Berita Kampus

Kehadiran Vaksin Covid-19 dari Kacamata Akademisi Unmul

Kehadiran vaksin Covid-19 telah menjadi topik yang hingga kini masih populer.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Istimewa

SKETSA – Sejak Desember lalu, kehadiran vaksin Covid-19 telah menjadi topik yang hingga kini masih populer. Dilansir dari bbc.com, Presiden Joko Widodo melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Rabu (16/12) lalu mengumumkan jika pelaksanaan vaksinasi Covid-19 gratis untuk seluruh masyarakat Indonesia. Adapun pengumuman ini disampaikan Jokowi setelah “menerima masukan dari masyarakat” dan melakukan penghitungan ulang mengenai keuangan negara.

Masih dari bbc.com, Jokowi menyebut jika ia telah menginstruksikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati untuk memprioritaskan dan merealokasi anggaran lain untuk ketersediaan dan vaksinasi gratis. Munculnya pernyataan ini disebabkan atas kekhawatiran sejumlah pihak akan terjadinya komersialisasi vaksin Covid-19. Berdasarkan skema vaksinasi yang sebelumnya disiapkan pemerintah alias vaksinasi gratis dan mandiri atau berbayar. Lalu, bagaimana skema vaksinasi lewat pandangan akademisi Unmul?

Sempat diwawancarai oleh Sketsa pada Kamis (7/1), Ketua Peminatan Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unmul, Ratno Adrianto memaparkan pendapatnya terkait hal ini. Baginya, kehadiran vaksinasi adalah salah satu solusi penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Namun, ia menyebut jika vaksinasi ini tak akan bermanfaat apabila masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan dengan baik.

“Jangan sampai kita kebablasan dengan adanya vaksinasi. Kita merasa sudah bebas dan merasa ada suatu imunisasi baru pada tubuh kita, sehingga mengabaikan protokol kesehatan. Perlu diingat, masyarakat perlu diedukasi bahwa bahwa vaksin cukup untuk memproteksi masyarakat tapi tidak menjamin masyarakat bebas Covid-19 tanpa adanya kepatuhan pada protokol kesehatan,” paparnya.

Ia mengatakan, tidak semua masyarakat di Indonesia akan mendapatkan vaksin. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk mendapatkan vaksinasi. Kriteria tersebut mencakup masyarakat berusia 18-58 tahun, tidak dalam kondisi hamil maupun penyakit serius lainnya juga belum pernah terpapar Covid-19. Ratno menambahkan, inilah yang akan menjadi batasan seseorang dalam menerima vaksin. Sehingga diperlukan proteksi tersendiri dari pemerintah untuk mencegah Covid-19 dan penularannya pada usia 60 tahun ke atas. Karena itu, hal ini harus difasilitasi dalam pelayanan kesehatan serta penguatan edukasi agar pemaparan Covid-19 dapat berkurang.

Penganggaran dana tentu tak luput dari pembahasan. Mengenai perkiraan kasar total anggaran yang diperlukan pemerintah untuk dapat melaksanakan vaksinasi ini, Ratno mencoba memberikan rinciannya. “Kalau kita lihat dari kondisi pandemi, negara mengalami defisit negara sebesar 5,7% terhadap produk domestik bruto pada tahun 2021 ini. Berdasarkan data, ada sebesar Rp47 triliun dana simpanan pada perhitungan anggaran 2020 yang dicadangkan untuk vaksinasi Covid-19. Kemudian pada APBN tahun 2021 ditambah lagi sebesar Rp18 triliun, sehingga total uang negara yang sudah disediakan untuk vaksinasi sebesar Rp65 triliun,” jelas Ratno.

“Harapannya, masyarakat dapat kembali hidup produktif dan memiliki daya beli yang kuat, sendi-sendi ekonomi kembali terbuka sehingga nilai investasi yang dikeluarkan tadi (untuk vaksin) bisa berputar dengan efektif dan efisien. Sehingga negara tidak mengalami defisit yang besar,” lanjutnya.

Selain skema distribusi dan anggaran pada vaksinasi, ia menyampaikan jika pemerintah masih memiliki tantangan lainnya. Tantangan ini berupa efektivitas distribusi, menekan fatality rates akibat Covid-19 dan memastikan masyarakat selalu mematuhi protokol kesehatan meskipun alternatif vaksin telah ada.

“Pemerintah harus memikirkan alternatif. Seperti membuka tempat karantina dan tidak langsung menutupnya ketika vaksin sudah beredar. Harus ada tim satgas khusus serta selalu mengevaluasi efektivitasnya,” tegasnya.

Senada dengan Ratno, dosen Fakultas Farmasi (FF) Unmul, Hajrah mengatakan jika ia sepakat dengan adanya program vaksinasi sebagai tindakan untuk menanggulangi pandemi. Tetapi, ia sadar bahwa saat ini masyarakat dihadapkan dengan kebimbangan dan ketakutan atas keamanan produk vaksin itu sendiri. Maka, peran farmasi adalah memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa vaksin tersebut aman digunakan karena sudah melalui serangkaian pengujian untuk memastikan aktivitas, efektivitas, dan keamanannya. Indonesia sudah melakukan pengujian oleh pihak Bio Farma dan telah mendapatkan izin edar oleh BPOM.

“Menurut amanat undang-undang, farmasi berperan dalam menyediakan dan mengendalikan mutu sediaan farmasi, salah satunya ialah vaksin. Jadi, tanggung jawab farmasi di sini memastikan bahwa vaksin yang sampai kepada masyarakat bermutu dan aman,” ucapnya kepada Sketsa, Minggu (24/1).

Seperti yang diketahui, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menetapkan tujuh vaksin Covid-19 yang akan digunakan di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/12758/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksaaan Vaksinasi Covid-19, jenis vaksin yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero), AstraZeneca, China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm), Moderna, Novavax Inc, Pfizer Inc. and BioNTech, dan Sinovac Life Sciences Co., Ltd., adalah vaksin Covid-19 yang dapat digunakan untuk pelaksanaan vaksinasi di Indonesia.

Vaksin Sinovac menjadi sorotan sebab tingkat efikasinya yang hanya sebesar 65,3 persen. Masyarakat kemudian membandingkannya dengan Pfizer yang memiliki efektivitas lebih tinggi. Menurut Hajrah, dalam pemilihan vaksin banyak sekali yang harus dipertimbangkan. Misalnya terkait penyimpanan vaksin dan distribusi dalam skala besar.

Contohnya, vaksin Pfizer yang menunjukkan efektivitas hingga 95 persen dalam membentuk kekebalan. Tetapi vaksin ini harus disimpan di suhu -70 derajat Celsius. Jika tidak disimpan sesuai temperatur stabilnya, maka vaksin tersebut akan rusak. Di Indonesia, teknologi pendingin seperti ini masih minim. Ditambah dengan iklim Indonesia yang tropis, maka kemungkinan rusaknya vaksin saat distribusi besar semakin tinggi.

“Sedangkan untuk Sinovac bisa disimpan dalam suhu 2-8 derajat Celsius dan sistem distribusi vaksin yang ada di Indonesia memungkinkan untuk vaksin tersebut. Selain itu, adanya perjanjian bilateral untuk transfer teknologi pembuatan vaksin Covid-19 memungkinkan kita dapat memproduksi vaksin sendiri. Sehingga kedepannya kita tidak perlu mengimpor vaksin Covid-19 lagi,” paparnya.

Mendukung pernyataan Hajrah, Ketua Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) FF Unmul, Niken Indriyanti menuturkan jika merek vaksin tidak masalah selama vaksinnya efektif. Idealnya, tentu pemerintah dan masyarakat menginginkan vaksin yang memiliki efektivitas 100 persen terjamin tanpa menimbulkan efek samping. Namun, saat membuat suatu produk bioteknologi dari material hidup, deviasi akan tetap muncul. Karena itu penelitian terus berkembang hingga efektivitas produk vaksin tersebut semakin meningkat.

“Mengenai kondisi saat ini, efektivitas vaksin Sinovac sudah sesuai standar BPOM dan WHO, sudah melalui uji klinis dan yang paling penting sudah di-approve oleh BPOM untuk digunakan di Indonesia saat ini,” tutur Niken, Senin (25/1).

Menyinggung soal izin edar vaksin, Niken mengatakan jika izin pengedaran akan diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI jika persyaratan efektivitas dan keamanan sudah terpenuhi. Pada 11 Januari lalu, terdapat siaran pers di website pom.go.id mengenai Penerbitan Persetujuan Penggunaan dalam Kondisi Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) Pertama untuk Vaksin Covid-19. Ia juga mengimbau agar masyarakat selalu memantau informasi resmi dari laman tersebut untuk menghindari berita yang tidak benar.

Kabar mengenai virus Covid-19 yang mengalami mutasi juga membuat masyarakat semakin cemas. Efektivitas vaksin pun dipertanyakan dalam menangkal kemungkinan terkena virus yang telah bermutasi. Baginya, mutasi genetik bisa membahayakan jika muncul epitope baru yang menimbulkan kesalahan pengenalan oleh antibodi anti Covid-19 yang sudah dibentuk oleh tubuh setelah vaksin diberikan untuk pertama kali. Pemetaan mutasi ini juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan tidak efektifnya vaksin yang sudah ada.

Menjawab pertanyaan perihal pemberian vaksin pada masyarakat yang sudah terkena Covid-19, Niken mengatakan bila hal ini masih diperlukan. “Antibodi dibentuk sesuai dengan jumlah paparan antigen yang masuk. Bisa jadi orang yang sudah pernah terkena Covid-19 telah memiliki titer antibodi yang cukup untuk mencegah infeksi ulang. Namun, belum ada jaminan kecukupan tersebut melihat dari jumlah kasus relapse. Maka, pemberian vaksin ini tetap diperlukan,” tutupnya. (len/bey/ahn/piu/lyn/rst)



Kolom Komentar

Share this article