Berita Kampus

Menangkal Teroris dalam Sudut Pandang Civitas Academica

Sudut pandang civitas academica dalam menangkal terorisme.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: New York Times

SKETSA — Maraknya aksi terorisme yang belakangan ini terjadi di Indonesia menjadi perbincangan banyak pihak. Kasus ini menuai beragam kritik, lantaran pelaku dari aksi ini melirik golongan tertentu dan mempunyai target usia korbannya. Dilansir dari kompas.com, Badan Intelijen Negara (BIN) menyebutkan bahwa masyarakat usia 17-24 tahun menjadi sasaran utama paham radikalisme.

Rahmat Aprilian, mahasiswa FISIP yang juga menjadi Koordinator Media di Duta Damai Kalimantan Timur (Kaltim) berpendapat bahwa pelaku terorisme memiliki target tertentu. Ia mengatakan, radikalisme yang mengarah ke tindakan ekstremisme (terorisme) mudah menyerang anak muda, terutama bagi yang masih berada di-fase pencarian jati diri.

“Hal ini dapat terjadi dikarenakan pelajar atau mahasiswa ini lagi haus-hausnya cari ilmu, cari pengetahuan dan nggak sedikit juga yang malah cari pengakuan,” papar Rahmat saat diwawancarai Sketsa, Senin (12/4).

Sulitnya penyelesaian permasalahan ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme terus berkembang. Salah satu penyebabnya ialah cara pandang mereka terhadap perspektif positif atau negatif. 

Jika diperhatikan dari kasus teror beberapa tahun terakhir, pelaku meyakini bahwa apa yang mereka kerjakan adalah sesuatu yang benar atau positif. Mereka tidak akan melakukan hal tersebut jika mereka menganggap hal itu salah.

Selain cara pandang terhadap perspektif positif atau negatif, faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi hal tersebut. 

“Biasanya mereka terjebak di lingkungan yang toxic. Entah pertemanan atau keluarga dan enggak sedikit yang terpapar paham ekstremisme-radikalisme karena salah mencari guru. Selain itu, banyak kasus terorisme yang terjadi akibat si pelaku menerima pemahaman tersebut dari media sosial tanpa mencari kebenarannya,” jelas Rahmat.

Sebagai seorang mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Duta Damai Kaltim, ia menerangkan beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesadaran kawula muda dari dampak paham radikalisme. 

Salah satu di antaranya yakni sama-sama membangun perspektif agar tak menilai banyak hal berdasar emosional saja. Tetapi, logika dan akal sehat juga perlu dipakai. Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas pergaulan, menerima perbedaan pendapat, tidak mudah menghakimi orang lain serta berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan.

Tidak hanya itu, Rahmat juga sudah merealisasikan upaya untuk mencegah beredarnya paham-paham ekstrimisme termasuk radikalisme dengan mengumpulkan lebih dari 30 organisasi kepemudaan, kedaerahan dan kemahasiswaan untuk mengampanyekan pesan-pesan perdamaian dan toleransi. Kegiatan-kegiatan lain seperti goes to school, audiensi dengan berbagai instansi dan produksi konten-konten edukasi tentang perdamaian turut digencarkan.

Media online juga turut menjadi faktor paham radikalisme ekstrem ini hadir. Rina Juwita yang merupakan dosen Ilmu Komunikasi Unmul pun turut menuangkan opininya yang dimuat prokal.co terkait masalah ini. Ia berpendapat, perlu adanya kebijakan preventif seperti penertiban masyarakat dan kampanye kontra narasi terhadap propaganda kelompok radikal (seperti ISIS) di ranah online.

Kompleksnya, kampanye media sosial kelompok tersebut memberi kesempatan terhadap perempuan atau kalangan awam untuk merasa diterima dan menciptakan ikatan dengan komunitas radikal online. Sebab ini merupakan kebijakan preventif seperti program pengenalan literasi media yang menyasar anak muda dan perempuan, bahkan kalangan awam merupakan suatu keharusan.

Rini Apriani, dosen Fakultas Hukum (FH) turut menyampaikan kepada Sketsa jika di Indonesia sendiri sudah ada regulasi mengenai aksi terorisme. Aturan hukum tersebut tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah. Peraturan tersebut juga sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Sanksi pidana yang tercantum di dalam regulasi tersebut juga sudah jelas. Mulai dari pidana penjara yang minimalnya dua tahun, pidana penjara seumur hidup, bahkan sampai pidana mati. 

Selain kedua pidana pokok tersebut, mereka yang terlibat juga dapat dikenakan sanksi tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, seperti pencabutan hak untuk memiliki paspor atau pas lintas batas. Namun, faktanya masih sedikit perbuatan terorisme yang diadili di pengadilan secara hukum.

“Kebanyakan pelaku dari perbuatan yang dituduhkan sebagai perbuatan terorisme itu langsung ditembak mati di tempat, dengan berbagai alasan ataupun langsung meninggal di tempat kejadian perkara karena peledakan bom yang dibawanya,” paparnya, Selasa (13/4).

Menurut Rini, cara mencegah aksi terorisme terutama di lingkungan kampus sendiri harus dengan kontribusi semua pihak. Pertama, pemerintah dan aparat penegak hukum harus memberikan kejelasan terkait terorisme dan klasifikasi perkumpulan teroris tersebut. Sehingga hal itu dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk bisa mencegah terjadinya terorisme terutama di lingkungan kampus.

Kedua, dengan adanya sentuhan pendidikan dan keteladanan dari keluarga, dapat terwujud individu-individu berstatus mahasiswa yang berakhlak baik. Selain peranan keluarga, diperlukan juga peranan masyarakat untuk melakukan kontrol atas perbuatan menyimpang yang terjadi di tengah masyarakat. Termasuk peranan dari pihak perguruan tinggi untuk melakukan kontrol tersebut. Akan tetapi, kontrol yang dilakukan haruslah sesuai dengan norma dan aturan hukum yang berlaku.

Terakhir adalah peran dari negara yang bertugas untuk mengurusi kepentingan warga negaranya dan memberikan perlindungan terhadap mereka. Perlu adanya konsistensi aturan, kejelasan aturan dan pengayoman yang harus dilakukan oleh institusi negara. Dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang harus lebih banyak mengambil peran. (rst/eng/fsf/rvn/fzn)



Kolom Komentar

Share this article