Berita Kampus

Kasus Status D, Pengamat Hukum Sebut Birokrat FISIP Berlebihan dan Tidak Mendidik

Tak hanya dari kalangan birokrat Dekanat FISIP yang terus bersuara, dosen sekaligus pengamat hukum pun turut angkat bicara. (Sumber foto: hidayatullah.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Ancaman demi ancaman yang menghantui D akibat status Facebooknya, kini mulai menuai tanggapan dari sejumlah pihak. Tak hanya dari kalangan birokrat Dekanat FISIP yang terus bersuara, Herdiansyah Hamzah, dosen sekaligus pengamat hukum pun turut angkat bicara. Kepada Sketsa, Herdi memaparkan isian UU ITE terkait kasus D berikut proses hukum yang akan dijalani jika dinyatakan bersalah.

UU ITE, tepatnya Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik yang disebut-sebut bakal menjerat D, dikatakan Herdi sebagai pasal karet (haatzai artikelen) yang dapat digunakan oleh siapa pun untuk menjerat secara subjektif. Pasal tersebut kini menjadi delik aduan dan telah mengalami perubahan dari segi ancaman hukumannya sejak 28 November 2016 silam.

“Karena status itu dibuat pada tanggal 30 November, maka kalaupun akan dijerat pasal 27 ayat 3 harus menggunakan aturan perubahan. Yakni dari 6 tahun ke 4 tahun penjara dan dari Rp 1 Miliar ke Rp 750 juta. Berdasarkan ketentuan pasal 21 KUHAP, tidak perlu ditahan sampai ada putusan inkracht dari pengadilan,” terang Herdi saat dikonfirmasi.

Perihal kata “goblok” yang jadi inti persoalan dalam keruhnya kasus ini, menurutnya masih multitafsir. Tergantung siapa yang memandang. Di kampus bisa saja diklaim tidak beretika, tapi di banyak sisi kehidupan itu bisa jadi hal biasa. Selain multitafsirnya kata-kata yang tergolong pencemaran nama baik, Herdi menilai UU ITE masih belum mampu mengatur peruntukkan kritik. Apakah kritik ditujukan untuk perseorangan atau menyasar pangkat yang dijabat beberapa orang dalam suatu instansi. “Sejauh ini masih disamakan itu tidak adil,” ucapnya.

Kendati demikian, Herdi menyayangkan sikap birokrat FISIP yang mempermasalahkan penggunaan kata goblok yang sempat ditulis D. Baginya, kritik untuk pejabat publik adalah konsekuensi. Sedangkan sikap yang tampak dari jajaran Dekanat FISIP Unmul dinilainya terlalu berlebihan, bahkan tidak mendidik.

“Seharusnya yang dipersoalkan itu alasan kenapa kata goblok itu sampai keluar, bukan kata gobloknya sendiri. Jadi, tidak cenderung lari dari fokus masalah. Dianggap biasa saja, tidak perlu bereaksi berlebihan. Mestinya, pihak birokrasi memberikan teladan. Kalau memang ada yang salah dari D, diluruskan. Itu lebih mendidik dibanding sedikit-sedikit sanksi apalagi sampai skorsing atau drop out,” jelas Herdi.

Berbicara tentang kemungkinan selamatnya D dari jeratan kasus ini, bapak satu anak itu menyebut, keselamatan bergantung pada dua hal. Yakni, seberapa bijak pimpinan universitas memandang persoalan ini serta sejauh mana solidaritas yang dibangun untuk memperjuangkan D.

“D masuk kampus untuk dididik yang jika salah silakan diluruskan, bukan tiba-tiba dikeluarkan atau dicabut hak-haknya. Karena sifatnya delik aduan, jadi tergantung yang merasa dirugikan apakah akan lanjut mengadukan atau tidak. D juga jangan dibiarkan sendiri dengan masalahnya. Solidaritas mesti dibangun. Karena besok-besok orang lain berpotensi mengalami hal yang sama,” imbuhnya.

Tak hanya melihat ancaman, nyatanya ada fakta lain yang ditangkap kacamata Herdi dalam keruhnya kasus ini. Pemilihan media sosial sebagai wadah mencurahkan kritik D, menurutnya berisikan kemungkinan-kemungkinan tentang hal yang perlu dibenahi segera.

“Kenapa D lebih memilih media sosial, ada kemungkinan karena sistem saluran kritik dan masukan di kampus tidak berjalan. Itu juga hal yang penting dibenahi. Harusnya pihak birokrasi sadar soal ini, kemudian mengevaluasi diri untuk membangun sistem saluran kritik yang baik dan lebih partisipatif,” pungkasnya. (aml/jdj)



Kolom Komentar

Share this article