Cerpen

Beatles Malam Hari

Hari ini kurang lebih diisi dengan kesialan. Pertama, hari ini hujan turun dengan deras selama seharian dan aku ketiduran sampai semua jemuranku kebasahan di halaman jemur indekos.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : englishfiles.com

Hari ini kurang lebih diisi dengan kesialan. Pertama, hujan turun dengan deras selama seharian dan aku ketiduran sampai semua jemuranku kebasahan di halaman jemur indekos. Ketika langit malam akhirnya menyisakan gerimis (dan aku bisa keluar membeli makan), lampu tiba-tiba mati di tengah acara makanku.

Kedua, rupanya hujan bertambah deras seiring malam dan baterai ponselku hampir meninggal. Gedung ini juga sepi karena penghuninya pergi satu persatu ke kampung halaman selama pandemi. Satu-satunya hiburan adalah menghubungi mereka yang mengaku temanku di kontak WhatsApp. Ngomong-ngomong, ini sudah pukul satu. Aku tak optimis jika pesan-pesanku akan dibalas seseorang.

Sampai akhirnya sebuah pesan masuk. Rupanya balasan datang dari Alyssa, juniorku di organisasi kampus. Sudah kuduga, ia pasti masih terjaga. Daripada gelisah karena hujan dan lampu yang dengan berengseknya masih padam, kuputuskan untuk mengobrol dengannya.

“Aku tuh baru sadar, ternyata dia itu ada di mana-mana! Serius, kalo nggak ngelihat foto-foto ultah atau kunjungan sekolah kemarin, aku nggak bakal sadar kalau selama ini dia ada! Anjir, keberadaannya tipis banget sih!” seru temanku di telepon yang bercerita tentang gebetannya.

“Yah, aku aja gak bakal sadar kok kalau kamu nggak mention. Keberadaannya tipis kayak tetangga kosku, mana sepi lagi,” sahutku.

“Oh, kenapa nggak bareng tetanggamu itu aja? Ngobrol kek, apa kek.”

“Aku aja bahkan nggak tahu dia gantung diri atau nggak di kamarnya.”

“Oi oi, mulutmu. Serem banget sih malem-malem!” jerit temanku.

“Lah serius. Sudah berhari-hari nggak kelihatan, tapi ada musik yang nyala di kamarnya.”

“Maksudnya?”

“Gini loh, setiap aku nyalakan mesin air aku lewat kamar itu. Kayak gak ada orang, tapi tiap magrib musiknya berhenti dan lampu tetap nyala. Lucunya, motor yang ada di kos ini cuma motorku,” jelasku.

“Anu, coba tanya orang kosmu nah. Takutnya itu ditinggal pergi terus lupa matiin lagu. Tapi kamu bilang tiap magrib musiknya mati? Mungkin emang ada orang kali?” tanya Alyssa.

“Nah, yang punya kos sekeluarga ke Balikpapan mulai kemarin. Entah pulang besok apa gimana, tapi aku dititipin rumah ini. Kupikir aku sendirian karena cuma ada motorku. Ternyata kamar ujung dekat WC selalu nyala lampunya!”

“Coba besok pagi diketok deh pintunya. Bukannya apa-apa sih, tapi semoga orang di dalam situ sehat walafiat.”

“Pernah aku ketok, di dalamnya ada orang,” jawabku.

“Iya, terus gimana?”

“Terus ngelambai kayak siluet dari balik gorden. Eh, nyahut sih orangnya. Dia tanya, ‘Napa, Mas?’ Baru kubilang aja kirain gak ada orang.”

“Dia ada jawab lagi?”

“Nah dia jawab, ‘Lah ada saya kok’ sambil ketawa gitu,” ujarku.

“Tapi ketawa manusia kan, Dim?”

“Ya iya ketawa mas-mas gitu. Mas biasa.”

“Oh bagus deh. Kenapa sih itu orang?” jawab Alyssa dengan nada menyelidik.

Tiba-tiba, kepalaku dipenuhi rasa penasaran. Kuputar kenop pintu kamarku, dan melirik ke luar. Ke arah kamar tersebut.

“Dimas? Masih hidup kan?” panggil temanku di seberang sana.

“Iya lah, anjir. Aku di luar nih. Lagunya berhenti, tapi lampunya nyala,” kataku.

“Kok bisa?”

“Kok bisa gimana? Eh, tunggu dulu! KAN MATI LAMPU!” seruku kaget.

“Cek sana buruan!”

“Bentar kuketok!”

Kulempar ponsel ke kasur dan segera berjalan cepat menuju kamar tersebut. Takut bercampur aduk dengan gelap dan dinginnya suasana ini. Kuberanikan diri, lalu ku ketok pintu kamar itu sekali lagi.

“Siapa?” sahut sebuah suara di dalamnya. Namun tak ada tanda-tanda pintu kamar ingin dibuka.

“Saya mas, tetangga. Lampunya kok nyala, ya?” tanyaku.

“Oh, lampu cas biasa. Hehehe,” katanya sambil tertawa.

“Oke mas, saya masuk dulu ya,” jawabku lirih dan kembali dengan cepat. Teleponku masih nyala rupanya. Segera kuambil dan mengabari Alyssa.

“Oi Sa!”

“Gimana-gimana? Orang hidup kan?”

“Bilangnya sih lampu casan biasa, terus udah deh aku pergi. Lampunya mati nih sekarang,” tengokku dari balik jendela.

“Hih seramnya. Emang ada manusia yang tinggal di situ kan?” deliknya.

“Nah ini dia masalahnya, Sa. Kosku ini banyak yang sewa mingguan aja. Karena pekerja transit doang. Jadi banyak orang datang terus pergi gitu,” paparku.

“Jadi kamu nggak tahu dia ini emang ngekos di sana dengan waktu berapa lama?”

“Ya tentu saja aku nggak tahu karena gak intens ketemu. Gebetanmu aja terlupakan, apalagi orang-orang ini,” sahutku jahil.

“Ah ngeselin banget sih kamu! Terus, lagu yang terputar sama terus apa gimana?” berondongnya.

“Sama terus. Aku tahu lagunya, Eleanor Rigby punya The Beatles. Makanya kupikir dia suka musik keren. Tapi, kemarin dia nyetel Yesterday dan Let It Be kok. Aku sadar karena biasanya sama terus.”

“Ah, pokoknya gini deh. Besok kalau yang punya kosan datang, tanyain aja itu orang pekerja apa bukan. Pastikan sih dia manusia,” pesan Alyssa.

“Ya kali pekerja jarang keluar. Paling banter mahasiswa sih. Paling perantauan.”

“Tapi menurutmu, ada yang menarik gak sih dari lagu-lagu yang dia setel itu? Gak wajar banget tahu setiap hari nyetel lagu yang sama, diulang-ulang. Kayak gak ada Spotify aja,” cibirnya.

Baru saja ingin menjawab, sayup-sayup diantara hujan, lagu itu kembali terdengar. Kutempelkan telingaku di jendela, dan tak salah lagi. Eleanor Rigby!

“Sa, musiknya kedengaran lagi!”

“Eh seriusan?! Bentar deh, aku mau ngecek isi liriknya!”

“Gak ada yang menarik sih. Nih, aku kirimin liriknya ke chat,” kataku sambil mem-forward lirik dari Google ke laman chat.

“Dim, coba baca lirik pertama sebelum terakhir!” teriak Alyssa.

“Apaan dah?”

“’Died in the church and was buried along with her name. Nobody came.’ Serem gak tuh?”

“Apa hubungannya coba sama Let It Be dan Yesterday?” ujarku bingung.

Let It Be itu kan lagu tentang Paul McCartney yang nggak mau The Beatles bubar. Yesterday itu tentang penyesalan. Eleanor Rigby tentang kesepian. Apa mungkin?”

“Dia bubaran sama pacarnya, nyesel, terus kesepian baru mati?”

“Iya kali. Gak tahu, ah! Ngantuk nih aku, bubar duluan ya. Jangan mati malam ini ya, Dim!” kata Alyssa sambil menutup telepon.

Siapa yang tadi tertarik banget, siapa juga yang pergi duluan, batinku. Kurasa aku juga harus segera tidur. Bateraiku benar-benar habis, dan ini hampir jam dua dini hari. Semoga aku dapat jawaban atas keganjilan ini esok.

Aku bangun kesiangan dan masih saja hujan. Sambil duduk di pinggir ranjang, samar kudengar suara orang-orang sedang berbincang. Kusibak gordenku, dan menemukan pemilik kosku sedang berbicara bersama seorang pria yang tinggi. Ada mobil pemilik kos dan sebuah mobil kecil penuh debu di depan mereka. Kuputuskan untuk keluar dan menyapa mereka.

“Permisi Pak, Mas,” kataku.

“Eh, Dimas! Ini Mas Randi, kayaknya kalian belum ketemu! Kamarnya di sini, sebelah toilet,” tunjuk Pak Diman pemilik kos.

OH. Ini kah sosoknya?

“Halo Dimas. Maaf baru kenalan, saya baru pulang dari Berau. Seminggu di sana karena Ibu sakit, jadi cuma numpang badan dua hari di kosan terus balik deh!” katanya sambil menyalamiku.

“Ah iya, Mas. Salam kenal, saya Dimas,” balasku menjabat tangannya. Hingga aku menyadari sesuatu yang aneh.

Apa? Seminggu di Berau? Jadi siapa yang menyetel Eleanor Rigby di kamar itu selama seminggu?

Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswa Akuntansi, FEB 2017.



Kolom Komentar

Share this article