Cerpen

Dari Bapak

Dari bapak

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Guru.or.id

Nanti kamu tahu kalau sudah besar, ini bekal Bapak buat Elisa, Bapak titip ya.”

Tak hentinya aku memandangi kotak kaleng biskuit yang Bapak pesan kepadaku untuk membukanya kala usiaku menginjak 20.

Per 11 Maret 2012, aku Elisa, 20 tahun.

19 Desember 2008.

Seperti biasa pada senja hari Ibu menyajikan semur daging beserta irisan cabai kesukaanku, oh ya tak lupa kangkung balacan kesukaan Bapak. Aroma hangat kangkung menyerbak pada setiap sudut rumah makan kendati hanya sebuah sayuran yang mudah dijumpai. Namun olahan tersebut, merupakan kuliner legendaris keluarga Asmoro, serta seperti biasa pula kami menunggu kedatangan Bapak untuk makan malam bersama.

“Eits. Tunggu Bapak pulang, cuci tangan dulu, dan intip sedikit jendela El,” pinta Ibu kepadaku yang hendak bergegas menduduki kursi meja makan.

“Selalu deh, Bapak tidak sayang kita apa ya bu? Pulang telat terus, dinas terus,” keluhku pada Ibu sembari melakukan hal yang dia minta.

Ibu melihatku sembari menghela napas, menata kembali kudapan yang berada di meja makan dan sesekali melihat detik jam.

“Bapak kerja buat kita Elisa, Buat mbak sekolah juga, yuk berhenti marah ke Bapak, toh Bapak ga pernah pelit ngasih mbak uang saku kan?” ucap Ibu.

“Hm,” sahutku.

Di antara percakapan Ibu Helen dan anak gadisnya, suara pagar yang terbuka terdengar. Pasti Bapak, kedatangan Bapak, satu-satunya hal yang memaksa menunda lapar dan dahagaku adalah kedatangan beliau.

“Klik,” suara kunci membuka pintu ruang tamu.

“Bapak pulang,” ucap pria paruh baya yang masih mengenakan kemeja garis-garis berwarna hijau tosca lengkap dengan tanda pengenal perusahaan yang mengalungi lehernya, tertulis Asmoro Alexander, ya dia adalah Bapak.

.

“Pak, mangan, wis kubuat kangkung kesukaan Bapak, ini nasi putihnya,” sahut Ibu sembari menyiapkan hidangan Bapak.

“Puji Tuhan, ayo El kita makan,” balas Bapak.

Kedatangan Bapak pada hari itu entah kenapa membuatku kesal, seperti aku berada pada puncak emosiku ketika setiap hari berganti menunggu Bapak atau 'kehadiran' Bapak untuk berkumpul bersama keluarga kecilnya.

“Pak, Bapak kenapa sih pulang telat terus? Orang kantoran jug pulang jam 5, Bapak selalu sampai jam 7, kapan Bapak ada waktu buat Elisa?”

“Elisa! Bapak mu baru pulang, kamu bicara apa?!” tutur Ibu yang menatapku kesal melihat perilaku anak semata wayangnya pada senja itu.

Wis, wis sudah Bu. Nak, habis makan, ada yang mau Bapak kasih liat ke Elisa, pasti kamu senang! Kado natal!” sambung Bapak dengan semangat.

Bapak merupakan salah satu pegawai administrasi pada salah satu bank swasta terkenal di sekitar kawasan Glodok. Sudah mengabdi hampir 5 tahun, status Bapak tidak pernah mengalami kenaikan jabatan, hal tersebut yang membuatku meradang mengingat Bapak yang telah berusaha keras dan setia hingga kerap kali melupakan keluarganya tak pernah mendapat keadilan dari tempat beliau bekerja. 

Sementara Ibu? Ibu merupakan seorang ibu rumah tangga, kendati tak ingin berharap lebih dengan penghasilan Bapak ditambah dirinya merupakan pribadi yang gemar berkegiatan, ibu membuka usaha kue kering kecil-kecilan. Pesanan akan membludak ketika menjelang hari raya seperti Idulfitri dan Natal.

Ya, kegiatanku tak seperti anak pada usiaku saat itu yang dengan mudah berkumpul dan menonton Jikustik hingga langit gelap, keadaan memaksaku untuk membantu Ibu dan kue-kuenya guna berjalannya roda perekonomian keluarga Asmoro. Tuhan……seperti tidak adil pada Elisa ya?

“Kenapa kadonya sekarang, Pak? Jangan bilang, Bapak tidak bisa natalan sama Ibu sama Elisa tahun ini?” tanyaku curiga bercampur aduk dengan rasa marah yang menyelimuti.

“Sepertinya begitu Nak, maka itu ini Bapak senang sekali dengan kado ini untukmu El, sini-sini.”

“BAPAK SELALU BEGITU! Mending bapak berhenti kerja aja disana yang enggak menghargai Bapak sama sekali!” teriakku yang lantas segera meninggalkan ruang makan menuju kamar.

Suasana menjadi keruh, ketika Ibu hampir tersulut pula emosinya melihat keadaanku.

“Elisa! Benar-benar ya anak itu!”

“Udah Bu, anak muda, emosinya belum stabil, nanti Eli ngerti keadaan ini akan membuatnya menjadi manusia sesungguhnya di masa mendatang, Bapak bicara dulu ya sama Elisa,” sambung Bapak kepada Ibu sembari berusaha menenangkannya.

.

Bapak membawa kado yang berbentuk kubus berbalutkan kertas kado berwarna hijau denga pita merah di atasnya menuju kamarku.

.

“El, Bapak mau ngomong bentar nak, boleh?” terang Bapak yang berada tepat di depan pintu kamarku pada waktu itu.

“Elisa, tidak suka! Elisa tidak mau!” balasku membentak diiringi tangisku

“Bentar nak,” tutur Bapak dengan mencoba membuka pintu kamarku yang tak terkunci.

Pada saat itu aku duduk di samping kasurku sembari menutupi diri dengan selimut rajut berwarna nilaku, memeluk Bonnie boneka kucing kesayanganku pemberian Bapak pada saat aku berusia 5 tahun.

Bapak menghampiri diriku dan duduk di sebelahku dengan mengelus pundakku.

“Elisa, Bapak minta maaf, bapak tidak menjadi Bapak yang selalu ada untuk kamu nak.”

“Bapak selalu peduli dengan kertas-kertas Bapak itu! Bapak lebih utamakan Bos Bapak yang masa tidak mikir sih pegawainya juga punya keluarga?!" ucapku sembari menangis dan berusaha mengusap air mataku. Aku tak bisa membendung tangisku ketika Bapak berusaha merendahkan dirinya dan meminta maaf pada putri kecilnya.

“Selamat Natal, Elisa Anggraini, putri Bapak yang kuat, berbakti sama orang tua membantu Ibu buat kue, setia nunggu Bapak pulang setiap jam makan malam, di saat anak seusia kamu yang lain mungkin tak akan tahan untuk melakukan kegiatan monoton seperti itu, Bapak bukan bapak yang selalu ada buat kamu, Bapak juga bukan orang tua yang sempurna nak, tapi Bapak percaya, Tuhan berikan anugerah pada keluarga kita melalui perjuangan kita untuk keluarga kita. Bapak yang bekerja, Ibu yang menemani Elisa, Elisa yang menjaga dan menyayaingi Bapak dan Ibu hingga detik ini, Bapak sayang kamu Nak,” ucap Bapak yang tak kuasa menahan air matanya dan memeluk tubuh mungilku.

Aku tak kuasa akan bait-bait kata yang Bapak ucapkan, lantas aku langsung memeluk Bapak kembali.

“Pak, Elisa minta maaf ya pak, sudah keterlaluan sama Bapak, Elisa durhaka, Elisa egois tidak bisa mengerti Bapak," ucapku dengan nada terbata-bata.

“Iya nak, Bapak tidak pernah sakit hati sama kamu, ini kado natalmu, Bapak harus dinas natal besok ke Denpasar menemani pak Edy bos bapak menghadiri salah satu agenda natal dan tahun baru di sana, tapi percaya nak, Bapak sangat ingin merayakannya dengan kalian, kita berdoa bersama nanti ya, telpon Bapak, pada malam natal Bapak akan pimpin doa via telpon tapi ya,” ucap Bapak.

“Iya Bapak, Elisa mengerti, beda sejam saja kok Jakarta sama Denpasar, laksanakan Pak Asmoro!” ucapku riang seolah tak lagi merasa sepi atas kehangatan Bapak.

“Nak, ini ada kado, kado ini spesial sekali, Bapak harap Elisa bersabar, buka ini pada usiamu menginjak 20 Nak,” kata Bapak sembari menyodorkan hadiah berbentuk kubus tersebut ke hadapanku.

“Kenapa 20 pak? Kenapa tidak sekarang? 16? Biar sweet sixteen gitu,” ucapku

“Menjadi 20 itu pasti, menjalankan prinsip 20 itu pilhan, nanti Elisa bakal mengerti sendiri,” senyum Bapak kepadaku.

“Oke deh, bearti kado tahun selanjutnya ada kan Pak? Gak dibuka pas aku 21 kan? Ini hadiah apa investasi pak?” tawaku pada Bapak.

“Hahaha, anak Bapak bercandanya sudah kayak mbak-mbak pekerja saja”

Kamarku menjadi hangat atas percakapanku dan Bapak. Aku merasa damai, tenang, ketika bersamanya. Aku berterima kasih pada Tuhan menempatku terlahir pada keluarga kecil Asmoro, kendati kecil dan tak sempurna, begitulah kehidupan. Aku bersyukur mampu menghadapi situasi pemanasan ini pada usia 16 ku. Benar ucap Bapak, berkat situasi ini aku menjadi kuat dan belum tentu orang lain mampu setegar diriku. Maha besar Tuhan dengan segala karunia-Nya, ia tidak pernah buta.

.

11 Maret 2012.

4 tahun berjalan dengan cepatnya. Pesanan kue kering Ibu kian laris, berkat oven kompor yang saat ini telah kami miliki. Ibu juga sudah mampu mempekerjakan 3 pegawai tetap di dapur kecilnya. Kegigihan dan semangat Ibu membuat usaha kue kering kami semakin terdengar pada pasar dan kegiatan inilah yang menjadi roda perkenomian keluarga Asmoro sejak Bapak kembali menuju surga-Nya pada Natal 4 tahun silam.

Iya, ketika beliau sedang menjalankan dinasnya. Tepat pada hari natal 25 Desember 2008, kami mendapat kabar dari perwakilan bank menyatakan Bapak terkena serangan jantung akibat kelelahan pada sore hari. Malam sebelumnya, aku bersyukur Tuhan masih memberiku dan Ibu kesempatan untuk melakukan doa bersama Bapak. Siapa yang tahu, itulah saat terakhir interaksi kami dengan Bapak sebelum berpulang dengan peti mati bukan dengan berjalan.

Dua tahun yang berat aku lalui, emosiku yang tidak stabil, urusan percintaanku yang kerap kali kandas, karena aku mencari sosok yang mampu menyayangi dan mengasihiku sebagaimana Bapak lakukan hingga aku takut akan kehilangan seseorang, namun tragedi-tragedi tersebut membuatku bangkit atas pesan Bapak. “ Aku menjadi kuat”

Menghela napas dan setelah cukup memikirkan lama, aku yang kini berusia 20 berusaha membuka hadiah yang telah Bapak janjikan sejak 4 tahun lalu. Satu per satu aku buka dari bungkus hingga isi, nampak sebuah kumpulan kertas lengkap bersama fotoku sejak umur 1 bulan hingga 16 tahun pada kotak kaleng biskuit tersebut.

Setiap kertasnya Bapak menuliskan peristitwa yang terjadi pada umurku. Seperti pada usia 6 bulan, ternyata Bapak berusaha memberikan “makanan” lembek pertamaku selain ASI Ibu Helen berupa pisang yang dihaluskan. Lalu pada usia ku menginjak satu dekade, Bapak mengaku bangga denganku mengikuti lomba balap kelereng pada lomba 17-an di sekitar komplek kendati bukan aku pemenangnya tertulis “Elisa selalu menjadi pemenang di hati Bapak”

Aku tak mampu menahan air mataku sekali lagi, kertas-kertas tersebut membawaku kepada kenanganku bersama Bapak. Aku merindukan Bapak. Namun kepergian Bapak mengajarkanku banyak hal, aku mampu memaknai hidup lebih lagi juga mendorongku menggapai cita dan harapan demi seseorang yang saat ini akan ku jaga dengan sebaik mungkin dan satu-satunya sandaran yang aku miliki, Ibu.

“Dari Bapak untuk Elisa, 20 merupakan angka kehidupan dimana kamu mencari, mendapat, dan menyelami segala sesuatunya yang terjadi, Bapak yakin hal-hal baik akan terus mengiringi kamu, kamu anak yang baik, Bapak sayang Elisa”

Selesai.

Ditulis oleh Syalma Namira mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2017



Kolom Komentar

Share this article