Viral Kasus Dedy Susanto hingga Jalan Panjang Menjadi Psikolog
Kasus Dedy
Sumber Gambar: William
SKETSA – Tahukah kamu perihal kasus ‘doktor psikologi’ Dedy Susanto? Namanya mencuat tatkala berseteru dengan seorang selebgram bernama Revina VT. Pasalnya, Dedy diketahui tak memiliki izin praktik hingga terdapat isu pelecehan yang ia lakukan pada kliennya.
Lalu, siapa sebenarnya yang bisa memberikan layanan psikologi hingga terapi? Sketsa kemudian berkesempatan berbincang dengan salah satu dosen Program Studi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul, Elda Trialisa Putri. Menurutnya, seseorang bisa dikatakan sebagai psikolog jika telah melewati serangkaian proses yang panjang.
“Pertama dia harus menempuh pendidikan Sarjana Psikologi dan harus linear. Jadi kalau cita-cita kepengin jadi psikolog dari S1 harus ambil psikologi,” sebut Elda.
Sejak jenjang S1 Psikologi, mahasiswa akan mendapatkan peminatan konsentrasi seperti pendidikan, industri, dan klinis. Setelah selesai menempuh S1 Psikologi, harus mengambil S2 Profesi Psikologi. Pada umumnya akan ada tiga penjurusan besar yakni Jurusan Klinis, Industri, dan Pendidikan.
Wanita yang juga merupakan lulusan S2 Profesi Psikologi ini mengungkap bahwa proses yang dilalui dalam seleksi tidaklah mudah. Ada serangkaian tes seperti psikotes, Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara untuk bisa diterima. Dalam perkuliahan, dua semester awal ditempuh dengan materi kemagisteran dan satu semester lagi profesi.
“Dua semester itu kita kuliah kayak S1, cuma di situ nanti akan membahas lebih dalam lagi teori ilmu Psikologi. Gimana sih menggunakan dalam sehari-hari kita untuk persiapan sebagai psikolog. Gimana cara kita berpraktik, kita mengasesmen, melakukan interpretasi data, dan bagaimana kita melakukan psikoterapi,” jelasnya kepada Sketsa, Senin (2/3).
Jika telah menyelesaikan dua semester tadi, maka pada semester selanjutnya calon psikolog akan mulai terjun pada praktik kerja psikolog. Terdapat 10 Satuan Kredit Semester (SKS) yang terdiri dari kasus komunitas, kasus kelompok, hingga kasus individu yang dikerjakan. Terkhusus individu, ada beragam kasus seperti psikotik, neurotik, kasus anak, dan dewasa sesuai dengan peminatan.
Kemudian, mahasiswa juga diwajibkan untuk melakukan praktik kurang lebih selama 6 bulan dalam menghadapi klien sesuai dengan kasus yang ditugaskan. Kasus-kasus tersebut akan melewati serangkaian pengujian dari berbagai tenaga ahli seperti dosen dan diuji menyeluruh oleh psikolog senior dari Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Di sinilah para calon psikolog bisa dinyatakan lulus atau tidak sebagai psikolog.
“Tapi sebelum kita lulus Magister Profesi Psikologi, kan ada ujian Himpsi dulu untuk mendapat gelar psikolog, tapi enggak langsung dikasi sertifikat sebutan Psikolog loh, nanti kalau kita menyelesaikan tesis. Setelah wisuda nanti kita akan disumpah profesi, di situ kita dapat Surat Sebutan Psikolog (SSP) dan Surat Izin Praktik Psikologi (SIPP) dari HIMPSI,” imbuh Elda.
Dengan kata lain, seseorang yang sudah dinyatakan lulus Magister Profesi Psikologi sudah bisa menyandang predikat Psikolog. Sehingga, berhak membuka praktik, termasuk telah mampu memberikan layanan psikoterapis.
Sementara orang yang mendapat gelar S3 Psikologi namun tidak memiliki kualifikasi Sarjana Psikologi dan Magister Profesi Psikologi tidak dapat disebut sebagai seorang psikolog. Karena ilmunya harus linear, S3 Psikologi yang tidak linear hanya dapat disebut sebagai doktor psikologi atau ilmuwan psikologi.
“Untuk menjadi psikolog harus melewati S1 dan S2 yang linear, S2-nya itu harus ambil profesi, wajib itu. Jadi, walaupun dia S1-nya non, S2-nya non psikologi, tapi S3-nya psikologi dia tidak bisa disebut psikolog. Boleh jadi psikolog kalau kembali menempuh S1 dan S2 psikologi, baru bisa dapat gelar profesi psikolog itu,” sebutnya.
Terkait kasus yang dialami Dedy, Elda mengimbau mahasiswa atau masyarakat yang ingin melakukan konsultasi agar lebih mengetahui latar belakang psikolog yang ingin dituju. Termasuk tempat praktiknya, karena psikoterapi tidak dilakukan di tempat pribadi seperti kamar dan sebagainya, harus sesuai dengan kode etik Himpsi.
“Muncul aja kecurigaan itu bagus, aware berarti kita. Kok harus di tempat seperti ini sih, kok enggak ada siapa-siapa sih, administrasinya seperti apa sih. Karena nanti pasti ada pencatatan juga, sebagai bahan portofolio terapis untuk memperpanjang izin praktik,” tambahnya.
Ia juga menyebutkan, terkait lokasi praktik untuk psikoterapis bisa dilakukan di tempat tertutup atau terbuka, karena menyesuaikan dengan kasus dari tiap-tiap klien. Misalnya kasus phobia sosial, terapi dilakukan di lingkungan yang ramai. Sedangkan, jika klien tidak bisa keluar melaukan terapi, psikolog bisa datang dan melakukan terapi di kamar namun klien harus didampingi oleh pihak keluarga.
Bagi yang belum tahu cara mengetahui legalistas seorang psikolog, bisa dicek melalui laman http://anggota.himpsi.or.id dengan memasukkan nama psikolog yang diinginkan. Sedangkan jika ingin datang ke psikolog klinis, bisa mengecek nama psikolog di laman https://simak.ipkindonesia.or.id/lacak-anggota-ipk-indonesia/.
Adapun tambahan surat yang harus dimiliki oleh seorang psikologi klinis seperti Elda, selain SPP dan SIPP adalah Surat Tanda Registrasi (STR) layaknya dokter, perawat, dan bidan. Surat ini dikeluarkan langsung oleh Kementerian Kesehatan untuk melakukan praktik.
Selain menjadi dosen, Elda juga membuka praktik di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Samarinda, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Provinsi Kaltim, dan tengah mengembangkan platform konsultasi psikologi yaitu DNR Psychology Consulting. Selain aktif memberikan info terkait dunia psikologi di Instagram (@dnrpsy.co), DNR Psychology Consulting juga membukan layanan konsultasi secara langsung bagi masyarakat umum.
Peserta Seminar
Kepopuleran Dedy Susanto sebagai doktor psikologi rupanya membuat salah satu mahasiswa Unmul pernah menjadi peserta seminar Dedy.
Ialah Khairunnisa Rengganis, mahasiswi Ilmu Komunikasi yang menjadi salah satu pengikut di akun Instagram Dedy Susanto. Mahasiswi yang kerap disapa Ninis ini memaparkan telah menjadi followers Dedy cukup lama karena beberapa temannya yang sering membagikan postingan Dedy.
Menurutnya, postingan yang kerap membahas permasalahan kehidupan ini dirasa sangat pas dengan permasalahan yang sedang dihadapinya. Melalui postingan Dedy yang memperlihatkannya mengadakan seminar di 4-5 kota dalam satu bulan membuat Ninis cukup mempercayai bahwa Dedy sosok psikolog yang cukup hebat.
Ia juga mencari tahu melalui internet terkait training atau seminar psikologi yang diadakan Dedy. Di mana dengan harga yang terbilang cukup mahal, sebesar Rp550 ribu tetapi banyak review-review positif. Hingga pada tanggal 25 Mei 2019 lalu, Dedy mengadakan seminar di Samarinda.
Sejak perseteruan Dedy versus Revina berlangsung, Ninis sangat terkejut dan syok. Pasalnya ia sudah merasakan keanehan tersebut sejak seminar yang diikutinya. Ninis mengatakan, sebelum seminar peserta diberitahu untuk membawa uang sebesar Rp100 ribu, membawa pas foto dan yang terakhir semua peserta khususnya perempuan dibariskan untuk selfie satu-persatu bersama Dedy, dan foto tersebut wajib dikirim ke nomor pribadinya.
“Seminarnya kayak biasa, dan hari itu disuruh bawa uang seratus ribu dan foto diri. Nah dia bilang foto selfie tadi harus dikirim sebelum jam 1. Ya aku mikir positif aja mungkin foto itu mau diposting di IG-nya,” kata Ninis.
Dedy yang selama ini terkenal sebagai doktor psikolog dalam seminar sesi terapi psikologisnya juga dibantah oleh Ninis. Ini dikarenakan sesi seminar hanyalah ruang curhat peserta hingga peserta menangis dan permasalahan apapun disebabkan oleh luka batin peserta. Hal tersebut membuatnya tak lagi mempercayai Dedy, terlebih setelah ia diketahui tidak memiliki lisensi yang jelas sebagai psikolog.
Hingga kini, kasus Dedy masih dalam penyelidikan pihak kepolisian. (will/arr/len)