Berita Kampus

Sosiologi dan Perkara Radikalisme dalam Beragama

Paham radikalisme dalam kacamata Sosiologi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Unair News

SKETSA – Membahas radikalisme dalam konteks agama, kerap jadi perdebatan dari berbagai disiplin ilmu. Atas kejadian teror di Gereja Katedral Makassar pada Maret lalu, Sketsa mewawancarai civitas academica untuk mengetahui bagaimana radikalisme dari kacamata akademisi dan mahasiswa yang aktif tergabung dalam komunitas Duta Damai Kaltim. 

Baca: https://sketsaunmul.co/berita-kampus/menangkal-teroris-dalam-sudut-pandang-civitas-academica/baca 

Dosen Program Studi (Prodi) Pembangunan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Sri Murlianti mengungkap pembahasan radikalisme ini dalam sudut pandang Sosiologi. Melalui pesan WhatsApp pada Rabu (14/4), ia mengatakan bahwa paham radikalisme Islam yang masuk ke Indonesia merupakan efek dari globalisasi. 

Semakin meningkat kehidupan ekonomi Indonesia, semakin besar pula kesempatan masyarakat belajar agama langsung ke Timur Tengah. Yakni melalui aliran-aliran tekstual yang berkembang, seperti salafiyah dan takfiriyah yang cenderung radikal.

Hal tersebut menambah warna baru bagi perkembangan Islam di Indonesia. Sebelumnya, ajaran Islam dilakukan melalui pendekatan corak budaya yang ada di Indonesia dan lebih bersifat kontekstual (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) juga lebih toleran. Setelah kesempatan belajar tersebut semakin besar, muncul paham-paham baru yang diterima masyarakat.

Stigmatisasi radikal yang cenderung buruk ini dibantah Sri dalam perbincangannya bersama awak Sketsa. Radikal tak selalu buruk, sebab pada prinsipnya adalah sikap yang menghendaki perubahan dari akarnya. Di mana dalam konteks Islam adalah sikap untuk membuat ajaran Islam tersebut semurni mungkin sebagaimana ajaran tekstualnya (Al-Qur’an).

“Namun dalam praktiknya, cara untuk mewujudkan ideologi ini sering kali sangat ekstrem dan tanpa kompromi terhadap model-model tafsir lain. Pada titik yang paling ekstrem, yang tidak sepaham dianggap harus dimusnahkan,” jelasnya.

Radikalisme bisa diterima beberapa orang, karena tampak menggunakan pijakan ayat-ayat yang memang secara tekstual ada di dalam kitab suci. Mereka yang belajar dari akarnya, yang juga menjadi tokoh teroris tampak fasih menggunakan ayat Quran hingga muncul pembenaran atas tindakan tersebut. Terlebih doktrin mati syahid, yang secara sosiologis memberikan rasa eksklusivitas dalam beragama.

Sistem sosial yang hadir di Indonesia, sedikit banyaknya memengaruhi cara masyarakat dalam mengulik perihal agama secara komprehensif. Dengan literasi yang rendah, masyarakat terkaveling pada satu aliran baik pondok atau tokoh-tokoh tertentu. Dalam kondisi seperti ini, wawasan keagamaan cenderung terkotak-kotak dan kesulitan untuk membuka diri pada model-model pemahaman yang lain.

Di lain hal, kondisi ekonomi bisa menjadi hal yang dipermainkan untuk membangun narasi “tak bahagia di dunia, maka temuilah bahagia di surga”. Kondisi tersebut sering dimobilisasi tokoh teroris agar calon korban dapat bergabung. Dari hal tersebut, aksi teror dibahasakan sebagai sebuah jalan pembebasan hidup dunia yang berat menuju impian hidup lebih bahagia dan kekal di surga atas nama agama.

“Dalam kondisi daya literasi rendah, sangat mudah pemahaman agama diarahkan pada satu bentuk pemahaman dan aksi keagamaan diarahkan. Budaya literasi yang rendah, terutama literasi beragama yang egalitarian dan kemiskinan tampaknya menjadi dua variabel yang menyuburkan radikalisme dan terorisme,” ungkap Sri.

Beberapa alternatif menurutnya mengatasi kondisi tersebut. Pertama, menumbuhkan budaya beragama yang egalitarian, namun tidak semata-mata melihat tafsir tekstual yang kaku. Tetapi melihat secara kontekstual munculnya perintah-perintah Tuhan di kitab suci yang menjadi dasar akan sikap radikal dan memicu terorisme.

“Ajaran jihad misalnya, tidak melulu soal perang fisik dan pembunuhan yang berbeda pandangan. Tetapi bisa dikembangkan lebih ke arah jihad melawan diri sendiri: nafsu, kebodohan, kerakusan, keserakahan, korupsi, dan lain-lain. Kan juga mengarah pada perbaikan kemanusiaan yang lebih baik juga,” tegasnya.

Kedua, literasi kehidupan beragama pada konteks-konteks masyarakat yang berbeda. Seperti yang diungkap Clifford Geertz, ahli antropologi dalam kajian berjudul "Islam Observed”, ia menganalisis bagaimana ajaran Al-Qur’an dan nabi yang sama (Islam) bisa berkembang membentuk corak budaya Islam yang sama sekali berbeda pada konteks sosial, demografi, dan ekonomi. Layaknya Indonesia dan Maroko, dengan aspek budaya yang berbeda juga menghasilkan penerimaan beragama yang beda. Ajaran yang sama bisa membentuk pola atau corak Islam yang beragam.

Ketiga, pengentasan kemiskinan. “Secara psikologis, sangat mudah terseret oleh doktrin-doktrin yang menjual kehidupan surga. Mengatasi kemiskinan akan mempermudah mereka untuk lebih belajar terbuka terhadap banyak kemungkinan tafsir lain dalam beragama,” jelasnya.

Pada tataran pendidikan tinggi, Sri menyebut jika pengembangan Islam yang moderat seharusnya dapat dilaksanakan dengan baik. Kampus sebaiknya tak alergi membicarakan agama dengan mendatangkan pembicara dari beragam latar belakang. Sebab dengan diskusi terbuka, literasi beragama semakin kuat dan timbul kesadaran untuk menghargai kemanusiaan.

Berbicara dampak, Sri menuturkan bahwa di masyarakat akan timbul kepanikan, sikap saling curiga, fanatik terhadap penebar teror, dan stereotip. 

Stereotyping memunculkan sikap menjaga jarak dan saling curiga, menjadikan hidup mereka berat, mendapat hukuman sosial atas apa yang belum tentu mereka sepaham. Pada sisi lain, terorisme justru sangat merusak citra Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin,” tutupnya. (rst/eng/rvn/fsf/len)



Kolom Komentar

Share this article