Berita Kampus

Tak Diberi Ruang Berpendapat, Suara Mahasiswa Bagai Dibelenggu

Bagaimana keadaan Indonesia khususnya kebebasan dalam menyampaikan kritik, dan menilik bagaimana hegemoni membelenggu kebebasan berpendapat mahasiswa.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

SKETSA - Aspirasi-aspirasi di berbagai kanal media sosial kian menjamur. Akhir-akhir ini misalnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menghebohkan dunia maya lantaran menyuarakan kritik terhadap Presiden Joko Widodo. Lembaga mahasiswa itu mengunggah sebuah gambar di Instagram @bemui_official dengan tajuk konten “Jokowi: The King of Lip Service”.

Unggahan pada (26/6) lalu itu memamerkan foto Presiden Joko Widodo memakai jas dan mahkota di kepala. Lantas menjadi viral di media sosial dan menuai banyak kritikan. Mulai dari dukungan atas penyampaian kritik maupun ancaman yang menghujani kolom komentar tersebut.

Sederet orang dari berbagai kalangan yang kontra pun menganggap tindakan mahasiswa ini melanggar aturan berkritik dan berpendapat, serta dapat dikenakan pasal UU ITE. Di sisi lain hadir anggapan bahwa mereka hanya berusaha memaparkan bagaimana keadaan Indonesia khususnya kebebasan dalam menyampaikan kritik, dan menilik bagaimana hegemoni membelenggu kebebasan berpendapat mahasiswa.

Dihubungi Sketsa Senin (5/6), Herdiansyah Hamzah yang merupakan Dosen Fakultas Hukum (FH) ini pun turut menyampaikan pendapatnya. Baginya isu mengenai gelar The King of Lip Service yang diberikan kepada Presiden itu mempunyai dasar atau gagasan yang jelas.

“Saya pikir yang dilakukan oleh BEM UI soal tagline Jokowi: The King of Lip Service adalah hal yang biasa saja. Karena habitatnya mahasiswa itu ya kritis, persoalan itu bahwa melanggar aturan atau tidak, itu kan omongan birokrasi UI,” terangnya.

Selain itu, ia juga yakin tindakan yang dilakukan BEM UI itu merupakan upaya membuka kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang dan negara, termasuk demokrasi kampus. Namun, hal itu harus memastikan hak konstitusional itu terpenuhi dengan baik.

“Melihat rekam jejak birokrasi kampus, malah birokrasi kampus itu seharusnya mendukung demokrasi kampus. Jadi, dasar apalagi jika bukan pembungkaman, dan ada relasinya dengan para intelektual kampus atau intelektual kambingnya. Apalagi memanggil mahasiswa di hari minggu untuk menurunkan tagline itu,” jelas Herdi.

Herdi juga beranggapan bila ada birokrat atau pejabat yang melaporkan kasus seperti ini, itu menandakan ada indikasi mereka tidak memahami critical thinking ataupun hate speech. Selain itu, mereka seakan-akan buta dan tuli dengan tugas dan tanggung jawabnya, lantaran hal itu sebuah konsekuensi seorang pejabat yang harus siap dikritik.

Ia juga menekankan bahwa tak sepatutnya masalah ini dijadikan delik pencemaran nama baik dalam UU ITE. Sehingga, perlu adanya perubahan atau revisi dalam UU ITE, terutama mengenai pasal-pasal karet. Ini juga berhubungan dengan situasi demokrasi Indonesia yang dibuktikan dengan indeks demokrasi Indonesia yang menurun.

Penurunan indeks demokrasi Indonesia yang menurun dinilai berkaitan dengan persoalan dalam pemahaman mengenai hate speech atau critical thinking. Tak hanya itu, aturan multitafsir dalam UU ITE juga berpengaruh terutama pada pasal-pasal karet yang berakhir dengan menghambat kebebasan sipil.

Menurut Herdi, sudah ada payung hukum yang jelas dan mendasar bagi mahasiswa agar bebas menyatakan pendapatnya. "Konstitusi pasal 28 ayat 3 itu hakiki untuk melindungi mahasiswa atau warga sipil dalam kebebasan berpendapat," tuturnya.

“Batasan dalam kebebasan berpendapat dalam kacamata hukum ada dua yakni, kebebasan dalam pikiran dan tindakan. Sepanjang tidak memukul itu tidak masalah sebenarnya, dan delik dalam bidangnya itu tidak sampai memukul atau menyentuh . Tetapi jika ekspresinya dalam bentuk pikiran, pendapat atau gagasan, kecuali sudah menyentuh ranah pribadinya,” sambungnya.

Kisah Senada Pembungkaman Suara Mahasiswa

Jika menyandingkan kasus ini dengan lingkungan Unmul, hal ini pernah dialami beberapa mahasiswa. Di antara mahasiswa tersebut salah satunya ialah Wakil Gubernur BEM Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Ahmad Fikrianto. Dirinya pernah mendapatkan ancaman hingga peretasan akun media sosial miliknya. (Baca: https://www.sketsaunmul.co/berita-kampus/usai-aksi-kaltim-selamatkan-kpk-jilid-i-mahasiswa-alami-peretasan-dan-ancaman/baca)

Tidak hanya kepada dirinya, ancaman tersebut juga turut dirasakan orang tua Fikrianto. Kedua orang tuanya mendapatkan panggilan secara berulang dari orang yang tidak dikenalnya, dan mengancam postingan-postingan kritiknya di media sosial.

“Orang tua saya ditelepon terus, disampaikan bahwa anaknya harus menghapus postingan-postingan tersebut. Jadi segala hal yang berbau dengan aksi media kami disuruh hapus dari pihak yang meretas ini,” ujar Fikrianto pada awak Sketsa, Senin (5/7).

Bentuk pembungkaman mahasiswa yang berujung ancaman seperti ini sudah jelas dapat mengganggu kegiatan pribadi korbannya. Fikrianto hanya berusaha mencari pelaku secara mandiri, lantaran jika melalui jalur hukum menurutnya tidak perlu dilakukan karena masih dibatas yang masih bisa dirinya kendalikan. Meski begitu, apabila ada tindakan yang mengganggu kenyamanan pribadi atau keluarganya, ia tak segan untuk menempuh jalur hukum untuk mengawal hal tersebut.

Dilontarkan pertanyaan mengenai bagaimana kebebasan serta keleluasaan bersuara dan berpendapat dalam ranah mahasiswa, ia menjawab bahwa hal itu merupakan hak warga negara untuk bebas bersuara.

“Ini adalah bentuk dari pemotongan hak kita sebagai seorang manusia karena sudah termaktub pada Undang-Undang No. 39 tahun 1999 pasal 23 ayat 2 itu setiap orang itu berhak untuk menyebarluaskan, mempublikasikan pendapatnya dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang tercantum pada undang-undang tersebut,” terangnya.

Menurutnya, orang yang kemudian membungkam suara rakyat yang tidak hanya di ranah kampus ketika ada yang membatasi suara mahasiswa. Namun, mungkin orang lain yang dengan sengaja untuk membungkam suara-suara mereka. Maka mereka telah melanggar undang-undang tersebut. Pada dasarnya semua orang memiliki hak yang sama sebagai seorang manusia.

Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya dapat menindak tegas orang-orang yang melakukan pembungkaman. Tak hanya itu, sebagai mahasiswa dirinya tetap harus terus menyampaikan aspirasi, tetap harus menjaga daya kritis, dan mengkritik atas setiap permasalahan yang terjadi selama tidak melanggar nilai-nilai yang ada.

Selain itu, jika masih ada bentuk-bentuk pembungkaman, mahasiswa sepatutnya lebih lantang menggaungkan suara dan dukungan terhadap pergerakan yang sama di muka umum.

“Maka ketika kita menemui ada orang-orang, ada oknum seperti itu kita harus lebih lantang lagi. Maka kita harus semakin bersolidaritas dan bersuara kembali atas setiap permasalahan yang terjadi,” pungkasnya. (fzn/syl/str/lyn/rst)



Kolom Komentar

Share this article