Berita Kampus

Melihat New Normal dari Tiga Aspek Kehidupan

Narasumber: Siswanto, Rian Hilmawan, Martinus Nanang, dan Riza Hayati Ifroh.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Dok. Pribadi

SKETSA – Menjadi salah satu kebijakan pemerintah di tengah pandemi, new normal atau sebagaimana direvisi istilahnya menjadi ‘kebiasaan baru’ merupakan opsi yang diharapkan bisa jadi penyelamat ekonomi Indonesia yang lesu. Terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/335/2020 tentang Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha menjadi dasar penerapan aktivitas new normal.

Dalam edaran tersebut terdapat berbagai acuan protokol kesehatan yang digunakan oleh pelaku usaha hingga tenaga kerja. Dilansir dari CNN Indonesia, selama pandemi perekonomian Indonesia pada kuartal I 2020 anjlok, yakni ada di level 2,97 persen, meski nilai tersebut terbilang masih positif. Lantas apakah penerapan new normal saat ini sudah tepat?

Dihubungi Sketsa melalui sambungan telepon, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unmul, Rian Hilmawan menyebutkan jika kebijakan ini memungkinkan untuk dilakukan agar perekonomian kembali bergeliat. Karena ekonomi hanya bisa bertumbuh jika kegiatan produksi, proses distribusi, dan transaksi konsumsi meningkat.

Menurutnya tingkat fatality rate atau angka kematian Covid-19 di Indonesia sangat bervariasi. Angka yang terkonfirmasi positif juga variatif jika dipecah hingga level kelurahan atau desa, di mana ada wilayah yang berzona hijau, kuning, dan merah. Sehingga penerapan new normal, yang mana masyarakat memulai kembali aktivitas dengan mengikuti standar protokol kesehatan, mungkin dilakukan. Pemerintah juga tidak bisa membuat masyarakat menghentikan aktivitasnya, karena menurut kacamata ekonomi dampaknya justru lebih fatal, masyarakat akan kehilangan pendapatan.

“Kebijakan ‘kebiasaan baru’ ini sendiri juga harus dipilih berdasarkan tingkat fatality rate-nya rendah atau tinggi, atau berdasarkan zonanya apakah berstatus hijau, kuning atau merah. Jadi di daerah seperti Jakarta atau daerah dengan konsentrasi mobilitas penduduk yang tinggi, itu tentu saja sangat berbahaya untuk menurunkan level kewaspadaan, namun di daerah berzona hijau idealnya harus kembali normal,” jelasnya (25/6).

Sementara untuk Kaltim, dia merasa new normal merupakan strategi yang rasional dengan syarat akses masuk penduduk dari luar Kaltim, terutama dari wilayah berzona merah sementara ditutup total. Dilansir dari kompas.com, jumlah kasus Covid-19 per Jumat (10/7) di Kaltim terkonfirmasi sebanyak 642, dengan rincian sembuh 478 orang dan meninggal 12 orang.

Masyarakat Kaltim dinilai sudah siap melakukan aktivitas ekonomi, karena jauh sebelum adanya wacana new normal, toko-toko sudah mulai buka, masyarakat juga sudah mulai berinteraksi. Meski masih terjadi penularan dan penambahan kasus, Rian tetap yakin jika Kaltim masih relatif aman menerapkan new normal.

“Strategi ideal ialah membiarkan masyarakat beraktivitas ekonomi dengan mematuhi protokol seperti penggunaan masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Ini tidak hanya mencegah penularan, tapi juga penyakit lain, sehingga nett benefit-nya adalah angka prevalensi sakit menurun, sementara ekonomi masih bisa tumbuh,” terangnya.

Meski begitu, perlambatan ekonomi pun tidak bisa dihindari. Perekonomian Kaltim banyak distimulus oleh berbagai program anggaran pemerintah, akibat adanya Covid-19 beberapa anggaran yang seharusnya untuk infrastruktur kini dialokasikan untuk bantuan sosial sehingga ada sedikit delay dari segi stimulus pemerintah.

Agar kebijakan new normal di Kaltim bisa berjalan dengan baik, Rian berharap pemerintah perlu melakukan revisi anggaran 2020 untuk dialokasikan kepada masyarakat kecil secara nyata. Adapun anggaran yang bisa dialokasikan adalah yang tidak terlalu mendesak untuk dilakukan selama pandemi berlangsung seperti perjalanan dinas, menurutnya anggaran tersebut nilainya cukup signifikan.

Misalnya memberikan bantuan modal usaha atau kompensasi kepada UMKM yang terdampak Covid-19. Sehingga perlu adanya daftar UMKM yang benar-benar terdampak sehingga dana yang diberikan benar-benar tepat sasaran.

Kemudian, secara jangka pendek dan jangka panjang pemerintah daerah harus memahami jika kegiatan ekonomi yang berasal dari masyarakat kelas bawah—UMKM, bisnis-bisnis kecil—adalah proteksi yang paling penting saat terjadi krisis.

“Ke depan perlu ada upaya yang riil dan terperinci terkait bagaimana memberi sarana kepada UMKM lokal agar bisa naik kelas,” imbuhnya.

Rian berharap pemerintah tidak hanya fokus pada bisnis sektor besar saja dan membiarkan UMKM atau bisnis kecil lainnya ada pada level bawah terus. Sehingga jika terjadi krisis ke depan, dampak ekonominya tidak terlalu besar. Karena ekonominya masih bisa tumbuh, sebab ditunjang dengan proporsi dari sektor UMKM yang semakin besar.

“Selama ini kan sektor UMKM kita itu banyak, tetapi kontribusinya terhadap ekonominya itu kecil. Nah, gimana caranya agar yang kecil ini ke depannya bisa besar kontribusinya ke perekonomian. Jadi dua kunci itu sih menurutku jadi PR besar untuk pemerintah,” tutupnya.

Menganggap Enteng

Sementara itu, menurut dosen Prodi Pembangunan Sosial, Martinus Nanang, pemberlakukan new normal merupakan salah satu upaya agar masyarakat bisa beraktivitas dan menjadi produktif kembali, termasuk aktivitas di kampus. Ini juga sebagai upaya mengurangi tekanan mental atau stres akibat tinggal di rumah dalam waktu yang cukup lama.

Berbicara tentang dampak new normal dari sudut pandang sosial, maka menurutnya hal ini kurang dipahami masyarakat. Karena yang masih terlihat adalah aktivitas dan perilaku yang masih berpola old normal—tidak pakai masker, bergerombol, dan lainnya. New normal sendiri terdiri dari dua kata yang penting, yakni new dan normal.

Martinus kemudian membedah arti dari kedua kata tersebut, normal itu dari kata ‘norma’, artinya aturan, standar atau patokan. Kebiasaan dan adat istiadat juga termasuk dalam norma. Sehingga normal berarti sesuai dengan aturan atau patokan tersebut. Kata new berarti ‘baru’, dalam hal ini berarti aturan tersebut baru dalam hidup bermasyarakat. Istilah lain dari new normal adalah tatanan baru untuk membentuk perilaku baru. Dikatakan baru karena ancaman atau risiko Covid-19 mengharuskannya dilakukan.

Dampaknya secara sosial, yakni ada kebiasan-kebiasan lama yang telah dianggap normal dan baik akan hilang untuk sementara waktu. Seperti menyampaikan salam dengan jabat tangan, cipika-cipiki, pelukan, duduk berdekatan, hingga berkumpulnya banyak orang. Hal ini akan digantikan oleh pola interaksi sosial yang baru, social/physical distancing dan komunikasi virtual akan menjadi norma baru yang menonjol.

Pola ini akan berlaku juga terhadap orang-orang yang yang paling disayangi. Misalnya, untuk keselamatan orang tua atau anak, banyak yang terpaksa harus tidak bertemu satu sama lain meskipun sangat rindu. Sedangkan untuk kegiatan kampus seperti kuliah dan bimbingan, seminar, rapat, bahkan riset akan banyak terjadi secara virtual, yang menegaskan ciri revolusi industri 4.0.

“Selain itu akan ada kebiasaan-kebiasaan pribadi yang akan berubah. Misalnya, ngopi-ngopi dengan teman, olahraga di gym, menonton bioskop,” sebutnya (22/6).

Baginya pemberlakukan new normal ini bisa berdampak positif dan negatif. Di satu sisi banyak pihak yang bisa berhemat dengan kegiatan virtual yang mulai dilakukan. Sementara itu, dari segi produktivitas bisa menurun karena masih banyak yang belum mengerti dan terbiasa dengan teknologi yang digunakan. Belum lagi yang sudah terbiasa bekerja dengan tim secara langsung dan butuh dorongan dan semangat dari kolega.

Dia mengaku kurang yakin pelaksanaan new normal akan berhasil, terutama dalam mencegah penularan Covid-19. Karena pemerintah hanya berpegang pada satu pilar yaitu sosialisasi. Sedangkan dalam keadaan krisis pandemi seperti saat ini banyak orang kurang peduli. Pemerintah seperti tidak mengerti bahwa perilaku manusia dibentuk juga oleh struktur, bukan oleh pemahaman saja—diperoleh melalui sosialisasi.

“Yang saya maksud dengan struktur adalah hukum atau peraturan dan penegakannya jika terjadi pelanggaran. Penegakannya itu perlu instrumen dan sarana,” tegasnya.

Sementara itu, bagi Martinus perlu adanya aturan yang mengharuskan setiap warga kampus berperilaku menurut norma baru tersebut. Aturan itu kemudian didiseminasi dan pelaksanaannya diterapkan dengan sanksi jika dilanggar. Menurutnya perilaku yang diharapkan itu hanya dapat dijalankan jika ada instrumen atau sarana untuk menjalankannya.

Seperti terbentuknya kebiasaan mencuci tangan akan berhasil jika sudah ada sarana cuci tangan. Menjaga jarak akan gagal kalau tidak ada ruangan yang memungkinkan 60 mahasiswa berjarak 1 meter di dalam kelas. Unmul harus memikirkan hal ini untuk mencegah ancaman covid-19 masuk kampus.

New normal mengandaikan bahwa ancaman Covid-19 masih ada. Jika sudah tidak ada ancaman, maka bisa kembali ke old normal. Menurutnya yang perlu diwaspadai ialah anggapan bahwa ancaman itu sudah tidak ada, atau ada namun diangap enteng.

“Kalau saya perhatikan, perilaku orang di luar sana sebelum new normal diberlakukan sepertinya memperlihatkan bahwa mereka menganggap ancaman itu tidak ada atau enteng. Bila new normal diberlakukan, semakin orang akan menganggap enteng,” sebutnya.

Razia hingga Literasi Kesehatan

Ketua Peminatan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Siswanto mengatakan, bahwa kebijakan new normal tidak hanya melihat dari sudut pandang kesehatan, melainkan untuk aspek kemaslahatan atau keseluruhan. Baginya, dalam sisi epidemiologi ini adalah langkah yang terbaik untuk masyarakat. Meski diakuinya, anjuran pemerintah ini dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda di masyarakat.

“Misalnya, keinginan pemerintah seperti ini, namun apakah sejalan dengan keinginan masyarakat? Kalau melihat keadaan sekarang, yang diharapkan adalah kedisiplinan. Dalam new normal ini, sebenarnya normal seperti apa yang diharapkan pemerintah? Tentu keadaan dengan disiplin pada protokol kesehatan,” jawabnya kepada Sketsa, Senin (29/6).

Menilik prosedur new normal yang membuat masyarakat menjadi lebih sering berkegiatan di luar rumah, Siswanto menyebut bahwa implementasi dari kebijakan inilah yang patut diwaspadai. Meski seruan new normal dari pemerintah sudah bagus, hanya saja proses menjalankannya yang tidak dapat menyesuaikan dengan semua situasi dan kondisi yang ada.

“Kan pemerintah berharap dengan keterlibatan Polri dan TNI, namun menurut saya itu tidak cukup. Perlu relawan satgas pengendali. Dengan adanya relawan ini, maka suatu pencegahan bisa dilakukan, contohnya dengan razia persuasif,” ujar Siswanto.

Adapun fokus pada razia ini tidak hanya sekadar penertiban biasa, melainkan dengan edukasi yang diperlukan. Terdapat pengawasan, pembinaan dan pengontrolan. Siapapun bisa menjadi relawan dalam hal ini, namun perlu dilengkapi dengan edukasi terkait komunikasi interaktif kepada masyarakat terlebih dahulu. Razia atau penerbitan ini juga dapat dilakukan di lingkungan kampus, asal dengan metode yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan.

Untuk lingkungan Unmul, Siswanto menyampaikan bahwa pemenuhan fasilitas hingga edukasi mengenai protokol kesehatan menjadi hal penting untuk dilakukan. Apabila tiba saatnya mahasiswa harus kembali beraktivitas di kampus meski dalam suasana pandemi, maka pihak kampus harus mempersiapkan metode-metode yang akan digunakan terkait kegiatan belajar mengajar yang akan berlaku ke depannya.

“Mahasiswa juga harus membekali diri dengan pola konsumsi yang sehat dan pikiran yang sehat. Lengkapi diri dengan asupan vitamin dan makanan yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, juga pemikiran-pemikiran positif dalam keadaan saat ini,” katanya.

Berbeda dengan Siswanto, Ketua Peminatan Promosi Kesehatan FKM Riza Hayati Ifroh memiliki pandangan lain terkait regulasi new normal yang berlaku. Dari sisi kesehatan masyarakat dan menurut para ahli, pemerintah harus menelaah kembali kebijakan ini, sebab belum merupakan keputusan yang tepat. Dapat dilihat, setelah adanya kebijakan tersebut, terjadi peningkatan kasus di beberapa wilayah.

Untuk menentukan bahwa sebuah wilayah dapat melakukan new normal juga memerlukan berbagai pertimbangan dan proses. Seperti menentukan keadaan sebuah wilayah dalam lima level dalam memberikan scoring terhadap keparahan pandemi. Lima level tersebut adalah tingkat keparahan, krisis, substansial, level kasus (tinggi atau rendah) dan pemetaan kasus.

“Karena new normal hanya bisa dilakukan untuk mereka yang berada di zona hijau dan wilayah yang tidak mengalami perubahan signifikan pada kasus Covid-19. Beberapa indikator yang harus kita pertimbangkan untuk new normal adalah kesiapan dari beberapa sektor. Seperti pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan, apakah sudah siap untuk menerapkan new normal. Jadi kalau menurut saya pribadi, keputusan ini betul-betul harus dipertimbangkan karena kita tidak bisa serta merta menerapkan new normal,” jelas Riza, Kamis (2/7).

Terkait strategi promosi kesehatan yang tepat untuk keadaan saat ini, Riza menyebutkan bahwa terdapat empat tindakan yang dapat dilakukan. Strategi tersebut adalah advokasi kesehatan, kemitraan, pemberdayaan masyarakat, dan bina suasana. Meski keempatnya harus dijalankan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, ia menyebut bahwa meningkatkan literasi kesehatan atau health literacy adalah yang terpenting.

“Pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan apabila ada keterlibatan dari masyarakat itu sendiri untuk mau berperan serta menjadi kader-kader untuk peningkatan literasi kesehatan di masyarakat,” tukasnya.

Selama pandemi masih terus berlangsung, mahasiswa masih diharuskan untuk tetap berkegiatan dan belajar di rumah. Tentunya ini mempengaruhi mental mahasiswa, seperti jenuh dan bosan. Ia menuturkan, hal ini dipengaruhi oleh gangguan dan kurangnya privasi selama di rumah. Selain itu, keadaan ini terjadi ketika seseorang secara secara mental tidak bisa melakukan coping stress pada tekanan-tekanan yang ada di sekitar mereka yang terbiasa dengan kegiatan berkumpul dengan teman, bermain dan saling berkomunikasi.

“Tetapi, mereka dapat berupaya untuk melakukan pola hidup sehat. Dengan melakukan aktivitas fisik mereka bisa meringankan stres selama merasakan kejenuhan. Ini bisa membantu mereka untuk menangani tekanan-tekanan mental yang bisa mempengaruhi mereka.”

Sebagai penutup, Riza menyarankan untuk terus menaati protokol kesehatan dan melakukan aktivitas fisik untuk meningkatkan stamina tubuh. Peran keluarga sebagai proteksi juga perlu ditingkatkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ia juga menganjurkan untuk mengindari kegiatan merokok karena akan meningkatkan resiko penularan 3-4 kali lebih besar.

“Aktivitas merokok bisa menyebabkan penularan. Ini karena dalam aktivitas merokok menyebabkan mereka rentan untuk menyentuh bagian mulut, hidung, dan wajah,” pungkasnya. (len/rst/wil/ann)




Kolom Komentar

Share this article