Berita Kampus

#SOSharks: Hentikan Kepunahan Hiu!

Tingginya konsumsi ikan hiu sebagai objek bisnis membuatnya semakin menuju kepunahan. (Sumber foto: Kumparan.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Populasi hiu di lautan kini semakin sedikit. Tingginya konsumsi ikan hiu sebagai objek bisnis membuatnya semakin diambang kepunahan. Dilansir dari wwf.or.id, Laporan TRAFFIC (www.traffic.org) selama tahun 2000-2010 menyebutkan bahwa Indonesia adalah penangkap hiu terbesar di dunia. Sebagian besar produk tersebut diekspor dalam bentuk sirip, minyak, dan kulit. 

Penangkapan besar-besaran ini diakibatkan oleh tingginya permintaan pasar terhadap produk hiu, sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem laut dan berdampak negatif bagi ketahanan pangan Indonesia. Dengan kondisi hiu-hiu yang semakin kritis, maka sejak Januari 2018, WWF Indonesia membuat sebuah kampanye bernama #SOSharks atau Save Our Sharks, untuk menghentikan penjualan hiu di pasar swalayan, toko online dan restoran serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa. Selain itu, WWF Indonesia juga membuka partisipasi untuk mengisi petisi di www.change.org/sosharks.


Apa yang terjadi pada hiu di lautan?

Dikutip dari wwf.or.id, sirip hiu (atau terkadang bagian tubuh lainnya) didapatkan dengan memotong sirip mereka hidup-hidup atau biasa disebut dengan Shark Finning. Kemudian, hiu tanpa sirip tersebut dibuang kembali kelaut dalam keadaan masih bernyawa dan kemudian mati secara perlahan. Praktik yang keji tersebut dilakukan terhadap 38 juta hiu setiap tahunnya (Clarke, 2006) dari sekitar 26-73 juta hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia (Fordham, 2010). Ini berarti sekitar 1-2 individu hiu tertangkap setiap detiknya. Disisi lain, hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan terhadap eksploitasi berlebih.

Sebagai predator tingkat atas, hiu memastikan terkendalinya populasi ikan dan menjaga keseimbangan ekosistem. Ketika populasi hiu terancam, maka ekosistem di laut pun menjadi tidak stabil. Contohnya dengan peristiwa yang terjadi di Atlantik, di mana penurunan populasi 11 jenis hiu mengakibatkan meledaknya populasi 12 jenis ikan pari hingga 10 kali lipat, yang merupakan pemangsa jenis kerang-kerangan (bivalvia). Hilangnya bivalvia mengakibatkan tingkat kekeruhan air meningkat sehingga kemampuan fotosintesis lamun menurun. Hilangnya lamun menyebabkan ikan-ikan juga hilang atau tidak bertahan hidup, hingga kawasan itu disebut dead zone. Hilangnya spesies kerang menyebabkan bisnis kuliner dilokasi tersebut juga runtuh, sehingga perekonomian terganggu.

Sandra Rokhmad Agustine, mahasiswi FPIK jurusan Sosial Ekonomi Perikanan 2015 memberikan pendapatnya mengenai kampanye #SOSharks atau seruan petisi yang diserukan oleh WWF Indonesia. Menurutnya, kampanye atau petisi ini sudah baik, namun untuk penerapannya masih terbilang cukup. Pasalnya, masyarakat kurang tahu dan masih kurang paham dengan kampanye dan petisi ini. Hal ini disebabkan oleh kurangnya publikasi kepada masyarakat. 

“Kampanye atau petisi yang dilakukan masih belum tersebar luas di masyarakat. Dan langkah nyata mereka belum memberi sebuah dampak,” jawabnya ketika diwawancara Sketsa melalui pesan Whatsapp. Dirinya juga menuturkan bagaimana negatifnya kegiatan Shark Finning yang dilakukan sejumlah oknum untuk mendapatkan sirip ikan hiu. 

“Hal tersebut dapat mengurangi populasi ikan hiu. Populasi hiu yang sehat menjadi jaminan terjaganya kelimpahan ikan-ikan konsumsi manusia,” ujarnya. 

Penangkapan besar-besaran terhadap hiu menyebabkan terganggunya keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem laut. Ikan-ikan karnivora yang biasanya dimangsa oleh hiu akan bertambah banyak sehingga ikan-ikan kecil akan menurun jumlahnya secara drastis. Akibatnya, alga yang biasa dimakan oleh ikan-ikan kecil akan bertambah banyak dan mengganggu kesehatan terumbu karang. Ketika terumbu karang rusak, ikan-ikan kecil terancam punah, demikianpun ikan-ikan besar. Dengan kata lain, berkurangnya populasi hiu dalam jumlah banyak akan berdampak negatif bagi ketahanan pangan.

Menurutnya, cara mendukung kampanye dan petisi #SOSharks ini adalah dengan menyebarluaskan kampanye ini dari mulut ke mulut atau media sosial, agar masyarakat dapat mengetahui kampanye yang menyerukan penghentian konsumsi sirip ikan hiu dan produk olahan hiu lainnya. “Dengan demikian, secara tidak langsung para produsen dan penjual terdorong untuk menghentikan penjualan produk-produk yang berasal dari hiu, serta mendukung media massa untuk berhenti mempromosikan kuliner yang berasal dari hiu,” tutupnya. (len/els)



Kolom Komentar

Share this article