Cerpen

Ada Pelangi di Matamu

Cerpen, ada pelangi di matamu

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Pngtree/Christnina

Aku masih duduk dan mematung. Berusaha untuk tetap tegak, sembari terus memantau setiap perkembangan jarum jam. Aku sedang menunggu. Setiap menit, detik, adalah kesempatan yang harus kubayar dengan begitu mahal.

Ini menjadi kebiasaan. Suatu kebiasaan melelahkan, tapi lunas terbayar dengan sebentuk senyum yang sangat mematikan. Terkadang ada saat di mana aku ingin menyesali kebiasaan ini, tatkala tak mampu untuk membayar lebih banyak lagi.

Tapi aku bertahan. Aku mencintai kebiasaan ini. Meski hanya pembenaran sekalipun, aku harus bertahan.

-

Penantianku tiba. Jarum jam telah sampai tujuan. Pukul 22.00. Kulemaskan otot-ototku yang sudah menegang sejak 3 jam yang lalu. Aku beranjak dari kursi, dan meraih sebuah amplop. Dengan hati yang mantap, kubuka amplop tersebut.

Ada sebuah surat. Juga beberapa prangko di dalamnya. Kertasnya sudah begitu usang, tapi tak lekang oleh waktu. Masih kuingat betapa senangnya hatiku saat surat ini sampai ke tanganku. Ia menjadi satu-satunya dokumen yang tersisa saat api melalap semua sisa kenanganku.

Kemudian, aku memejamkan mata. Hingga sebuah tepukan yang familiar membuka tirai mataku. Ia di sini, aku berbalik dan menemukan sosoknya. Hari ini, ia mengenakan sebuah gaun berwarna cerah. Dan senyum itu, merekah dengan indah di bibirnya.

Judith. Itulah namanya. Meski telah bertahun-tahun, aku tak pernah sekalipun jenuh mengagumi dirinya. Sudah setua ini, tapi kasmaran selalu menampar diriku begitu kuat. Selalu muncul dalam benakku, bahwa keberadaannya adalah alasan jiwaku menolak tua.

"Ian, aku datang," sapanya dengan suara yang amat halus. Aku meraih tangannya. Tangan yang halus dan amat terawat. Kucium punggung tangannya.

"Aku merindukanmu, Sayang," jawabku. Ia mengelus pundakku yang tegap dengan kasih sayang.

"Oh, Ian. Kau tak harus melakukan ini demi diriku," ujarnya dengan nada cemas. Aku menggeleng kuat-kuat.

"Tidak, Judy. Aku mencintaimu. Mencintai saat ini. Tak ada alasan bagiku untuk berhenti."

Judith tersenyum lebar. "Ian, kau tak pernah berhenti keras kepala dan tetap manis. Aku tak bisa menolak orang tua dengan pesona seperti itu," ujarnya.

Aku memeluknya erat. Ia membalas pelukanku dengan hangat. Aku selalu ingin menangis saat memeluknya. Pelukan Judith membuatku merasa rindu dengan semua kehangatan dunia.

"Kau ingin dansa apa hari ini?" bisiknya.

"Waltz saja," bisikku.

Kami melepaskan pelukan. Aku menggenggam tangannya, dan ia menuntunku. Dansa ini adalah dansa kami. Pertemuan pertama kami. Momen di mana diriku tak ingin melepaskan pandanganku dari kelincahannya di lantai dansa.

"Judy, kapan kau berhenti membuatku bahagia?" tanyaku. Matanya tersenyum, dan ia kembali bersuara.

"Sampai kau lelah dengan kehadiranku," sahutnya dengan singkat. Aku menghela napas dan pasrah dengan jawabannya.

Saat dansa kami berakhir, ia tetap menggenggam tanganku dengan erat. Kepalanya tertunduk, dan wajahnya seperti menahan tangis.

"Ian?"

"Ya, Judy?"

Ia mengambil sebelah tanganku dan memeluk keduanya. Aku terkejut dan mendekatkan diri padanya. Ia diam untuk sesaat. Aku merapikan rambutnya yang berjatuhan ke depan.

"Ian, kesehatanmu memburuk. Berhentilah menemuiku," ujarnya.

"Aku baik-baik saja. Tidakkah kau sadar betapa sehatnya diriku? Aku masih mampu!" seruku menolak. Ia menggeleng.

"Bukan itu maksudku. Kita bertemu dengan tidak wajar. Tidakkah kau lelah dengan keadaan ini?"

"Lalu, apakah kau ingin aku menderita?" sergahku.

Ia memelukku kembali. Aku mendengar isakan yang sangat pelan.

"Tidak, aku senang kau menemuiku. Aku merindukan setiap pertemuan kita. Tapi, Ian," ia meraih wajahku dengan kedua tangannya, "Mari bertemu dengan baik, lain kali."

Aku merasakan dirinya menjauhi tubuhku. Tubuhku menjadi lemas dan bibirku tiba-tiba gagu. Sebelum Judith pergi, aku melihat dirinya tersenyum padaku. Bersama dengan pelangi di matanya, dan senyum yang selalu membekas.

Lalu aku memejamkan mata.

-

14 Februari 2019

Masyarakat tiba-tiba gempar atas pemberitaan tak terduga. Suara sirene polisi dan ambulans mengiringi tangisan para penggemar yang histeris. Semua surat kabar dan televisi tak berhenti mengabarkan berita yang sama.

"Aktor senior Brian Green ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Ia diduga meninggal dunia setelah overdosis..."

"HOT NEWS: BRIAN GREEN TEWAS KARENA OVERDOSIS LSD!"

"Polisi menemukan sejumlah besar lysergic acid diethylamide atau LSD dalam sebuah amplop beserta surat..."

"Diduga ia mengidap depresi atas kematian istrinya Claudya Judith tiga tahun yang lalu..."

-

Aku membuka mataku. Langkahku sangat ringan. Tak pernah aku menyapa udara sesegar ini.

Namun yang terpenting adalah kekasihku yang menunggu di ujung jalan.

"Ian!" serunya dari kejauhan. Aku melangkah dengan mantap. Usai sudah tagihanku dengan dunia. Sebab aku melunasinya dengan ikhlas.

*catatan: LSD atau lysergic acid diethylamide adalah narkotika sintetis yang dibuat dari sari jamur kering yang tumbuh di rumput gandum dan biji-bijian. LSD biasanya ditambahkan dalam kertas penyerap kecil yang dibagi menjadi kotak-kotak kecil mirip prangko dan dihiasi dengan aneka desain dan warna. 

Ditulis oleh Christnina Maharani, mahasiswi Akuntansi, FEB 2017



Kolom Komentar

Share this article