Konflik Rusia-Ukraina Memanas, Sejumlah Dampak Mengiringi
Dosen FISIP serta mahasiswa Unmul turut tanggapi konflik Rusia-Ukraina.
- 28 Feb 2022
- Komentar
- 1516 Kali
Sumber Gambar: kompas.com
SKETSA – Sejak Kamis (24/2) lalu, Rusia secara resmi melakukan invasi militer ke Ukraina. Meski Rusia klaim hanya menyasar pangkalan militer Ukraina, tak sedikit warga sipil yang turut jadi korban.
Konflik Rusia-Ukraina yang semakin memanas ini turut ditanggapi oleh dosen Hubungan Internasional FISIP Unmul, Arif Wicaksa. Ia mengatakan bahwa invasi yang dilakukan oleh Rusia beberapa waktu lalu bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Hal ini dipicu oleh jalinan hubungan pemerintah Ukraina dengan Amerika Serikat dan aliansi militer North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang kian dekat.
Ukraina bahkan disebut-sebut sedang mempersiapkan diri untuk bergabung menjadi anggota dari NATO yang rupanya dipandang oleh Rusia sebagai sebuah ancaman. Hal ini dilandasi oleh sejarah perang dingin yang terjadi beberapa dekade lalu. Pada masa itu, Ukraina, Rusia, dan tiga belas negara pecahan lainnya masih bersatu dalam Uni Soviet sebelum akhirnya tercerai berai pada tahun 1991 silam.
Menilik dari sejarah, NATO sendiri dibentuk pada era perang dingin untuk menangkal pengaruh dari Uni Soviet. Tidak heran jika Rusia merasa terancam dan terprovokasi sebab "kawan lamanya" itu malah berpindah haluan ke sisi lain.
Negeri beruang merah itu menganggap bahwa bergabungnya Ukraina ke dalam aliansi militer yang didominasi oleh negara Eropa Barat itu dapat menjadi gerbang lebar bagi Amerika Serikat untuk mencampuri urusan negaranya. Invasi yang dilancarkan oleh Rusia pada Kamis (24/02) lalu merupakan ‘peringatan keras’ untuk Ukraina agar tidak berpihak ke kubu lain.
“Setelah Uni Soviet bubar, Rusia yang menjadi "pewaris" Uni Soviet tentu merasa terancam ketika Ukraina, yang juga merupakan negara bekas Uni Soviet berusaha bergabung dengan kelompok yang dahulu secara terang-terangan anti terhadap Uni Soviet. Sehingga dari sudut pandang Rusia, Ukraina memang perlu diberi peringatan keras,” jelas Arif melalui pesan WhatsApp Senin (28/2).
Konflik Rusia dan Ukraina tidak hanya berdampak pada dua negara yang bersangkutan. Lebih lanjut, Arif juga menyinggung dampak yang akan dirasakan oleh Indonesia.
Ia memaparkan bahwa saat ini Indonesia masih bersikap netral dengan berpegang dalam prinsip kebijakan luar negeri bebas-aktif. Artinya, Indonesia tidak akan ikut campur dalam perseteruan antara Rusia dan Ukraina.
Walaupun demikian, Indonesia juga memiliki tuntutan moral dan nilai-nilai luhur sebagaimana yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yakni usaha untuk mewujudkan perdamaian abadi.
Pada Jumat (25/2), sehari setelah invasi Ukraina terjadi, Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan sikap terhadap invasi Ukraina yang berisikan 5 poin. Secara garis besar, lima poin dari pernyataan sikap tersebut berisikan penentangan Indonesia terhadap invasi yang dilancarkan oleh Rusia. Arif turut mengutarakan pendapatnya terhadap respons dari pemerintah Indonesia terkait konflik yang tengah terjadi. Ia menilai bahwa pernyataan sikap tersebut adalah implementasi dari 'tuntutan moral' yang harus ditunaikan.
“Sedikit banyaknya, hal ini bisa memberi gambaran sikap politik Indonesia yang memang tidak mau terlibat secara politik terhadap masalah Rusia-Ukraina. Penyelamatan WNI di Ukraina masih menjadi prioritas bagi pemerintah Indonesia pada kasus ini.”
Selain itu, dari segi ekonomi sendiri, Arif menduga bahwa hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia tidak akan terdampak oleh konflik yang sedang terjadi. Berbanding terbalik pada hubungan dengan Ukraina, ia memprediksi bahwa kegiatan ekspor-impor Indonesia dengan Ukraina akan terhambat. Hal ini diakibatkan oleh invasi yang hampir mematikan perekonomian Ukraina.
Tidak hanya menyinggung sektor politik-ekonomi saja, Arif juga memaparkan dampak dari hubungan bilateral Rusia-Indonesia pada bidang pendidikan, mengingat saat ini banyak putra-putri Indonesia yang sedang menempuh studinya di negeri beruang merah.
Tak beda jauh perkara ekonomi, dirinya mengira hubungan bilateral Rusia dan Indonesia masih terkontrol. Mengingat pemerintah Rusia hendak menambah kuota beasiswa bagi mahasiswa Indonesia yang berniat studi ke negeri beruang merah itu.
Pertimbangan lain ialah, ketertarikan mahasiswa dalam memilih Rusia sebagai negara untuk lanjutkan studi. Terlebih memanasnya konflik yang terjadi saat ini. Sebab keberlangsungan itu erat bergantung pada persepsi yang dibentuk dari kacamata masyarakat.
“Intinya pada level bilateral, kenegaraan Indonesia-Rusia, belum ada masalah berarti terkait pendidikan. Sedangkan pada level masyarakat, itu tergantung pada persepsi dan minat masyarakat terhadap pendidikan di Rusia,” terangnya.
Dosen Hubungan Internasional itu turut berharap agar konflik dan peperangan yang terjadi baik di Ukraina maupun di Timur Tengah secepatnya berakhir.
“Harapan saya sepertinya sama saja dengan harapan banyak orang. Semoga saja perang di Ukraina, dan juga perang-perang lain di belahan dunia seperti di Palestina, Suriah, Yaman, dan lain-lain bisa segera berhenti. Masyarakat bisa hidup damai, tidak dalam bayang-bayang ketakutan.”
Ia juga berharap agar semua pihak dapat menggunakan cara yang diplomatis alih-alih melakukan kegiatan militer yang dapat membahayakan warga sipil. Ia pun menambahkan bahwa, menurutnya Ukraina dapat terus menjalin hubungan dengan NATO maupun sekutunya tanpa perlu menjadi anggota formal.
“Ukraina sendiri lebih baik menjadi negara buffer saja, tidak perlu menjadi anggota NATO secara formal sehingga Ukraina bisa terus berhubungan dengan NATO dan Amerika Serikat maupun sekutunya yang lain tanpa memprovokasi Rusia.” pungkasnya.
Joemaris Dwi Hariadi, mahasiswa prodi Hubungan Internasional angkatan 2019 ini turut memberikan tanggapannya. Kepada Sketsa, Senin (28/2) lalu, ia menyampaikan bahwa invasi yang dilakukan Rusia merupakan hal yang tidak bisa diterima terlebih telah terjadi pelanggaran international humanitarian law (hukum kemanusiaan internasional).
“Karena di zaman sekarang ini ada banyak cara untuk mempengaruhi suatu negara selain daripada menggunakan kekerasan,” tulisnya melalui pesan singkat Whatsapp.
Mahasiswa yang kerap disapa Joe ini turut membagikan pandangannya mengenai dampak yang mungkin akan dirasakan Indonesia dari konflik tersebut. Menurutnya, dari segi politik, Indonesia tidak akan merasakan dampaknya secara signifikan.
Begitu pula dengan dampak yang terjadi pada bidang pendidikan. Hal tersebut baru akan terasa kala pemerintah memperbarui kebijakan hubungan bilateralnya. Baik melanjutkan kerja sama maupun sebaliknya.
Sedangkan dari sisi ekonomi, menurutnya cukup mengkhawatirkan, sebab Rusia memiliki peranan sebagai negara utama eksportir minyak bumi di dunia. Bila konflik terus berlangsung, bukan tidak mungkin harga minyak dunia melonjak tajam sehingga berakibat kenaikan harga produk pangan lainnya.
Tak lupa, Joe berharap Rusia meninggalkan aksi mereka dalam menginvasi Ukraina. “Karena jika diteruskan pasti akan menambah korban jiwa (dari) kedua belah pihak. Terlebih lagi sanksi yang diberikan oleh negara-negara lain belum tentu sepadan dengan tujuan yang ingin diraih Rusia,” pungkasnya mantap. (dre/wsd/nkh/khn)