Berita Kampus

Marak Unggahan Kritik Atas Pemerintah: Bagian Dari Critical Thinking atau Hate Speech?

Kejadian ini dapat mengaburkan batas antara sesuatu yang bisa dianggap sebagai critical thinking atau ditindak sebagai hate speech

Sumber Gambar: Open College

SKETSA - Umum diketahui jika mahasiswa memiliki tiga peran penting. Salah satunya ialah peran sebagai kontrol sosial. Dalam melaksanakan peran tersebut, mahasiswa sering kali melakukan aksi di jalan atau memberikan kritik terhadap pemerintah melalui media online. Hal tersebut dilakukan atas nama demokrasi serta memanfaatkan ruang kebebasan dalam berpendapat.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) pada Sabtu (26/6) lalu melalui postingan ‘Jokowi: The King Of Lip Service’. Mereka mengungkap adanya ketidaksesuaian antara pernyataan Presiden Joko Widodo dengan fakta di lapangan. Postingan tersebut juga disertai dengan desain yang menuai kontroversi, sebab pada halaman depan postingan tersebut memperlihatkan Presiden Jokowi yang sedang berdiri di sebuah mimbar dan mengenakan tahta raja berlatar belakang bibir.

Menyusul tindakan tersebut, beberapa universitas kemudian mengunggah postingan dengan kritik serupa. Dimulai dari Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan “Penobatan Jokowi Sebagai Duta Ketidaksesuaian Omongan dan Tindakan", BEM Universitas Negeri Semarang (UNNES) dengan "Indonesian Political Troll" hingga rilisnya unggahan BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unmul dengan judul "Jokowi and The Gang: Rezim Of Paradox".

Meskipun perihal di atas telah menyatakan maksud dan tujuan serta literatur yang mendukung, tak semua orang merasa sepakat atau satu suara. Mulai dari anggapan jika mahasiswa kelewat kurang ajar dan tidak sopan sampai pembungkaman melalui surat pemanggilan dan peretasan akun media sosial. Kejadian ini dapat mengaburkan batas antara sesuatu yang bisa dianggap sebagai critical thinking atau ditindak sebagai hate speech. Bagaimana tanggapan civitas academica Unmul terkait hal tersebut?

Berdasarkan sudut pandang komunikasi strategis, Ainun Ni’Matu selaku dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unmul menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh BEM UI tidak memiliki tujuan yang jelas. Dirinya menyebut, apabila sebuah postingan diunggah ke media sosial maka perlu sebuah outcome yang jelas. Jika tidak, maka unggahan tersebut hanya akan menjadi viral untuk sesaat. Tetapi, ia menegaskan jika terdapat perbedaan penting dan mendasar antara critical thinking dan hate speech.

"Critical thinking menyusun argumen setelah melakukan kajian ke banyak sumber yang kredibel, melakukan analisis, lalu membuat abstraksi kemudian sampailah pada kesimpulan. Sementara hate speech umumnya bersifat asumsi, artinya mungkin tidak didasari sumber kredibel atau murni pandangan subjektif yang bertujuan mengkerdilkan pihak lain," paparnya kepada Sketsa, Senin (12/7).

Dalam menyampaikan sebuah kritik, Ainun menjelaskan bahwa komunikator harus memiliki bargaining position yang kuat terhadap konteks yang hendak disampaikan. Alangkah lebih baik, jika gerakan tersebut adalah hasil aliansi dari seluruh BEM di Indonesia. Kemudian, pesan yang disampaikan sebaiknya tidak menyerang hanya seorang figur karena dalam pemerintahan banyak pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Lalu, outcome dari sebuah kritik haruslah jelas agar tak hanya mengejar atensi masyarakat hingga viral kemudian menghilang.

“Pesan yang disampaikan baiknya cerdas, tidak menyerang figur, karena pemerintahan dijalankan bukan oleh (satu) figur tapi banyak pihak terkait dan banyak pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan. Bisa jadi, figurnya memang berkehendak A, tapi realisasi dengan pertimbangan banyak hal jadi gak bisa A. Menyerang figur mungkin menarik orang untuk terlibat dalam diskusi tapi esensinya justru bias,” jelasnya.

Pendapat lainnya datang dari Iksan Nopardi, mahasiswa Psikologi 2018 sekaligus Presiden BEM FISIP Unmul yang menyatakan bahwa dirinya bersikap pro terhadap unggahan BEM UI karena terkait dengan kritik terhadap kerja-kerja Presiden Jokowi selama dua periode.

Sikap tersebut dapat terlihat dari postingan di Instagram BEM FISIP Unmul teranyar, “Jokowi and The Gang: Rezim Of Paradox”. Di mana menurut Iksan, postingan tersebut memiliki tujuan yang sama dengan BEM UI. Yakni untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, pemerintahan yang mengedepankan masyarakat dan menjamin hak-hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai amanat konstitusi.

“Justru, ketika ada pihak yang kontra harus dipertanyakan. Apa dasarnya mengatakan kontra? Tentu ada dua kemungkinan. Orang-orang terdekat Jokowi atau buzzer yang membuat narasi tandingan dan cenderung sentimen pribadi serta pembunuhan karakter,” ujarnya, Senin (12/7).

Dikatakan olehnya, kritik dari BEM UI sendiri tidak mengandung ujaran kebencian atau hate speech karena tidak ada unsur pencemaran Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) serta terdapat fakta dan data yang dilampirkan berdasarkan referensi media yang terpercaya.

Bagi Iksan, kritik ini bukan sebuah bentuk penghinaan atas simbol negara. Karena berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2009, simbol negara Indonesia mencakup bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan Indonesia dan bukan presiden.

"Bentuk infografis tersebut juga dianggap bukan bagian dari ungkapan kebencian terhadap presiden. Seharusnya, publik lebih fokus pada permasalahan yang diungkap dalam postingan tersebut," tukasnya. (bey/vyl/len)



Kolom Komentar

Share this article