Cerpen

Asa di Kota Layak Huni

Asa di kota layak huni

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Google

"Bu, sampahnya saya ambil."

Selang beberapa detik, manusia di dalam rumah gedongan menyahut. "Iya, ambil."

"Saya hitung sampai lima, gak boleh nambah sampah lagi, ya!" ujar lelaki itu menimpali.

Kini giliran rumah tua nenekku yang disinggahi, dengan berujar sama.

Namanya Ijar, tidak pernah tahu siapa nama aslinya. Mahasiswa yang kini berkeliling kampung sebagai pengumpul sampah. Hobinya mungkin berteriak dari rumah ke rumah. Penghasilan tentu tak seberapa, namun bisa jadi pengalaman dan kerja keras membuatnya lebih kaya dari mahasiswa yang mengejar IPK hari-hari.

Sesekali menyapa, sesekali tampak lelah. Kadang terpikir olehku, di mana letak gengsi manusia ini? Membawa sampah sore hari, membawa namanya dikenal sebagai tukang sampah.

Namun, yang katanya tukang sampah bisa jadi lebih baik dari yang menobatinya. Akan jadi apa ia dikenang nanti? Kalau sampah adalah bawaan sehari-hari?

Pada masa yang katanya revolusi industri 4.0, ia tetap santai dengan pekerjaannya. Lantas, apa sebenarnya kegentingan revolusi industri? Kalau untuk manusia bernama Ijar saja tak peduli akan hal ini? Rasanya ia lebih bahagia dari kita yang bahkan mencemaskan akan jadi apa nanti.

Atau dia mencemaskan hidupnya lewat doa yang didengar penduduk langit di sepertiga malam-Nya?

Penobatan Kota Minyak sebagai Kota Layak Huni pada beberapa tahun lalu, rasanya tak lantas mengantarkan ia menjadi manusia layak apresiasi. Penobatan, bisa jadi hanya pembalut gengsi untuk kota yang katanya kaya akan prestasi. Anak mudanya berlomba-lomba jadi keren, tanpa pernah benar-benar mengamati.

Asamu memang harus digantungkan setinggi langit, tapi pekamu juga harus disusul dengan jadi pengamat hebat.

Bukankah Ijar hanya salah satu dari sekian banyak orang yang menjalankan asa di kota yang dipandang mewah?

Ditulis oleh Restu Almalita, mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP 2018.



Kolom Komentar

Share this article