Cerpen

Ihwal Jukut

Di senja Melak, jagung menggantikan rindu akan jukut.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Ai Generator

Suri dan Lena sedang bermain di depan rumah mereka yang bergaya panggung menghadap sungai. Suri, gadis bertubuh kecil dengan rambutnya yang mengembang, tengah bermain masak-masakan dengan Lena, si adik yang hampir lebih besar dari si kakak. 

Menu masakan kali ini sederhana. Dedaunan dan kembang-kembang yang dipetik dari halaman rumah mereka akan diolah menjadi jukut salai lengkap dengan gangan asam haruan, seperti yang dulu sering dibuat oleh Mak. 

Iya, dulu. Sekarang, susah mendapat bahan inti dari menu itu. Tengkulak-tengkulak di kampung yang bernama Melak itu menguasai pasar dan menjual harga jukut jauh lebih tinggi dari sebelumnya. 

Sebenarnya Bapak bisa saja menjaring ikan dengan sampan kecilnya. Namun, karena ada beberapa tetangga yang meminta bapak untuk memperbaiki atap dan dinding rumah mereka, Bapak lebih memilih menggunakan keahlian menukangnya. Karena itu juga, Mak sering mengomel tiap kali Bapak pulang dari menukang. 

Sore itu pun bukan pengecualian, “Cobalah selepas selesai menukang kelak kita minta diupah dengan jukut ketimbang dengan uang”. Bapak yang sudah “kenyang” mendengarkan omelan Mak hanya menyeringai sembari menaruh alat tukangnya. 

“Kalau diupah dengan uang, kan bisa ditabung. Kalau diganti dengan jukut, pastilah harus dimasukkan perut”, sahut Bapak saat menaiki tangga memasuki rumah.

Suri dan Lena juga menyadari hal itu. Saban hari belakangan ini Mak lebih sering memasak ubi dan daunnya ketimbang olahan jukut.

“Sur, aku bosan hari-hari makan ubi”, ujar Lena.

“Aku pun bosan, Len.” Sahut lesu Suri.

“Tapi kata Mak, itu yang paling murah di pasar”, pungkasnya.

“Aku mau makan yang lain. Apapun. Apapun itu selain ubi!”, Lena mengatakannya dengan setengah berteriak.

“Nah, silakan makan salainyaMbok Lena. Sekalian aku sajikan dengan ganganya!” Suri menyusun ‘masakannya’ di depan Lena dengan penuh khidmat.

“Ah, ini lebih mirip Nginang ketimbang makanan.” pungkas Lena diiringi gelak tawa diantara mereka.

Di tengah gurau canda mereka, seorang tetangga melintas di depan halaman rumah. Mata mereka terpaku pada orang itu. Lebih tepatnya, mereka terpaku pada apa yang ia bawa, yaitu keranjang anyaman rotan yang berisi jagung-jagung. Orang-orang di Melak memanggilnya Busu Johan. 

Pemilik beberapa petak tanah yang ia tanami jagung. Kebunnya tak jauh dari kampung. Bibitnya diperoleh dari Pak Camat sebagai bagian dari program Bupati kala itu.

Warga Melak dan sekitarnya diusung untuk mengolah lahan dan menyemainya dengan berbagai macam tanaman sumber karbohidrat, salah satunya jagung. 

Menurut Pak Bupati, berkebun lebih menguntungkan dan pemasukannya lebih stabil ketimbang menjadi nelayan. Juga lebih cocok untuk mendukung pembangunan daerah dengan memanfaatkan lahan hutan yang telah ditebang. 

Konon katanya, program itu diperuntukkan agar mengurangi dana reboisasi hutan sekaligus bentuk balas budi Pak Bupati kepada para tengkulak jukut yang telah menyokongnya. Tengkulak bebas memonopoli sungai, sedangkan pemerintah mendapat pemasukan akibat transaksi lahan hutan.

“Sur!” bisik Lena memanggil Suri, “Pasti kebun Busu Johan sedang panen besar!”

Suri hanya mengangguk. Kedua kepala mereka mengikuti arah keranjang itu. Terbayang di kepala mereka rasa jagung rebus. Berbeda dengan ubi, jagung memiliki rasa manis yang khas. Olahannya juga lebih variatif. Selain direbus, jagung juga bisa diolah menjadi gangan bening juga bakwan. Bungkulnya pun dapat dikeringkan lalu ditancapkan pada tongkat kayu guna menggaruk punggung yang gatal.

Segera setelah Busu Johan memasukkan keranjangnya, Suri dan Lena bergegas memakai sandal dan berlari menuju belakang rumah. Dari situ mereka berlari menyusuri jalan setapak menuju darat, sebutan masyarakat setempat ketika merujuk tempat yang arahnya berlawanan dengan lokasi sungai.

“Len! Kita lupa bawa keranjang!” teriak Suri.

“Bawa secukupnya aja dulu!” sahut Lena yang mulai melampaui lari Suri.

Sesampainya di tepi kebun, mereka berhenti sejenak. Mencoba mengambil nafas dengan suara mereka yang ngos-ngosan. Kebun itu mereka perhatikan dengan mata yang sesekali terkena peluh.

Bah, kebunnya sudah gundul, Sur!” 

“Pasti masih ada. Mungkin masih ada beberapa di tengah kebun. Lagipula, mana mungkin Busu Johan memanen habis kebun seluas ini hanya seorang diri.”

“Kita ke tengah kebun? Bagaimana kalau kita tersesat di dalam sana? Hari pun mulai gelap.”

“Kau mau makan jagung, tidak?!”

Lena hanya mengangguk.

“Ayo!” Suri berjalan sambil menarik tangan Lena memasuki kebun jagung.

Benar saja, mereka harus masuk jauh ke dalam kebun jagung itu. Sepertinya Busu Johan dibersamai beberapa orang dalam memanen jagung kali ini. Biasanya Suri dan Lena tidak harus masuk sedalam ini. Mereka pun membagi tugas. Lena mencari di bagian kanan, sedangkan Suri di bagian kiri. Keduanya berjalan sambil berpegangan tangan agar tak kehilangan satu sama lain.

“Len!” seru Suri sembari menunjuk bungkul jagung.

Mereka bergegas untuk mengambil bungkul itu. Setibanya di sana, tiba-tiba muncul sesosok pria dewasa dari balik rimbunnya tanaman jagung. Keduanya sontak berteriak dan berlari menjauh dari sosok itu.

“Len! Tunggu!”

“Cepat, Sur! Habis kita kalau tertangkap!”

Suara teriakan dan gemerisik pohon jagung yang mereka tabrak memenuhi kebun.

Tak lama kemudian, mereka keluar dari kebun. Nafas mereka tersengal-sengal sama seperti ketika mereka sampai di kebun itu. Mata mereka terbelalak melihat ke sekitar kebun. Mencari sosok yang mereka jumpai dan berjaga-jaga jika sosok tersebut mengejar mereka.

“Siapa orang tadi, Sur?”

“Mana ku tau, lah!”

“Untung dia tidak menangkap kita. Laju juga lariku,” ujar Lena tersenyum memuji dirinya sendiri.

“Aneh.”

“Aneh? Aneh kenapa?”

“Orang itu juga lari terbirit.”

“Mengejar kita, kan?”

“Bukan. Dia lari menjauh dari kita.”

Bah. Kenapa kau tidak bilang?”

“Bagaimana mau bilang kalau kau berlari dan menjerit duluan!”

“Jangan-jangan dia…eh, Sur! Tunggu!”

Belum sempat Lena menyelesaikan kalimatnya, Suri berjalan cepat kembali ke dalam kebun. Mereka menyusuri tapak yang mereka tinggalkan ketika berlari keluar. Mengapa? Seperti Lena, Suri juga kadung terngiang dengan rasa jagung. Apalagi, jagung yang tadi mereka jumpai hanya sejauh gapaian tangan lagi. Seandainya jagung itu terambil, mungkin Suri tak perlu masuk lagi ke kebun.

Bungkul jagung dengan rumbai rambutnya pun kembali mereka lihat. Mereka mendekatinya dengan perlahan sembari memperhatikan sekitar. Langkah mereka terhenti ketika terdengar langkah kaki yang juga mendekati jagung itu. Mereka memperhatikan sosok itu yang semakin lama semakin jelas. Sosok itu ternyata lelaki. Tak jauh lebih tua dari mereka. Bercelana biru sepaha dengan baju berwarna putih kusam.

“Rahmat!” teriak Suri.

“Siapa kita?” sahut lelaki itu dengan ragu.

“Suri. Aku bersama adikku, Lena.”

“Anak Tua Syamsuri?”

“Iya.”

“Kenapa awak di sini?”

“Kau sendiri kenapa di sini?”

“Jagung.”

“Sama haq dengan kami.”

Suri dan Lena pun berjalan mendekatinya. Benar saja, sosok itu memang Rahmat. Tetangga mereka yang rumahnya sedang ditukangi oleh Bapak. Rupanya Rahmat juga melihat Busu Johan membawa panen jagung. Sepertinya ia melihatnya terlebih dahulu ketimbang Suri dan Lena. Karena itu ia sampai duluan di kebun jagung.

“Berapa banyak yang kau dapat?” tanya Suri.

“Tak banyak. Baru dua.”

“Kami pun baru dapat satu ini.” Suri menunjukkan sebungkul jagung yang baru ia petik.

“Tadi aku pikir kalian anak buah Busu Johan, makanya aku lari dari kalian. Panen kali ini dia memang membawa beberapa orang untuk membantunya.”

“Lalu kenapa kau kembali?”

“Aku berpikir lagi saat mendekati tepi kebun, ‘Mana mungkin Busu menyuruh anak kecil untuk membantu panennya.’ Sebab itu aku kembali.”

“Kita pulang saja, yok! Hari dah mulai petang,” sela Lena yang sedari tadi hanya memperhatikan mereka, “Lagipula kita sudah dapat satu.”

“Ambillah punyaku. Biar satu orang dapat satu.” ujar Rahmat.

“Wah! Terima kasih, Kak Amat!” sambut Lena dengan mata berbinar.

Mereka pun meninggalkan kebun itu. Perjalanan mereka menuju Laut, arah yang merujuk ke area sungai. Angin beriringan menerpa daun nyiur yang berwarna emas diterpa sinar kantuk matahari sore. Suara gemericiknya bersanding dengan deburan air sungai. 

Suara-suara bak simfoni musik ini dapat didengar siapa saja yang berjalan di tepi kampung kecil yang berada di hulu sungai Mahakam itu. 

Suasana mereka kembali dipenuhi dengan canda tawa kanak-kanak. Walaupun, perasaan mereka tidak dapat berbohong. Mereka sadar dan sepaham bahwa apa yang baru saja mereka lakukan bukan sesuatu yang dapat dibanggakan di hadapan orang tua mereka. 

Kendati demikian, pikiran itu mereka bungkus dengan gurau dan tawa. Untuk kali ini, dan semoga ini kali yang terakhir, kepolosan mereka harus digantikan dengan urusan perut. Mereka berjanji apabila salah satu dari Mak mereka memasak jukut lagi, mereka akan mengajak yang lain untuk ikut serta menyantap masakannya. Untuk sementara ini, biarlah jagung dahulu yang menggantikan jukut.

Cerpen ini ditulis oleh Zain Aqil Hidayat, Mahasiswa Prodi Sastra Inggris FIB Unmul 2018, Koordinator Laboratorium Intelektual Humanawa


Keterangan kata

Salai: Kuliner ikan yang diproses dengan cara diasap.

Jukut: Ikan.

Gangan: Kuliner kuah sebagai pelengkap nasi.

Haruan: Ikan Gabus.

Kita: Kata ganti formal orang kedua tunggal.

Mbok: Tante.

Busu: Paman.

Tua: Gelar penghormatan untuk orang yang lebih tua.

Awak: Kata ganti informal orang kedua tunggal.



Kolom Komentar

Share this article