Cerpen

APATIS

Sebuah cerpen dengan judul Apatis, ditulis oleh Monika Wibisono Putri. Mahasiswi Ilmu Komunikasi, 2014. (Sumber foto: bersatunews.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


“Tuntut Somad! Kembalikan hak mahasiswa!”

Itulah salah satu tuntutan dari pengeras suara yang dikumandangkan. Membisingkan seluruh isi halaman rektorat. Nyanyian Buruh Tani dinyanyikan secara beriringan. Tuntutan demi tuntutan dibacakan. Wajah datar terlihat di rektorat. Rektorat memang tidak hanya ramai oleh massa penuntut. Ada beberapa mahasiswa yang lalu lalang di rektorat. Sama halnya dengan rektorat, mahasiswa-mahasiswa tadi juga berekspresi datar. Tidak ada raut penasaran. Tidak ada tanggapan, massa akan menuntut aksi selanjutnya.

*******

Matahari sudah mengurangi sinarnya, tanda waktu senja akan tiba. Massa yang terdiri dari mahasiswa gabungan BEM di Unmul hendak membereskan perlengkapan yang berhamburan mengelilingi halaman rektorat. Salah satu massa yang paling mencolok di senja itu adalah Tambun. Pemuda berbadan sesuai namanya ini bertanggungjawab atas perlengkapan selama aksi tadi.

Setelah selesai urusan rektorat, ia pun bergegas untuk pulang. Motor vespa keluaran lama siap melangkah bersamanya. Belum sempat menyalakan mesin, pundak Tambun di tepuk Aji.

"Mbun, ikam besok ada kuliah kah?" tanya Aji.

“Adalah pasti. Gak usah ditanya itu," jawab Tambun.

“Tolonglah, kau bolos lagi ya.”

“Uma ai, capek dah aku bolos lagi ji.”

“Ini demi tuntutan rektor terpenuhi nah. Demi Unmul yang lebih baik.”

Raut ragu terlihat dari Tambun. Ia ingin menolak tapi terlalu banyak jasa yang Aji lakukan. Aji merupakan teman baiknya sejak bertemu untuk mengurus administrasi mahasiswa baru di Unmul. Banyak jasa Aji yang ditorehkan dalam kenangan Tambun. Mulai dari memperkenalkan Samarinda sampai menolong motor vespanya yang mogok. Tambun jugalah di balik kesuksesan Aji naik sebagai ketua BEM Unmul. Banyak penolakan dari BEM-BEM Fakultas karena Aji hanya ingin popularitas hampa. Berkat kelihaian retorikalah Aji bisa dipilih. Karena ia tahu mahasiswa Unmul mudah dibuai oleh retorika-retorika belaka. Tambun sudah disiapkan posisi yang pas. Ia menempati posisi wakil ketua BEM Unmul. Banyak program-program aksi yang Tambun lancarkan. Salah satunya aksi menurunkan rektor Somad tadi siang. Sudah hampir delapan tahun Somad memimpin Unmul tapi nihil perubahan yang ia bawa. Sarana prasarana banyak yang mangkrak. Tidak ada sebandingnya dengan pembayaran uang semester tiap enam bulannya.  

Aji menepuk lagi bahu gempal Tambun. Segera Tambun terkaget.

“Ngelamun malah," sahut Aji.

“Ampun wal. Nanti dah aku kasih jawabannya.”

“Nggak biasanya ikam begini, ya sudah aku tunggu jawaban ikam segera nanti malam.”

Lalu Aji kembali ke motornya. Segera Tambun bangkit lalu bergegas pulang ke kostnya.

*******

Anita

086754xxxxxxx

Besok aku mau wisuda loh, Mbun. Doain ya. Kalau bisa datang loh.  Sorry ya baru ngabarin.


Baru sampai kost, Tambun dapat SMS dari seseorang bernama Anita. Anita adalah teman masa kecilnya yang kuliah di FISIP. Walaupun jarak FISIP dan FMIPA tidaklah terlalu jauh, mereka sudah jarang bersua karena kesibukan masing-masing. Awal perkuliahan, Tambun dan Anita sering jalan berdua seperti makan di warung favorit mereka di Pramuka atau saling mencicipi kantin di seluruh Unmul. Tak ayal, jika ketemu temannya, Tambun sering ditanya apa statusnya dengan Anita. Anita tipikal yang terlalu sibuk dengan perkuliahan dari pada ikutan menjadi aktivis seperti Tambun.

"Insya Allah, Nit. Aku besok ada aksi lanjutan lagi," balas Tambun.

"Aksi apa lagi?" Anita penasaran.

"Ini nah pak Rektor korupsi dana DIKTI."

"Ya sudah, Mbun. Sempetin loh tapi."

*******

“Assalamualaikum," sapa Aji di balik pintu kamar kost Tambun.

Tidak ada balasan dari dalam kamar Tambun. Aji mengetuk sambil mengucap salam untuk kedua kalinya. Dalam keadaan setengah sadar, Tambun membuka pintu.

“Apa, Ji? Jam berapa ini?" kata Tambun sambil mengucek matanya.

“Besok kita harus serang rektorat pokoknya," tukas Aji.

“Ji, jangan anarkis gitu dong. Yang penting kita bisa mediasi dan orang rektorat ada yang bisa kasih penjelasan. Cobalah ikam tenang dulu bah. Besok pagi kita harus siapkan massa lebih banyak lagi.”

“Nah itu dia, masih kurang masalahnya.”

“Kurang gimana lagi? Ikam itu loh Ketua BEM Unmul. Anarkis kurang setuju aku. Kita mahasiswa bisa pakai cara intelektual."

“Justru itu biar cepat diusut. Sampai kapan kita didengar kalau pakai cara gitu. Pantaslah mahasiswanya di sini juga tidak jauh beda pang.”

“Besok ada wisuda loh, Ji."

“Pas dah waktunya biar malu tuh Somad. Cari juga massa di luar BEM ya, Bun.”

“Apa! Kamu mau cari pasukan nasi bungkus lagi!”

”Udah nggak usah banyak omong cari sudah nanti soal anggaran ada yang nalangin. Bolos dulu lah kuliahmu. Belum TBU juga loh. Aku numpang tidur ya, kasian orang rumah kalau dibangunin," seloroh  Aji sambil berbaring di ambal kost Tambun.

Tambun tidak bisa berbuat apa-apa kalau Aji sudah menutup pembicaraan. Ia lalu menghubungi beberapa kenalan di kontaknya atas perintah Aji.

******

Suara Adzan subuh sudah lewat terdengar. Tambun dan Aji terbangun dari tidurnya. Bergegas siap-siap untuk rencana aksi yang mereka rundingkan tadi malam.

“Kam udah cari loh, Bun.” ucap Aji sambil menggaruk rambuk keribonya.

“Udah beres” sahut Tambun sambil berlalu keluar kamar.

*******

Waktu tampil matahari telah tiba. GOR 27 September sudah disesaki puluhan fotografer dadakan yang siap untuk mengabadikan kenangan. Kios bunga dadakan menjamur di bibir pagar GOR.   Para pewisuda belum semuanya muncul. Anita salah satu dari wisudawati tersebut. Ia masih berada di salon bersama ibunya. Dipadu kebaya kutubaru dengan bawahan songket khas Kalimantan Timur melilit dengan indah di tubuh mungilnya. Tak lupa, kerudung yang dirangkai oleh pegawai salon.

“Tambun bisalah antarkan kita ke GOR, Nit?" tanya Ibu Anita.

“Entahlah, Bu. Mbun ada urusan kayaknya," balas Anita dengan nada lesu.

“Urusan apa? Dia kok belum lulus jugalah kayak kamu?"

“Diakan jurusan fisika serta SKSnya banyak itu mungkin sulitnya ia belum lulus.”

“Oalah, padahal ibunya tadi mau ke sini juga kalau berbarengan lulusnya seperti kamu loh, Nit. Dia cuma titip kue aja tuh," ujar Ibu menunjukan kue yang terbungkus rapi di kotak.

******

Buruh Tani kembali dikumandangkan. Iring-iringan massa mulai masuk ke bibir GOR. Tidak seperti kemarin yang puluhan, kali ini ratusan. Serempak memakai alamamater kuning mereka masuk GOR tanpa peduli acara wisuda yang tengah berlangsung.

“Bapak rektor yang terhormat, jika bapak masih apatis, kita tidak akan berhenti sampai tuntutan terpenuhi," suara Aji.

Beberapa massa merusak fasilitas di GOR 27. Pagar yang gagah roboh. Kios bunga dan studio foto dirusak. Bunga hancur terinjak-injak. Pedagang di sekitar tidak tahu lagi harus berbuat apa saat massa mulai beringas. Lemparan batu mengenai jendela GOR 27. Seluruh wisudawan yang menunggu acara kaget dan berlarian untuk menghindari puing kaca. Acara wisuda yang baru setengah jalan terpaksa dibatalkan. Suara mobil polisi dan ambulans sudah berdatangan. Kedatangannya membuat mereka menarik kembali tindakan yang dilakukannya. Suara Aji masih menantang kemunculan hidung.

“Somad! Di mana kamu! Akhiri masa-masa tiranimu yang merugikan mahasiswa. Ini adalah gambaran jika kamu belum turun juga dari jabatanmu!" tuntut Aji.

Tambun yang di belakang Aji melihat wanita yang tidak asing di matanya. Itu adalah Anita yang syok sambil menggendong ibunya. Bercucuran darah mengalir di kening sang Ibu.

“Tolong! Tolongin Ibu saya!” lirihnya sambil menangis.

Ia sudah tidak peduli akan riasannya yang sudah berantakan. Sepatu hak tinggi ia angkat sambil memapah ibunya. Naluri Tambun bergejolak. Ia tidak ingin teman masa kecilnya sedih di hari bahagia yang sudah ia kacaukan. Di satu sisi, ia harus menemani teman baiknya berjuang demi keadilan.

Sebentar saja ia melihat paras Anita dan ibunya. Fokusnya kembali ke aksi retorika Aji. Hingga ia dan Aji ditangkap pihak kepolisian. Tangan yang dikepal berubah menjadi kedua tangan yang diborgol. Mereka berdua digeladang masuk ke mobil polisi. Anita sempat melihat kejadian penangkapan tersebut.

“Mbun…”

Seketika kotak kue titipan Ibu Mbun jatuh ke tanah.

Ditulis oleh Monika Wibisono Putri, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, angkatan 2014.



Kolom Komentar

Share this article