Berita Kampus

Stres Akademik, Peran Kuliah Daring hingga Tekanan Orang Tua

Menilik kuliah daring dan tekanan orang tua dalam stres akademik.

Sumber Gambar: Dok. Pribadi

SKETSA – Kondisi pandemi Covid-19 yang belum berakhir menyebabkan sebagian besar kegiatan mahasiswa dilakukan secara daring. Selain harus melakukan aktivitas secara virtual, mayoritas mahasiswa perantauan kembali ke kampung halaman dan tinggal bersama keluarga. Meski pembelajaran terkesan efisien dan mudah selama online, nyatanya hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan.  

Dikutip dari infografis tirto.id, Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota dengan 1.700 responden menyebutkan jika 73,2 persen anak terbebani tugas dan 77,8 persen anak kelelahan mengerjakan tumpukan tugas yang diberikan guru untuk dikerjakan dalam waktu singkat.

Keadaan di rumah juga tak lantas membuat semangat belajar meningkat. Masih di infografis yang sama, Jajak Pendapat PEKA I Unicef Indonesia x CIMSA Indonesia memaparkan jika 38% anak dengan rentang usia 15-19 tahun tertekan oleh orang tua. Lalu, seperti apa fenomena stres akademik pada mahasiswa?

Hairani Lubis, dosen psikologi klinis Unmul memberikan pandangannya terkait hal ini. Ia menyebutkan, stres merupakan bagian psikologis yang wajar dan pasti dialami oleh setiap individu. Ketika individu mengalami berbagai situasi yang mengancam, muncul reaksi fisiologis maupun reaksi psikologis sebagai respons terhadap stres. Adapun kondisi ini harus menjadi perhatian mahasiswa juga pihak universitas selaku penyelenggara pendidikan.

Terutama, karena sistem perkuliahan daring yang baru diterapkan. Semua pihak baik mahasiswa, dosen, dan universitas tentunya masih dalam proses penyesuaian. Banyak hal yang harus dipelajari dan ada pula kebiasaan baru yang harus dilakukan.

Di satu sisi, para dosen harus belajar memanfaatkan kecanggihan teknologi dengan baik dan membuat media pembelajaran yang bisa diterima oleh mahasiswa dalam kondisi daring. Di sisi lain, mahasiswa pun harus belajar untuk beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh dan mendorong dirinya untuk belajar mandiri.

Beban tugas yang banyak juga terbatasnya pergerakan mahasiswa menjadi salah satu pemicu stres akademik. “Misalnya satu kata kuliah ada satu tugas. Bayangkan kalau ada empat atau lima mata kuliah, itu pasti banyak sekali tugasnya. Kemudian adanya keterbatasan ruang gerak karena social distancing. Ini menambah tekanan pada mahasiswa,” jelasnya kepada Sketsa, Senin (14/11).

Ia juga menyoroti pemberian beban tugas mahasiswa yang berlebihan. Baginya, hal ini sama saja dengan tidak mendukung proses pembelajaran dengan baik. Sebab sejatinya, kegiatan belajar mengajar tak hanya terpaku pada tugas.

“Tapi bagaimana mahasiswa bisa belajar secara mandiri dan bagaimana ia bisa mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.

Berbicara tentang stres dan depresi, semua kalangan masyarakat mempunyai prevalensi atau resiko yang sama. Namun, banyak penelitian yang menyatakan bahwa tingkat sosial ekonomi juga memengaruhi dan memicu stres akademik yang terjadi pada mahasiswa.

Ia menjelaskan, mahasiswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah kebanyakan mengalami tekanan yang lebih berat. Selain mengalami tekanan dari beban tugas kuliah, mereka juga mengalami tekanan secara finansial akibat Covid-19.

“Misalnya ada orang tua yang di-PHK atau pendapatan usaha pribadi menurun drastis. Sedangkan biaya rumah tangga semakin tinggi atau pendapatan menurun tapi biaya yang dikeluarkan tetap sama. Ini membuat kondisi keluarga menjadi tidak stabil. Berpengaruh juga dengan kondisi kesehatan mental,” ujarnya.

Ketika kondisi finansial bermasalah, maka itu akan menjadi beban pikiran mahasiswa. Seperti bagaimana caranya untuk dapat bertahan di kondisi finansial yang sedang tidak stabil. Terdapat beberapa mahasiswa yang harus bekerja untuk membiayai kuliah. Hal ini pun akhirnya juga meningkatkan stres mereka.

“Misalnya mereka mengalami konflik di lingkungan kerja, kemudian membagi waktu antara kuliah dan kerja dan membagi waktu dengan mengerjakan tugas kuliah. Tekanan-tekanan ini menambah lagi tingkat stres yang terjadi,” terang Hairani.

Tak hanya ancaman stres, kecanduan internet juga mengusik perilaku mahasiswa selama berkegiatan di rumah. Menurutnya, jika mahasiswa bijak dalam menggunakan internet, mereka akan mengetahui seberapa lama ia harus mengalokasikan waktu untuk belajar daring dan berapa lama ia harus mengerjakan kegiatan lainnya.

“Memang kalau kita telaah, potensi kecanduan itu memang ada. Namun selama mahasiswa bisa mengatur strategi belajar dengan tepat, hal tersebut bisa dihindari. Mahasiswa harus tahu, hal-hal apa saja yang menjadi prioritas belajarnya.”

“Kebanyakan mahasiswa yang kecanduan itu bukan menggunakan internet untuk kuliah daring. Tetapi menggunakannya untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kuliah. Misalnya main game atau media sosial. Kegiatan-kegiatan itulah yang justru membuat mereka menjadi kecanduan internet. Jadi mau kuliah daring atau kuliah luring, potensi untuk kecanduan internet itu tetap ada,” lanjutnya.

Tekanan Keluarga

Disampaikan olehnya, salah satu faktor yang memengaruhi stres dan depresi ialah keluarga. Keluarga merupakan orang terdekat yang perilaku dan perkataannya sangat memengaruhi kondisi mental seseorang. Semakin tinggi dukungan yang diberikan keluarga, maka akan semakin rendah stres akademik yang dialami. Begitu pula sebaliknya. Semakin rendah dukungan yang diberikan oleh keluarga, maka semakin rentan pula mahasiswa mengalami stres akademik.

“Misalnya tuntutan orang tua yang berlebihan mengenai prestasi. Orang tua menuntut anaknya harus memiliki IPK tinggi, sementara orang tua tidak pernah memberikan apresiasi. Hal-hal ini membuat anak menjadi tertekan,” paparnya.

Kemudian, sikap orang tua yang sering membanding-bandingkan anak dengan anak lainnya tanpa memberikan motivasi juga menjadi tekanan tersendiri.

“Yang menjadi masalah adalah dukungannya. Kalau misalnya orang tua tidak tinggal bersama tetapi memberikan dukungan penuh kepada anak, maka anaknya akan memiliki tingkat stres yang rendah. Tetapi ketika mahasiswa ini tinggal bersama orang tuanya dan mereka memberikan tuntutan yang berlebihan tanpa penghargaan, maka ini yang akan memicu stres akademik kepada anaknya,” papar Hairani.

Kembali dari perantauan yang biasanya hidup sendiri dengan aturan sendiri, kini mahasiswa harus kembali di bawah aturan orang tua. Ia mengatakan, jika mahasiswa memiliki penyesuaian diri yang baik, dia akan berperilaku sesuai dengan norma yang ada.

“Meskipun jauh dari orang tua, ia harus tetap mematuhi aturan di tempatnya berada, kan? Kalau misalnya ia melanggar aturan, pastinya akan terkena sanksi sosial. Mungkin untuk beberapa orang, ada yang mengalami konflik terhadap penyesuaian diri atau terbiasa melakukan sesuatu tanpa izin orang tuanya,” katanya.

Hal kecil seperti meminta izin kerap menyebabkan konflik dengan orang tua. Namun, Hairani menyarankan agar orang tua dan anak dapat berkomunikasi dengan baik untuk mengatasi konflik. Karena seharusnya, saat-saat inilah mahasiswa dapat meningkatkan kualitas komunikasi dengan keluarga.

Terakhir, ia berpesan kepada orang tua untuk memberikan dukungan sebagai bagian terdekat dari kehidupan mahasiswa. Dukungan tersebut dapat berupa emosional hingga materiel.

Dukungan emosional dapat dilakukan dengan memberikan pujian dan menghargai usaha yang telah dilakukan anak. Sedangkan dukungan materiel dapat diberikan dengan menyediakan fasilitas pendukung selama pembelajaran daring. Namun tetap sesuai dengan kondisi dan situasi orang tua.

Kemudian, keluarga juga harus memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai. Selama hal tersebut tidak bertentangan dengan aturan dan tidak membahayakan dirinya dengan orang lain. Kesempatan ini bermaksud agar anak dapat untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan mengembangkan dirinya.

“Orang tua juga dapat menciptakan kondisi rumah yang nyaman dan kondusif bagi anak untuk belajar. Jadi orang tua juga memahami bahwa ada waktu-waktu tertentu anak butuh ketenangan, seperti ketika sedang belajar online,” tutupnya. (len/khn/jen/rst)



Kolom Komentar

Share this article