Berita Kampus

Kontroversi Statuta Unmul, Zamruddin: Bahaya!

Prof. Zamruddin Hasid. (Sumber foto: Humas Unmul)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Prof. Zamruddin Hasid sedang menunggu di ruang kerjanya ketika akhirnya disambangi Sketsa pada Selasa, 20 Maret lalu. Guru besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unmul yang identik memakai peci saban hari saat beraktivitas di kampus, hari itu memakai peci lagi, warna abu-abu bercampur kuning emas. Ia pun tampak santai saat ditanya tentang isu yang berembus di media-media Kaltim beberapa waktu lalu: statuta Unmul.

Sebagai satu dari tiga guru besar yang getol mempertanyakan kejelasan statuta di media, Prof. Zamruddin menceritakan banyak hal perihal statuta Unmul. Dan tentu saja, pernyataan keberatannya terkait pembatasan keanggotaan guru besar sebagai anggota senat. 

Tak ayal, pembatasan itu akhirnya membuat ia merasa risau kalau-kalau memang statuta yang dibahas di Balikpapan akan benar-benar telah disahkan tanpa melalui mekanisme rapat pleno senat.

“Katanya, setelah di Balikpapan, (statuta) disahkan, langsung dibawa ke Jakarta. Senat tidak pernah tahu isinya apa itu. Yang krusial itu adalah, peraturan mengenai anggota senat, guru besar. Dulunya kan mulai zaman Belanda, guru besar otomatis masuk. Karena itu penting. Guru besar itu adalah pangkat tertinggi dari (para pengajar di) universitas,” katanya dengan intonasi bicara yang cukup cepat.

Pembatasan terhadap keterlibatan guru besar sebagai anggota senat ia anggap sebagai hal yang sangat sensitif. Bahkan menurutnya, kemunculan kata-kata yang kalau ia tak salah ingat, dalam pasal 30 yang berbunyi ‘guru besar tidak otomatis menjadi anggota senat’ itu sangat spektakuler. Sangat bahaya sekali.

Sepanjang yang ia ketahui, Universitas Hasanuddin, Universitas Brawijaya, hingga Universitas Sebelas Maret (UNS) pun tak berani mengganggu keterlibatan guru besar sebagai anggota senat. Hal itu akan membuat para guru besar marah, dan ujungnya akan berdampak pada kinerja rektor dalam suatu univeritas yang akan terus diganggu oleh guru besar.

Menurutnya, kejadian yang ada di Unmul terkait statuta laksana menginjak-injak harga diri para guru besar. Tapi, akademisi FEB yang telah menulis dua buah buku ini bertukas, dirinya tidak sepenuhnya menolak pembatasan itu. 

Namun jika niatan untuk membatasi keterlibatan guru besar itu dilakukan, maka harus dibahas dulu dalam rapat pleno bersama seluruh anggota senat, termasuk bersama 52 guru besar se-Unmul. Di situlah forum paling pas untuk mengetok palu terkait dibatasi atau tidaknya keterlibatan guru besar dalam keanggotaan senat.

Namun di sisi lain, saat Sketsa menyinggung tentang statuta yang tak kunjung diperbaharui saat ia menjabat sebagai Rektor Unmul periode 2010-2014–padahal statuta sudah kedaluwarsa sejak 2004, Prof. Zamruddin menampik kalau statuta pada era dirinya menjabat sudah kedaluwarsa. 

“Sebenarnya itu bukan kedalurawsa, tidak ada. Selama belum ada aturan baru, kita pakai yang lama. Artinya, menyesuaikan dengan kondisi,” realisasinya.

Bagaimana bunyi-bunyi konfirmasi berikutnya? Berikut wawancara khusus Sketsa bersama Rektor Unmul periode 2010-2014 Prof. Zamruddin Hasid:


Klarifikasi Rektor Masjaya tentang rapat di Balikpapan yang tidak ada hubungannya dengan Pilrek Unmul. Dan itu adalah desakan dari Biro Hukum Kemenristekdikti karena Unmul tidak memiliki Statuta sesuai dengan PP & Permen. Bagaimana pandangan Anda?

Jadi yang namanya statuta itu dokumen yang sangat penting. Kalau di negara itu dulu namanya GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Itu senat yang susun. Ada namanya komisi organisasi di dalam (senat) situ. Banyak yang harus didiskusikan, lalu ke fakultas meminta masukan-masukan.

Sehingga, dibuatnya harus bagus, jangan muncul begitu saja. Kita tahu-tahunya kan, sudah di Balikpapan (rapat statuta). Saya juga sebagai anggota senat universitas, tidak pernah lihat barangnya (rancangan statuta baru) itu.

Seharusnya mekanismenya, harus dari komisi organisasi. Lalu ada rapat demi rapat, baru kemudian dibawa ke pleno, (di sana) dibahas dan didiskusikan, baru dibawa ke Jakarta. Jadi panjang ceritanya. Tapi kita tahunya, setelah di Balikpapan muncul diskusi yang tidak-tidak. 

Katanya, setelah di Balikpapan, (statuta) disahkan, langsung dibawa ke Jakarta. Senat tidak pernah tahu isinya apa itu. Yang krusial itu adalah, peraturan mengenai anggota senat, guru besar. Dulunya kan mulai zaman Belanda, guru besar otomatis masuk. Karena itu penting. Guru besar itu adalah pangkat tertinggi dari (para pengajar) universitas.

Makanya ada tunjangan kehormatan, karena dihormati betul guru besar itu. Cuma (sekarang mau) dipangkas. Dan tidak pernah didiskusikan. Padahal itu harus kita diskusikan bersama, karena itu sangat sakral itu konstitusi. Itu yang dipersoalkan.

Apapun rapat yang membahas statuta Unmul, maka harus melibatkan seluruh anggota senat. Apakah seharusnya seperti itu?

Memang harus begitu, karena ini produk senat. Semua peraturan, sekecil apapun yang mengatur lembaga ini (Unmul), harus ke senat. Baik universitas maupun fakultas.

Apa landasan hukum tentang senat harus dilibatkan dalam pembahasan statuta?

Itu sudah aturan norma. Karena semua produk-produk hukum, baik itu statuta, harus senat yang buat. Tidak bisa lagi dibantah itu.

Dalam rapat pembahasan statuta, apakah semua anggota senat harus dilibatkan, atau komisi organisasi dulu yang harus mengurus itu?

Komisi organisasi itu tukangnya. Artinya, dia menggodok dan mempersiapkan drafnya itu  dengan meminta masukan dari semua pihak, termasuk dari fakultas. Makanya, fakultas harus tahu. Ini, fakultas tidak sama sekali. Jangankan dosen, guru (besar yang menjadi anggota) senat pun tidak tahu.

Sebenarnya guru besar harus tahu persis isinya itu. Memang saya jarang ikut rapat, tapi yang rajin ikut rapat pun tidak pernah tahu yang mana barangnya itu. Lalu muncul kata-kata, kalau tidak salah di pasal 30, ‘guru besar tidak otomatis menjadi anggota senat’. Itu sangat spektakuler, sangat bahaya sekali itu.

Unhas (Universitas Hasanuddin) saja, Unibra (Universitas Brawijaya), tidak berani menyentuh persoalan itu karena sangat sensitif sekali. Marah guru besar itu. Ini (sekarang di Unmul) guru besar diinjak-injak harga dirinya itu. 

Saya juga punya forum nasional (guru besar) di Jakarta yang ditakuti presiden. Jadi kalau ada apa-apa, kita maju. Adanya tunjangan kehormatan karena mereka (forum guru besar) maju. Itu yang dipersoalkan di pasal 30 itu, kenapa diam-diam mau mengubah tanpa sepengetahuan guru besar. Mestinya kan, didiskusikan, dibicarakan baik-baik. 

Karena ada pengalaman dulu saat saya masih menjadi rektor tahun 2014, waktu ada wacana bahwa akan dibatasi anggota senat dari guru besar kalau di universitas itu sudah terlalu banyak guru besarnya. Maksudnya sudah berlimpah, jadi susah mengatur fungsi dan segala macamnya kan. Tapi kan hal seperti itu harus dibicarakan, apakah sepakat atau tidak? kalau tidak sepakat, tidak usah. 

Yang saya cek, Unhas, Unibra, tidak berani menyentuh persoalan itu. Unhas itu sudah 315 jumlah guru besarnya, Unibra hampir 400, itu semua masuk. Mulai zaman PTN (Perguruan Tinggi Negeri) biasa, BLU (Badan Layanan Umum), sampai sekarang BHP (Badan Hukum Pendidikan), tetap tidak ada. Berani menyentuh itu, rektornya akan diganggu pasti. Itu sensitif sekali. Berani (diubah) dan tidak didiskusikan, maksudnya, sepakati dulu, baru dituliskan. 

Kalau misal ada perubahan mata kuliah dan mahasiswa tidak tahu, pasti marah kan. Itu menyangkut nilai mahasiswa. Nah ini yang dia juga harus pahami, Masjaya. Ini sudah dua kali, sebelumnya remunerasi. Itu masalahnya dulu (remunerasi) juga muncul karena tidak dibahas di senat.

Bagaimana Anda menyikapi PP Nomor 4 Tahun 2014, khususnya guru besar yang tidak lagi otomatis menjadi anggota senat?

Saya sudah baca, ini multitafsir. Di aturan itu tidak ada menyebutkan dibatasi, tidak ada. Jadi, terserah mau dibatasi, dimasukkan, itu tidak jadi masalah. Di PP 4 itu tidak menyebutkan secara langsung (guru besar dibatasi). 

Wakil dosen itu guru besar, lektor kepala. Dua itu kan, karena kalau lektor tidak bisa. Kalau lektor kepala dibatasi terlalu banyak. Untuk guru besar, Unmul cuma 52. Tahun depan pensiun 5, tahun depannya 20, jadi kalau dibatasi susah. Lama-lama habis, dan itu mau dibatasi, tidak bisa.

PP 60 Tahun 1999 spesifik menyebut guru besar otomatis senat, di PP 4 Tahun 2014 sudah tidak ada lagi. Bagaimana Anda memandang itu dari perspektif guru besar?

Artinya memberi peluang bagi suatu universitas untuk memberlakukan aturan sendiri kan. Kita bisa membahas, mau dibatasi atau tidak. Makanya, UNS tidak membatasi, Unibra tidak membatasi, itu yang saya cek. Kemudian Unhas tidak membatasi karena risiko. 

Ada yang membatasi, dia masukan di statuta, dibatasi jumlahnya empat (guru besar per fakultas) kalau tidak salah, cuma dia punya guru besar hanya 10 (di universitasnya). Dari sembilan fakultas, hanya dua fakultas yang punya guru besar. Tapi kan dia hitung total kan. Kalau sembilan (fakultas) dengan jatah empat, berarti dia perlu 36 guru besar. Karena hanya ada 10, maka diambil semua.

Kenapa guru besar dimasukan? Karena diperlukan pemikirannya untuk memajukan universitas. Dari situlah pemikiran-pemikiran muncul, karena yang jadi guru besar itu kebanyakan adalah yang sudah punya pengalaman. Pernah jadi rektor, DPR, dekan, di situ mereka diperlukan untuk berbicara. Karena itulah tidak dibatasi. Kalau dibatasi, lektor kepala belum bisa, karena rata-rata tidak punya pengalaman apa-apa. Pintar, tapi tidak tahu kemana arahnya universitas ini kan, kebijakan apa? Apa esensialnya? Nah di situlah peran guru besar.

Kalau itu dibahas, tak bisa dibatasi. Gak perlu. Memang di aturan itu memberi peluang untuk boleh dibatasi atau tidak. 

Statuta Unmul sudah kedaluwarsa sejak 2004, mengapa sejak tahun itu tak kunjung diperbaharui termasuk saat Anda menjadi Rektor Unmul?

Sudah ada upaya ke situ kan. Ini kan lama prosesnya. Pertama kita buat dulu ada OTK (Organisasi dan Tata Kerja). Sebenarnya draf itu sudah ada waktu saya. Sebenarnya itu bukan kedalurawsa, tidak ada. Selama belum ada aturan baru, kita pakai yang lama. Artinya, menyesuaikan dengan kondisi.

Kita bekerja itu kan bertahap. Akreditasi itu kan mulai tidak terakreditasi, itu tugas rektor untuk mempersiapkan segala macam, baru naik ke C. Setelah C, ke B. Dan B ke A. sama seperti kita ingin membuat bangunan, itu harus mulai dari fondasi, dinding, kerangka atas, atap. Itu cara kita berpikir.

Sama juga dengan ini statuta, sudah ada dulu konsepnya sudah dibuat tapi ya kerja hati-hati. Dan dilanjutkan oleh Masjaya lagi. Jangan ada kata-kata kedaluwarsa, tidak boleh. Karena peraturan itu, sampai sekarang masih dipakai aturan (PP Nomor 60) karena belum ada yang baru. Sebelum yang baru datang, aturan lama yang dipakai.

Tapi kan yang terbaru di PP 4 Tahun 2014?

Ini saja tahun 2014 kan, belum dipakai-pakai juga. Artinya itu bukti bahwa ada masa di mana faktor ini belum cocok untuk dipakai.

Waktu saya masih rektor, menteri sudah mengarahkan untuk boleh membatasi kalau jumlah guru besar sudah terlalu banyak, minimal 25 persen (dari seluruh jumlah tenaga pengajar di suatu universitas). Katakan dosen kita 1000, maka minimal guru besar kita 250, maka itu baru diadakan pembatasan. Itu pun harus dibicarakan, bukan semata-mata ditulis di statuta. Itu diskusikan di fakultas, dibawa ke komisi organisasi, baru dibawa ke rapat pleno. Itu (akan ada) perdebatan bisa jadi kan. 

Seharusnya 250 guru besar tidak dibatasi kalau semua guru besar tidak mau. Karena ini ada keistimewaan, kenapa guru besar itu otomatis diperlukan pemikirannya, ketajamannya, kemampuan dia mengendalikan lembaga itu. Sehingga bahaya kalau hanya sedikit guru besarnya (yang dilibatkan dalam anggota senat). 

Lektor kepala pintar, doktor baru misalnya, tapi dia tidak punya kemampuan melihat ke depan.

Di Permendikbud 139 menyebutkan tahapan untuk perumusan Statuta, dan sekarang masih tahap nomor empat, dan setelahnya akan dirapatkan di pleno senat.

Tapi masalahnya, kenapa komisi organisasi tidak tahu. Itu sudah diloncati kan. Semua guru (besar yang terlibat dalam anggota) senat tidak tahu. Mestinya senat sudah tahu isinya. Artinya, itu ditulis misalnya guru besar dibatasi, itu sudah diperdebatkan. Jangan setelah muncul (di media) baru diperdebatkan, seolah-olah disembunyikan. Itu yang berbahaya.

Kalaupun nantinya dipilih, pasti semua guru besar tidak mau. Gengsi kan. Buat apa kita berebut jabatan (senat)? Misal kalau di FEB ada 10 (guru besar), kemudian tiga (jatah jadi anggota senat), kan malu kita. Iya kalau menang, kalau kalah? Kita ini kan sudah terhormat, dihargai di tingkat nasional. 

Kalau toh mau, dilihat nanti dibatasi kalau sudah terlalu banyak kan. Sekarang kan 52 (guru besar di Unmul) itu terlalu kecil, kita masih 5 persen (dari seluruh tenaga pengajar di Unmul). Unhas itu 16 persen baru, dia itu 315 guru besarnya. Mulai zaman PTN biasa tidak pernah disentuh, jadi BLU juga, sampai sekarang BHP pun tidak dibatasi. 

(di sana) Ada Majelis Wali amanah kan, baru Senat Akademik, guru besar semua, 80. Kemudian ada Dewan Guru Besar, 315 masuk semua. Ini tak ada satu pun guru besar dibuang, ini kan (di statuta Unmul) dibuang guru besar itu. 

Dan disayangkan lagi dengan lektor kepala yang di statuta (Unmul) itu kan disebutkan bahwa bagi fakultas yang tidak punya guru besar, akan diganti oleh lektor kepala. 

Salah satu buktinya, dia (Rektor Masjaya) mengangkat Dewan Pertimbangan itu semuanya orang penting (dan guru besar). Itu bukti bahwa guru besar itu sangat diperlukan.

Konfirmasi Pak Abdunnur, perumusan statuta sudah dijalankan sejak 2015 sampai sekarang. Tapi masih dalam tahap perancangan.

Memang lama. Karena sumber daya manusia kita terlalu banyak pekerjaan yang harus dibenahi. Menyusun OTK saja, dua sampai tiga tahun. Belum lagi saya dari kemarin mengangkat akreditasi dari C ke B. Kalau C kan, kasihan mahasiswa, tidak bisa diterima. Saya kerja keras, dua tahun menggarap itu karena waktu itu butuh dinilai oleh tim dari ITB.

Adanya pembatasan tiga guru besar bagi tiap fakultas dan dua untuk wakil dosen, kata pihak rektorat, hal itu merujuk pada beberapa universitas yang juga menerapkan itu. Pandangan Anda?

Itu kan, di sana sudah dibicarakan. Ini kan tidak ada kesepakatan. Kan harus berdebat kita. Jangankan guru besar, mahasiswa saja kalau haknya diambil bagaimana? Harusnya dibicarakan. Mungkin kalau kita sepakat dua, tiga, atau empat. Kalau di Banten saya tanya, ada empat. 

Guru besar itu kalau sudah jadi senat, dia tidak bicara fakultas lagi, tapi semua–keseluruhan dan kemajuan. Jadi, Banten perlu 36 (guru besar), karena empat kan.

Intinya boleh? Tapi harus ada bahasan menyeluruh.

Iya. Apa sih untung ruginya kalau kita membatasi kan? Ruginya tidak ada karena guru besar tidak digaji kan? Tapi dia tetap dapat tunjangan kehormatan. Ini seharusnya (guru besar itu) dimanfaatkan otaknya itu, bukan dibuang. Untung ruginya apa? Dari untung ruginya sudah kelihatan kan. Belum lagi bicara hak-hak untuk memajukan universitas.

Jadi, guru besar itu tidak bicara fakultas lagi kalau di rapat senat itu, bicara Unmul secara keseluruhan. Bagaimana pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat berjalan dengan bagus.

Menanggapi suara-suara di media yang mempertanyakan rapat di Balikpapan, rektor telah memberikan jawaban lewat press release. Tanggapan Anda?

Itu kan hak dia untuk menjelaskan. Salah atau benar, biar dia yang tanggung dosanya nanti. Tapi kenyataannya sudah terbalik kan. Dibicarakan dengan Biro Hukum (Kemenristekdikti), baru dibawa ke rapat pleno. Mestinya tuntas di komisi organisasi, pleno berkali-kali, sepakat, baru dibawa ke sana.

Prof. Susilo sempat ingin menggalang petisi untuk menolak hasil rapat di Balikpapan. Hal itu akan benar-benar dilaksanakan jika tak ada pleno lanjutan dari pihak rektorat. Tanggapan Anda?

Saya kira, hak pribadi semua guru besar begitu semua, berbeda-beda. Ada yang begitu tapi tidak dikeluarkan, tapi saya pikir, semua guru besar pasti galau karena hak kehormatan itu tiba-tiba dicabut tanpa diberitahu. Artinya, ini terulang kedua kalinya adanya keputusan rektorat tanpa melibatkan senat. Dulu remunerasi, ini kedua lagi ini, pembatasan. (dan/nnd/pil/len/gie/adl)



Kolom Komentar

Share this article