentar, kenapa Rafli ada di sini?

"Lah, kamu ngapain di sini? Kok tahu aku di sini?" tanyaku.

"Disuruh sama anggotamu. Takut kamu diculik setan!" sahut Rafli sambil tertawa. Aku merengut, lalu sadar bahwa dua mahasiswa tadi sudah tak ada.

"Oh, mereka tadi udah pergi ya?" gumamku sambil mengunci pintu.

"Hah? Mereka siapa? Cuma aku aja nih dari tadi!" kata Rafli.

"Itu, dua orang pake kaosan sama celana pendek!" jeritku tak sabar.

"Wah, ngaco nih anak. Kamu tuh cuma sendirian tahu, di sini! Di parkiran cuma ada motor kita berdua. Tuh, lihat!" serunya menunjuk lapangan parkir di bawah kami.

Berengsek, memang hanya ada motorku dan motor butut Rafli.

"Yuk buruan cabut! Sekarang!" ujarku sambil buru-buru menuruni tangga lantai dua. Rafli mengikuti dari belakang sambil berlari-lari. Dari sudut mataku, tepat di bawah lampu lantai tiga yang berkedip-kedip, aku melihat sesosok ramping yang melayang-layang.

Sampai di parkiran, kami segera menyalakan motor dan melaju keluar dari gedung. Setelah ini, aku takkan lagi kemari sendirian!

Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswa Akuntansi, FEB 2017.



Kolom Komentar

Share this article