Belenggu Masa Lalu
Hanya penyesalan dan rasa bersalah yang tertinggal dalam dirimu karena pilihanmu saat itu.
Sumber Gambar: Istimewa
Beep…beep…beep. Bunyi alarm memecah keheningan di pagi hari. Mataku yang terasa berat harus kupaksakan untuk bangun. Aku bangkit dari tidurku, lantas memandang sekeliling kamarku dan berhenti pada angka yang ditunjukkan alarm, pukul 04.35. Matahari pun bahkan belum menampakkan wujudnya. Aku menghela napas, mengingat hari ini adalah Senin, hari yang paling padat bagiku.
Aku beranjak menuju kamar mandi dengan lemas dan mencuci muka. Air dingin yang menampar wajahku seolah menyadarkan untuk menghadapi realita yang harus kuhadapi. Aku menyentuh air di bak mandi yang telah terisi penuh sebelum masuk ke dalamnya. Suhu airnya hangat dan sangat cocok untuk berendam, sontak saja aku menuju bak dan berdiam diri di dalamnya. Setidaknya air hangat ini menghiburku pagi ini.
Aku menuruni anak tangga dan melihat cahaya dari dapur beserta suara riuh seseorang yang sibuk memotong sayur.
“Loh ibu, tumben jam segini sudah masak?” tanyaku penasaran.
“Iya, banyak yang harus ibu siapin jadi harus mulai pagi-pagi. Oh, iya. Yola itu kentang tolong kamu cuci ya habis itu dipotong dadu,” jawab ibu sambil menunjuk wadah berisi setumpuk kentang di sebelahku.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil wadah tersebut dan menuju wastafel. “Memangnya ada acara apa bu, kok sampai buat makanan sebanyak ini?” kataku sambil mencuci kentang.
“Kamu lupa hari ini hari apa?” tanya ibu. “Hmm, hari Senin bu,” jawabku singkat. “Ya ampun, Yola kamu bener-bener lupa ya. Hari ini kan ulang tahun pernikahan ayah sama ibu, kita mau piknik bareng, kamu juga ikut kan? Minggu lalu kamu bilang mau izin gak masuk kantor hari ini,” jelas ibu.
Tanganku terhenti saat mendengar jawaban ibu, seketika ingatan itu tiba-tiba muncul secepat kilat. Aku lupa jika seharusnya hari ini izin bekerja. Aku terdiam dan cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku.
“Ibu, kentangnya sudah selesai aku potong-potong. Aku mau naik ke atas dulu ya,” ungkapku dengan resah. “Iya, nanti turun ya jam setengah tujuh, kita sarapan dulu sebelum pergi,” ucap ibu. “I-iya bu,” jawabku terbata-bata.
Sesampainya di kamar aku terdiam dan memikirkan bagaimana caranya bilang kepada ibu. Mataku terus bergantian melihat ke kanan dan ke kiri. Piknik bersama merupakan tradisi dalam keluargaku untuk merayakan ulang tahun pernikahan orang tuaku.
Tiga tahun terakhir ini, aku tidak ikut karena sibuk dengan pekerjaan dan minggu lalu aku berjanji akan ikut hari ini. Pikiranku kacau selama beberapa saat dan tidak menemukan solusi yang tepat untuk keadaan ini. Mau tidak mau aku harus menentukan salah satu pilihan.
“Kak Yo, disuruh ibu sarapan,” panggil Farris. “Iya dek, sebentar kakak lagi siap-siap,” sahutku. Aku bergegas mengancing bajuku dan pergi ke ruang makan. Di sana sudah ada ayah, ibu dan juga Farris. Aku duduk dengan canggung dan makan dengan perlahan.
Ketika aku ingin berbicara, nada dering ponselku berbunyi menandakan telepon masuk. “Iya pak, saya sudah siapkan bahan rapatnya hari ini,” jawabku menyahut orang di telepon. “Iya, pak saya akan segera ke sana,” ucapku kemudian menutup telepon. Ibuku berdiam diri memandangiku. Seolah menunggu penjelasan keluar dari mulutku.
“Hmm, maaf ya bu, ayah. Yola sepertinya hari ini harus masuk kerja karena ada rapat dengan beberapa klien sampai sore,” ungkapku dengan nada suara yang rendah.
“Bukannya kamu sudah izin kerja? Kenapa hari ini harus masuk kerja?” tanya ibu dengan heran. “Yola lupa bu kalau hari ini harusnya Yola izin dan ikut piknik bareng, maafin Yola ya? Yola janji deh tahun depan bakal ikut,” jelasku.
Raut wajah ibu berubah menjadi kecewa. “Ya sudah, semoga tahun depan kamu gak kelupaan lagi ya,” ungkap ibu murung. “Sudah bu, nggak apa-apa. Yola kamu gak usah pikirin lagi ya fokus aja dengan rapatmu hari ini,” kata ayah. “Iya, makasih ya yah,” ucapku gembira kepada ayah.
Aku keluar dari ruang rapat dengan lesu. Tiga rapat dengan klien sudah aku lalui. Aku melirik arloji yang terpasang di tangan kiriku. “Seharusnya mereka saat ini sedang makan bersama di sana,” gumamku membayangkan keluargaku yang sedang piknik.
“Yola,” panggil seseorang di belakangku. Aku menegok ke arah suara dan melihat atasanku. “Iya, ada apa pak?” tanyaku. “Kamu sudah boleh pulang sekarang, rapat dengan klien sore ini ditunda karena beliau ada urusan mendadak, jadi nanti kamu atur jadwal ulang untuk rapat ya,” ucap atasanku. “Baik, pak,” balasku bersemangat. Mendengar hal tersebut, pikiranku langsung tertuju untuk mendatangi keluargaku. Aku bergegas menuju mobil dan berangkat ke tempat piknik.
Angin kecil berhembus lembut di wajahku. Sinar mentari yang menusuk mataku membuatku terbangun. Aku melihat ibu tersenyum di hadapanku kemudian mengusap rambutku dengan tangannya yang kasar. Entah mengapa usapannya terasa hangat dan membuatku tenang. “Yola, sampai kapan kamu mau baring di pangkuan ibu?” tanya ibu membuyarkan lamunanku. Ah, benar tadi aku buru-buru pergi dari kantor dan menyusul mereka. “Mau lama-lama aja hehe, soalnya empuk banget nih,” godaku. “Ibu sudah pegel nih, ayo cepat bangun,”sahut ibu. “Hahaha, iya ini Yola bangun,” jawabku.
Aku memandangi hamparan lapangan hijau di depanku. Kulihat Ayah dan Farris sibuk mencoba menerbangkan layang-layang. Sangat lucu melihat tingkah laku mereka berdua, benar-benar ayah dan putranya. Pandanganku kemudian beralih kepada ibu yang sedang membaca buku sambil bergumam.
Tanpa sadar, seutas senyum terukir di wajahku. Aku berpikir sejenak dan menyadari betapa aku sangat menyayangi keluargaku, begitu juga dengan mereka. Mereka adalah segalanya bagiku. “Ah, andai waktu bisa berhenti saat ini juga,” gumamku sambil mendongak menatap langit.
Suara langkah kaki terdengar di sepanjang koridor. Della berhenti di depan kamar 104 dan masuk ke dalamnya. Sosok wanita berwajah pucat dengan mata sayu dan perawakan yang kurus terlihat sedang duduk memandang keluar jendela sambil tersenyum.
Ia penasaran apa yang sedang dipikirkan wanita itu tetapi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya, takut menganggu lamunan menyenangkan tersebut. Ia kemudian menghampiri wanita tersebut kemudian menatapnya dengan simpati.
“Malang sekali dirimu, kenapa kau jadi seperti ini? Semenjak hari itu, tiga tahun lalu, kau sudah tidak menjadi dirimu lagi. Kau benar-benar telah hancur dan menyerah pada segalanya bahkan dirimu sendiri. Waktu seolah telah berhenti sejak saat itu, saat keluargamu meninggalkanmu untuk selamanya. Hanya penyesalan dan rasa bersalah yang tertinggal dalam dirimu karena pilihanmu saat itu. Pada akhirnya kau mulai menciptakan duniamu dan hidup di sana. Aku harap suatu saat nanti kau benar-benar bisa bahagia. Semoga lekas sembuh, Yola," wanita itu tidak berkutik, hanya diam dengan tatapan kosongnya.
Cerpen ditulis oleh Hasanah, mahasiswa Psikologi, FISIP 2019