Berita Kampus

Jalan Buntu KPK Raih Kekuatan

Ilustrasi pelemahan KPK

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Nasionalkompas.com

SKETSA - "Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Fahri di ruang rapat paripurna DPR.

"Setuju," jawab anggota DPR serempak, dikutip dari Tirto.id.

Bunyi ketuk palu menandai telah diresmikan Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dilansir dari Tirto.id, peresmian tersebut dilakukan melalui Sidang Paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, Selasa (17/9).

Sebelum pengedahan menjadi UU, Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi telah membacakan pembahasan revisi UU KPK. Didapati tujuh fraksi yang menerima tanpa adanya revisi, yaitu PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, dan PAN.

Sedangkan dua fraksi lainnya dari Gerindra dan PKS menyatakan tidak sependapat, namun mereka memberikan catatan terhadap poin Dewan Pengawas yang dipilih langsung oleh Presiden. Karena siapa yang mengisi posisi tersebut harus melakukan Fit and Proper Test, hanya Demokrat yang belum memberikan pendapat.

Dilansir dari CNN Indonesia, UU Nomor 30 Tahun 2000, mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diresmikan oleh Anggota Dewan. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly sebagai perwakilan Pemerintah, mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo setuju dengan revisi kedua dari undang-undang tersebut.

Awal Keramaian dan Revisi Pasal

Sebelum ditetapkan menjadi Undang-undang, ramai pemberitaan revisi Undang-undang KPK. Bahkan pergantian pemimpin KPK juga turut menyita perhatian publik. Hal ini disebabkan kontroversi dari masing-masing calon ketua KPK yang dinilai tidak layak memimpin karena teganjal pelanggaran kode etik, yang bisa pengaruhi kinerja KPK ke depannya.

Mengutip dari Tirto.id, pada (5/9) dalam rapat Paripurna, anggota DPR menyetujui adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dihadiri sekitar 70 orang dari 560 total jumlah anggota DPR RI periode 2014-2019. Para perwakilan dari masing-masing fraksi kemudian menyampaikan pandanganya. Mayoritas menyetujui semua paparan dari sepuluh fraksi, total waktu yang dihabiskan sekitar 20 menit.

Adapun beberapa pasal yang direvisi pertama, pegawai KPK tidak lagi independen dan statusnya akan berubah seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 7 dan Pasal 24 ayat 2 dan 3. Akibtanya pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (P3K). Hal ini kemudian dapat menghilangkan independensi KPK dalam bertugas karena akan berpengaruh terhadap kenaikan pangkat, pengawasan, hingga mutasi.

Kedua, mengenai izin yang harus diterima oleh Dewan Pengawas yang dibentuk oleh Presiden dengan bantuan DPR. Ketika KPK sedang melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penggeledahan, seperti tercantum dalam pasal 12 B & C dan 37 B & E. Maka ruang gerak bakal dibatasi, misalnya penyadapan yang didasari oleh lawful Interception sesuai standar Eropa, dan harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.

Ketiga, penyidikan hanya boleh berasal dari Kepolisian, PPNS, dan Kejaksaan yang tercantum pada Pasal 43-43A dan Pasal 45-45A. Biasanyan perekruktan anggota berasal dari beragam latar belakang, agar mengurangi konflik kepentingan yang berujung indikasi penyidik tidak independen.

Keempat, ketika melayangkan tuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Tercantum pada Pasal 12A, akibatnya dalam proses penuntutan harus mendapat izin dari Kejaksaan Agung.

Kelima, hilangnya kriteria penanganan kasus korupsi yang meresahkan publik. Pada pasal 11, kasus yang bisa diproses apabila mengalami kerugian sebesar Rp1 miliar. Padahal dalam penanganan kasus sebelumnya kerugian negara hanya terbatas pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor. Artinya untuk penanganan suap akan sulit dijalankan KPK.

Keenam, KPK dapat menyudahi penyidikan dan penuntutan jika sudah melewati batas waktu satu tahun, sepertitertuang dalam Pasal 40. Apabila dihentikan, maka akan mencoreng integritas lembaga, serta dapat menimbulkan kesan adanaya tebang pilih dalam satu kasus.

Selain UU yang telah diresmikan, nama Ketua KPK yang baru terpilih menjadi sorotan. Irjen Firli Bahuri dipertanyakan kelayakannya menjadi Ketua KPK. Karena beberapa catatan hitam yang dimiliki KPK. Dia saat ini masih menjabat di Kapolda Sumatra Selatan.

Kontroversi yang dilakukan adalah ketika bertemu dengan Muhammad Zainul Madji, Gubernur Nusa Tenggara Barat. Saat itu Zainul sedang diselidiki oleh KPK terkait kasus di PT Newmont. Firli mengakui kejadian tersebut dan dirinya sempat diperiksa oleh Pengawas Internal (PI) KPK, namun dia merasa tiada kode etik yang dilanggar.

Selain itu pelangaraan lain yang dilakukan oleh Firli yaitu pertemuanya dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarno Putri. Serta pertemuannya dengan saksi kasus suap Perimbangan Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo. (mer/wil)



Kolom Komentar

Share this article