Berita Kampus

Indonesia Menuju Net Zero Emission: Wacana atau Bantuan Nyata Bagi Lingkungan?

Indonesia Menuju Net Zero Emission

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar : Unsplash

SKETSA – Belakangan ini, dunia sedang gencar untuk melakukan pembangunan rendah karbon dalam mencapai Net Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon. Hal itu diperkuat pula dengan wacana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia yang sedang menyusun komitmen untuk mencapai NZE. Khususnya dalam penurunan emisi gas rumah kaca, sebagaimana yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Gas rumah kaca sendiri bisa menipiskan lapisan ozon serta dapat menimbulkan beragam polemik terhadap isu iklim. Tak hanya itu, hal ini juga akan meningkatkan pemanasan global. Secara tidak langsung, implikasi NZE merujuk pada pengaruh yang begitu besar sehingga penting bagi masyarakat agar lebih concern pada hal tersebut.

Berkaitan dengan wacana pemerintah Indonesia untuk mencapai NZE, Sketsa mewawancarai Fahrizal Adnan selaku dosen Program Studi (Prodi) Teknik Lingkungan bidang Rekayasa Lingkungan, Jumat (28/5). Menurutnya, jika Indonesia ingin berkonsentrasi ke arah sana, maka harus ada teknologi baru atau energi terbarukan. Sehingga, Indonesia dapat migrasi dari bahan bakar minyak.

“Kalau NZE, (kita) bisa menggunakan bahan bakar listrik. Layaknya kendaraan listrik berbahan bakar non-bbm seperti tenaga surya, angin, air dan lainnya. Atau cenderung emisinya rendah, nggak ada emisinya. Tetapi mungkin radiasi saja. Kalau misalnya dikelola dengan baik, bisa memberi efek yang besar seperti nuklir. Walaupun ini di Indonesia agak terbatas,” tuturnya.

Mengenai langkah pemerintah serta tantangan yang akan dihadapi, ia mengatakan jika implementasi ini tentunya harus melalui tahap-tahap. Pemerintah pastinya akan melakukan target nasional untuk melihat daerah-daerah yang nantinya akan dilakukan evaluasi terkait berapa karbon emisinya. Kemudian, evaluasi tersebut dapat digunakan untuk almost zero (emisi).

Namun, ada hal-hal yang harus diperhatikan. Dengan memahami penutupan emisi tersebut, maka pemerintah harus menggunakan langkah-langkah baru untuk menghadapi tantangan yang ada. Sebab dengan emisi yang sangat beragam, perlu perubahan bertahap untuk meminimalisirnya. Di sisi lain, menyediakan riset dan development bagi penelitian dan tekonologi baru agar pengeluaran emisi bisa dikembangkan.

Selain emisi yang dihasilkan rumah industri, adapula emisi yang ditimbulkan dari hutan dan dapat menjadi penyumbang utama emisi karbon. Salah satunya karena kebakaran, terutama di lahan gambut untuk proses pembukaan lahan. Adanya sistem jaminan legalitas kayu atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) digadang-gadangkan mampu menekan dan mencegah deforestasi juga berkontribusi mengurangi emisi.

Menanggapi hal tersebut, Fahrizal menganggap sistem ini merupakan keputusan dan langkah baik yang bisa dilakukan. Adapun istilah ini dikenal dengan nama green economy atau ekonomi berbasis pada aspek lingkungan. Jika pemerintah ingin melakukan improvisasi pada parameter ekonomi tetapi tidak meninggalkan aspek-aspek lingkungan, maka dapat dikategorikan sebagai green economy.

“Pertama, saya menyambut baik kalau ada hal tersebut dan kita perlu support ke arah sana. Sebagai pihak yang concern terhadap lingkungan dan akademisi, sebenarnya kalau kita melihat lebih lanjut siklus kebakaran hutan yang bisa menghasilkan emisi tersebut itu juga dikarenakan faktor kondisi alam kita,” papar Fahrizal.

“Area gambut itu kadang-kadang tidak dibakar dengan sengaja. Tetapi juga karena ada faktor musim atau faktor iklim, sehingga ketika terkena dengan panas maka mudah tersulut dengan api,” sambungnya.

Ia menjelaskan, jika pemerintah ingin mencapai target untuk meraih NZE maka harus holistis untuk mengurangi emisi. Misalnya dengan disertifikasi kayu, mitigasi terhadap kebakaran hutan, kemudian memerhatikan solusi dan tanggap cepat jika terjadi kebakaran hutan.

Dihubungi Sketsa pada Kamis (27/5), Rizky Arifandra, mahasiswa Prodi Teknik Lingkungan 2017 ini juga menanggapi program pemerintah untuk mencapai NZE. Ia tidak sependapat dengan wacana pemerintah untuk melakukan deforestasi, sebab diperkirakan dapat menurunkan angka produksi emisi karbon.

“Saya kurang setuju dengan itu, karena dengan menekan deforestasi akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Positifnya, deforestasi akan mengurangi produksi emisi karbon dan akan menghasilkan biofuel. Namun, deforestasi memiliki dampak negatif yang cukup krusial bagi Indonesia. Yaitu akan memicu berbagai bencana alam termasuk banjir, longsor dan kekeringan juga mempercepat terjadinya perubahan iklim,” ungkap Rizky.

Ia mengatakan bahwa ada berbagai cara untuk menurunkan angka produksi emisi karbon. Mulai dari hal kecil yang biasa kita lakukan sehari-hari, misalnya dengan menghemat penggunaan listrik atau lebih banyak menggunakan transportasi umum.

Sedangkan, upaya skala besar bisa dicapai dengan memperhatikan perencanaan tata ruang yang baik seperti pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sehingga dapat menekan produksi emisi karbon. Penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) juga bisa mengurangi produksi emisi karbon.

Lantas, masyarakat juga harus turut berperan untuk mengurangi emisi karbon. Bagi Rizky, mahasiswa pun dapat membantu mewujudkan NZE.

“Menurut saya, mahasiswa dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Zero Emission. Seperti Zero Emission Day atau kampanye untuk menghemat listrik yang mengingatkan, menyadarkan dan mengedukasi lingkungan masyarakat sekitar,” pungkasnya. (fzn/jla/rvn/len)



Kolom Komentar

Share this article