Urgensi Serikat Pekerja Dosen dan ASN, KIKA Hadirkan Diskusi
Urgensi serikat pekerja dosen dan ASN di tengah kepungan otoritarianisme.
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi
SKETSA – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) kembali menghadirkan forum diskusi. Kali ini digelar pada Jumat (31/3) melalui kanal YouTube dengan tajuk Urgensi Serikat Pekerja Dosen dan ASN di Tengah Kepungan Otoritarianisme.
Narasumber yang mengisi diskusi tersebut ialah Mutia Rizal seorang birokrat menulis.org, Nabiyla Risfa Izzati selaku dosen Fakultas Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada, dan Charles Simabura dosen Universitas Andalas.
Serikat Pekerja ASN
Membuka sesi diskusi, Mutia mengungkap perkara masih banyaknya diskriminasi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN), salah satu misalnya terkait tunjangan kerja.
Ia menilai itu serikat pekerja sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi kepungan otoritarianisme. Walaupun,serikat pekerja ASN sebelumnya telah berdiri dengan sebutan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia). Namun, menurutnya Korpri dinilai belum dapat diandalkan untuk melindungi dan mengayomi ASN.
Pasalnya Korpri sejak 1975 sampai dengan orde baru selesai, menjadi alat untuk memenangkan partai politik tertentu. Itulah mengapa perlu adanya pergerakan yang lebih nyata, agar Kopri tidak timpang dan dapat berlaku adil dalam menjalankan tugas.
Mula-mula Korpri perlu menengok kembali prinsip-prinsipnya, termasuk AD/ART, apakah telah berpihak pada kepentingan melindungi dan mensejahterakan ASN. Selanjutnya, perlu banyak dialog yang dilakukan dengan komunitas ASN yang sekarang bermunculan untuk mendapat masukan,dan dukungan. Kemudian dihadirkanya program-program yang lebih segar dan progresif. Terakhir, Mutia menyebut perlu ada aksi pergerakan bukan sekadar imbauan atau seruan, yang nyata dalam upaya perlindungan martabat ASN.
Serikat Pekerja Dosen
Dikusi dilanjutkan oleh Nabiyla, dalam sesi diskusinya ia menyoroti pertanyaan yang sering terdengar ketika berbicara mengenai isu serikat dosen, yaitu ‘memangnya boleh secara hukum?’. Itu kerap dilayangkan terhadap serikat ASN yang bukan Korpri.
Namun, dalam ruang-ruang diskusi, masih jarang menyoal mulai dari apakah dosen sudah mendapatkan penghidupan yang layak. Mengapa terdapat beragam status dosen di perguruan tinggi. Apakah ada ketimpangan pendapatan atau perlakuan antara status-status dosen. Hingga bagaimana sebenarnya kondisi kerja dosen. Tak ketinggalan, disebutnya pula pertanyaan besar: apakah dosen selama ini bisa menyuarakan kegelisahan dengan terbuka, dan perlukah dosen berserikat?
Mengutip dari beberapa tweet mengenai fakta di lapangan, dirinya menyebut terdapat kasta-kasta dosen. Di mana setiap universitas mempunyai kasta yang berbeda. Ada universitas yang hanya memiliki dosen PNS atau non-PNS kemudian terdapat pula universitas yang ternyata punya dosen Badan Layanan Umum (BLU), dan dosen kontrak.
Berangkat dari permasalahan yang terjadi itu, Nabiyla menganggap penting bagi dosen untuk berserikat. Pasalnya ketika terjadi masalah meski hanya di salah satu universitas, hal tersebut tidak hanya menjadi masalah universitas itu sendiri, tetapi menjadi masalah bersama. Dengan berserikat, kekuatan dapat dihimpun secara kolektif.
“Kita kan sama-sama pekerja kenapa sih kok kita harus saling berantem antar pekerja? Kenapa sih kita harus saling berantem dengan universitas dan universitas lain? at the end of the day yang kita inginkan adalah kita sama-sama sejahtera kan, bukan cuman satu dua orang yang sejahtera, dan serikat adalah cara terbaik untuk bisa melakukan itu,” ungkapnya pada diskusi kala itu.
Urgensi Serikat Dosen dan ASN
Terakhir, Charles Simabura turut berpendapat bahwa urgensi serikat dosen dan ASN ialah karena tak semua ASN dapat berhimpun dalam satu organisasi tunggal, termasuk organisasi tandingan sekalipun. Kemudian, masing-masing pegawai memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda.
Lebih lanjut, dirinya menegaskan kembali terkait kebebasan berserikat dan berkumpul. Bahwasannya, tidak ada larangan bagi PNS untuk berserikat dan berkumpul, kemudian organisasi yang difasilitasi negara sebagai wadah PNS hanyalah Korpri.
Dalam hal hendak membentuk organisasi lain pun, menurut Charles sepanjang tidak bertunduk pada perundungan terkait Korpri maka sah secara hukum baik berupa yayasan, perkumpulan, termasuk organisasi kemasyarakatan. Sebab yang dilarang hanya PNS terlibat partai politik dan organisasi terlarang lainnya. (rvn/khn)