Berita Kampus

Pengaruh Medsos dalam Fenomena Kebahasaan: Ancaman atau Bentuk Kreativitas?

Bagaimana Bahasa Indonesia selalu mendapatkan pengaruh dari setiap generasi.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Istimewa

SKETSA – Penggunaan bahasa pada era digital seperti saat ini rupanya menjadi perhatian para bahasawan di Indonesia. Terutama dalam penggunaannya di media sosial (medsos), di mana istilah-istilah baru bermunculan. Pengaruh platform medsos dipandang kurang pantas bagi perkembangan bahasa nasional, sebab penerapannya tak merujuk pada tata bahasa baku yang telah ditentukan. Bagaimana civitas academica kita menanggapi fenomena ini?

Eka Yusriansyah, dosen Program Studi (Prodi) Sastra Inggris dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unmul membagikan pandangannya kepada kami. Menurutnya, perkembangan bahasa bersifat dinamis. Sehingga, adanya perubahan merupakan suatu keniscayaan. Untuk itu, diperlukan dua paradigma dalam melihat keadaan tersebut.

Pertama, perkembangan bahasa bisa berakibat negatif karena akan mengerupsi bahkan mengikis nilai-nilai kesatuan atau cinta tanah air, khususnya dalam penggunaan Bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa-bahasa yang mengakar dari medsos semacam bahasa gaul, tidak menutup kemungkinan akan diadopsi atau diserap menjadi Bahasa Indonesia suatu saat nanti.

Kedua, dirinya menyebut jika fenomena bahasa ini dapat menambah khazanah Bahasa Indonesia itu sendiri. Lantaran bahasa selalu menambah lema (kata baru) dalam entri di kamusnya. Bisa saja bahasa populer tersebut akan diketahui oleh masyarakat umum. Meskipun mulanya beredar dari kaum milenial, bahasa populer dapat digunakan dan dinarasikan oleh banyak orang.

“Contohnya dari bahasa asing terkait media sosial, seperti meng-upload, men-download yang diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mengunggah dan mengunduh,” terangnya pada Sketsa, Kamis (7/10).

Tak luput, Eka pun menjelaskan sisi negatif yang dapat terjadi dalam perkembangan tersebut. Di satu sisi, fenomena ini bisa mendegradasi nilai nasionalisme atau persatuan. Sebab hal ini akan memunculkan kesenjangan dalam kelompok-kelompok masyarakat. Ia memberikan contoh seperti perbedaan penyampaian bahasa yang digunakan oleh anak gaul dan anak yang tidak gaul di medsos.

Eka juga meyakini, perubahan bahasa selalu mengikuti perkembangan zaman karena sifatnya yang saling menggantikan. Bahasa yang sekarang populer digunakan dan sah sebagai Bahasa Indonesia, masih memiliki kemungkinan untuk tereliminasi oleh kosa kata baru.

“Kalau kita mengamati kamus Bahasa Indonesia, banyak kosa kata yang digantikan oleh kosa kata baru. Kalau kata itu sudah usang, dalam artian jarang digunakan oleh masyarakat, (maka) akan digantikan. Oleh karenanya, perlu kontekstualisasi zaman. Untuk saat ini yang relevan kontekstualisasi, tapi tidak selalu kosa kata itu diakronik (berlaku sepanjang zaman), namun sinkronik,” lugasnya.

Dirinya menerangkan, munculnya fenomena perkembangan bahasa termasuk dalam kategori kreativitas linguistik. Ini dipengaruhi oleh aktivitas kebahasaan setiap komunitas di setiap generasi, yang sudah pasti memiliki beragam istilah yang berbeda. Hal tersebut dapat menjadi lahan yang sangat kaya bagi para linguis untuk menganalisis, mendokumentasi serta menyebarluaskan bahwasannya fenomena ini akan selalu ada pada setiap zaman, generasi dan kelompok.

“Fenomena kebahasaan itu adalah sebuah kreativitas dan perlu diapresiasi. Akan tetapi, jika kita kaitkan dengan unsur Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, di satu sisi mungkin akan sedikit mendegradasi. Namun jika dilihat dari kreativitas, saya pribadi sepakat dan mendukung sekali,” tuturnya.

Eka menyampaikan, pengetahuan terkait berbahasa juga harus selalu diperbaharui. Karena pengetahuan bahasa merupakan salah satu hasil dari fenomena kebudayaan yang selalu berkembang dan berubah. Tetapi saat ini, baginya generasi milenial kurang bijaksana dalam menggunakan bahasa terutama di medsos. Terjadi ketidaksadaran akan ruang dan waktu serta penyamarataan setiap kondisi dalam penggunaan bahasa saat berjejaring. Buatnya, ini keadaan yang fatal.

“Jika melihat masa lalu milenial, secara teori repetoar pengetahuan mereka dibentuk dari intensitas gesekan mereka dengan medsos,” jelas Eka.

Menutup tanggapannya, ia optimis jika esensi dari Bahasa Indonesia tidak akan hilang karena pengaruh dari medsos. Sebab masih banyak para ahli bahasa yang mengontrol penggunaan bahasa dengan baik.

“Saya tidak seputus asa itu, selama masih ada orang-orang ahli bahasa yang ingin menjaga kedaulatan, menjaga muruah bahasa. Pada peringatan Sumpah Pemuda, dalam salah satu butirnya menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Mereka ingin memurnikan Bahasa Indonesia dari bahasa populer,” pungkasnya. (fzn/lyn/len)



Kolom Komentar

Share this article