Cerpen

Cerita Dia, Si Wadam

Ilustrasi stiletto yang dikenakan Reni.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


google

Datang seorang dengan stiletto merah menyala itu mendekat ke arahku yang duduk di bangku pinggir gang, dengan senyum yang dihiasi warna merah menyala pula. Ia berjalan di bawah bayangan lampu jalan, dengan langkahnya yang gemulai. Beda sekali dengan sosok yang kutemui enam tahun yang lalu. Aku sedikit terperanjat dari dudukku saat aku sadar siapa dirinya.

Dulu ia suka sekali memakai sweater berwarna koral pastel dengan topi putih kesayangannya, sekarang sosoknya sudah dibalut dengan gaun mini ketat berwarna hitam dengan aksen renda di beberapa bagian. Lehernya yang panjang tertutup oleh rambut cokelatnya yang bergelombang. Lekukan tubuhnya yang sangat nampak serta kaki jenjangnya yang terekspos itu menambah kesan 'seksi' dari segi visual. Namun, dalam hatiku setengah merutuk ketika melihatnya berpenampilan demikian.

"Joni? Lama nggak lihat kamu?" sapanya dengan senyum merekah saat ia sudah berdiri di depanku. Aroma manis dari tubuhnya merebak di sekitar indra penciumanku, membuatku sedikit terusik.

"Iya? Bagaimana kabarmu? Penampilanmu sedikit..." aku menggantungkan kalimatku. Namun, dia hanya tersenyum simpul.

"Haha... aku bosan dengan hidupku sebelumnya, jadi aku mengubah gayaku... ya, sedikit," jawabnya dengan setengah ragu, gestur tubuhnya sangat santai seolah sudah terbiasa dengan segala perubahannya.

"Ya. Bahkan suaramu saja... berubah?" entah nadaku malah terdengar seperti menanyakannya. Aku takut jika ia tersinggung dengan perkataanku tadi.

Dia duduk di sebelahku, sedikit rapat. Ia menyilangkan kakinya dan menyibakkan rambutnya. Lalu, ia menatapku dalam dan seakan ingin memberitahu sesuatu padaku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Nggak, aku kangen mukamu. Dulu aku sering pukul mukamu, ingat?"

Aku hanya mengangguk, membenarkan perkataannya.

Entah bagaimana ekspresiku sekarang yang terlihat di matanya, aku masih merasa kaget, takut, dan ragu. Namun aku mencoba bersikap senatural mungkin, tetapi sepertinya gagal. Kembali, ia melanjutkan bicaranya.

"Kita selalu satu sekolah, satu kelas, satu bangku. Banyak juga yang mengira kita saudara kandung. Aku nggak mempermasalahkan itu, tapi aku merasa aku udah nyaman sama kamu. Ingat juga nggak, waktu kita makan gorengan di warung Bik Munah, ada yang teriak 'coba kalian pisah sehari kek, nempel mulu,' dan kita cuma mendiamkan mereka.

Aku senang ketika kamu ingat ulang tahunku, tapi jujur aku kurang begitu suka dengan kado darimu. Jam tangan, kemeja, celana kain, dompet kulit. Aku berikan semua hadiah darimu kepada semua sepupu laki-lakiku. Ada beberapa waktu saat aku enggak mau bikin hatimu sakit, jadi aku pernah memakai kemeja biru tua yang kamu berikan. Walau akhirnya tergeletak di lemari begitu saja sebelum kukasih ke sepupuku.

Semenjak kamu bilang 'aku suka penampilan Renata—cewek yang kamu suka waktu kita SMP, tariannya gemulai, kostumnya juga bagus,' dari saat itu aku mulai mempelajari tarian daerah, aku mulai suka dengan kostum tari, aku suka dengan selendang merah, aku menyukai semuanya.

Ketika itu, saat kamu memberikan kado gaun merah jambu ke pacarmu yang kesekian, jujur aku sangat iri. Aku juga ingin kamu memberikan itu padaku, di hari ulang tahunku, hari spesialku. Tetapi aku terus menahan hingga saat ini, aku enggak berani bilang."

Dia mengusap pipi kanannya yang sudah basah dengan air mata, lalu dia mengibaskan rambutnya di bahu kanannya. Ia tersenyum getir, menunduk, seolah ia berbuat kesalahan yang besar. Matanya terlihat masih berkaca, namun ia menutupinya dengan senyumnya yang dipaksakan.

"Aku juga...bingung dengan selera cewekmu. Ketika aku tahu kamu suka tipe cewek yang pintar, berambut panjang, dan terlihat seksi walau hanya dari matanya, aku mencoba berubah seperti apa yang kamu sukai. Aku mulai mencoba mempelajari make-up¸memanjangkan rambutku, mempelajari mode, belajar lebih giat, mengubah penampilanku menjadi lebih feminin, segalanya.

Sampai akhirnya ketika kamu bilang akan melanjutkan studi beasiswa ke luar negeri, aku sangat terpuruk. Sia-sia aku berubah agar kamu memahamiku. Aku takut, kalau kamu sudah ke luar negeri, kamu enggak mengingatku lagi. Aku takut, kamu enggak mau mengenaliku lagi. Tapi, aku bisa apa? Aku putuskan, aku mengikhlaskanmu."

Aku termenung dengan unek-unek yang dikeluarkannya. Aku merangkul pundaknya, mencoba menenangkan. Bulir-bulir air matanya masih berontak keluar dari mata sipitnya, ia terus mengusapnya beberapa kali.

"Lalu, selama kita lepas kontak, apa yang kamu lakukan? Kamu sudah dapat kerja?" tanyaku perlahan.

Belum sempat bibir wanita itu bergerak, sebuah lemparan keras menghantam kepalanya. Gulungan kain yang besar, tidak teratur, dan tercium bau anyir, tergeletak di dekat kakiku. Orang yang melemparnya adalah Adi, teman kerjaku yang sekarang matanya dipenuhi emosi. Dia tidak sendiri, ada lebih sepuluh orang yang berdiri di belakangnya dengan tatapan yang sama, dan aku tidak mengenali satu pun diantara mereka.

"Dasar banci! Minggir lu, Jon! Enggak usah deket sama bajingan itu! Jijik! Banci bangsat!" Adi mengeluarkan sumpah serapahnya. Sorak-sorai melecehkan pun juga terdengar. Kerumunan Adi pun mulai mendekat ke arah kami dan berusaha melepas genggaman wanita yang mereka panggil 'waria' itu dengan kasar.

"Woi banci sampah!"

"Nggak  ada yang mau sama lo!"

"Rudi bencong! Ngapain lo masih nyari muka ke Joni, hah?!"

"Udah lupa jati diri lo, Rud?! Minggir lo dari Joni, Rud!"

Aku didorong oleh seseorang, hingga aku terjungkal ke belakang. Penglihatanku memburam, namun aku masih mendengar suara tendangan, makian, dan meronta. Masih tampak bayangan Rudi yang ditendang dan dijambak rambutnya, namun badanku tidak mau bergerak bahkan hanya menggerakkan lenganku yang terasa amat sangat nyeri.

"Percuma lo pake nama malam lo, Reni!"

"Enggak guna banget lo jadi manusia!"

"Lo mau kabur kemana lagi, hah?! Mau gangguin siapa lagi lo?!"

"Kerjaan lu 'ngelayanin' orang masih kurang cukup?!"

Makian itu makin terdengar pilu saat Rudi berteriak meronta ketika tubuhnya menahan sakit saat ditendang dan diinjak. Gaunnya terlihat robek di bagian pundak, rambut gelombangnya pun kusut. Ia menangis, menahan rasa sakit di tubuh dan hatinya.

Ditulis oleh Mahmudhah Syarifatunnisa, mahasiswi  Manajemen, FEB 2016.



Kolom Komentar

Share this article