Berita Kampus

Dilema Wacana Penghapusan Mata Pelajaran Bahasa Inggris

Wacana penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber: Slideshare

SKETSA - Dunia pendidikan Indonesia dibuat kaget dengan beredarnya wacana penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris untuk SMP dan SMA. Disebutkan, Bahasa Inggris nantinya tidak akan dipelajari dengan pedoman buku melainkan diubah menjadi praktik tata bahasa atau penggunaan bahasa sehari-hari. 

Hal ini dilakukan untuk memudahkan para siswa untuk langsung mempelajari Bahasa Inggris dan tidak dibingungkan lagi dengan pelajaran buku yang saat ini digunakan.

Dilansir dari pojoksatu.id, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim mengatakan, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, serta pendidikan karakter berbasis agama dan Pancasila menjadi mata pelajaran (mapel) utama di SD.

"Karena itu, mapel Bahasa Inggris dihapus untuk SMP dan SMA. Karena sudah dituntaskan di SD,” kata Ramli.

Pembelajaran Bahasa Inggris, lanjut Ramli, sebaiknya lebih difokuskan untuk mengajarkan percakapan, bukan tata bahasa. Kemudian, untuk SMP tidak boleh lebih dari lima mapel yang diajarkan kepada siswa. Sedangkan di SMA maksimal ada enam mapel tanpa penjurusan.

Dengan adanya wacana tersebut membuat banyak guru pengajar Bahasa Inggris memikirkan nasib mereka ke depannya. Tidak hanya guru, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Prodi Pendidikan Bahasa Inggris juga ikut cemas dan dilema.

Melihat keadaan ini, mahasiswa Unmul Prodi Pendidikan Bahasa Inggris angkat bicara.

"Masih mikir itu wacana sih. Cuma sayang ya, karena Bahasa Inggris itu kan bahasa global. Jadi kalau sampe dihapus ya mau belajar dari mana?" ujar Nadya Oktavianti.

Tidak hanya itu, mahasiswa angkatan 2016 juga menambahkan, jika memang akan dihapus harus disertai solusi juga bukan hanya main hapus. Misalnya dengan menghadirkan ekstrakulikuler atau english club. Lebih lanjut ia berujar bahwa dirinya tidak begitu khawatir dengan penghapusan ini jika dirinya lulus studi nantinya.

"Ya enggak gimana-gimana. Kami bisa kerja di banyak tempat. Lulusan Bahasa Inggris enggak harus jadi guru ngajar. Kamu bisa buka private, terus masuk lembaga-lembaga seperti Briton," ungkapnya.

Berbeda dengan Nadya, Roy Angga Octavianus Mahasiswa angkatan 2016 menyatakan ketidaksetujuannya dengan wacana penghapusan tersebut. Menurut Roy, siswa di Indonesia kurang memiliki motivasi untuk mempelajari Bahasa Inggris. Menurutnya, saat ini masih diajarkan belum tentu bisa dikuasai apalagi jika mata pelajaran ini sampai dihapuskan.

Roy juga menambahkan, mungkin pemerintah melihat lingkungan masyarakat kalangan atas ataupun lingkungan perkotaan sudah lebih dahulu memahami Bahasa Inggris. Bahkan, mungkin beberapa diantaranya menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari hari. Maka keadaan ini akan berbanding terbalik dengan masyarakat di daerah pedalaman. Mereka hanya bisa mendapatkan sumber belajar Bahasa Inggris dari sekolah.

"Bahasa Inggris di Indonesia secara umum bukanlah bahasa yang mudah dipelajari dengan natural (alami). Perlu dorongan dan masukan materi. Disinilah peran sekolah dan guru, masukan dan juga pelatihan bagi para siswa," jelasnya.

Berbeda dengan dua mahasiswanya, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Unmul, Yuni Utama Asih enggan memberikan tanggapan mengenai wacana tersebut.

"Isu itu masih wacana dan belum jadi keputusan. Maka saya belum bisa berkomentar apa-apa tentang hal yang belum ada dasar hukumnya," ujarnya singkat. (nhh/fir/ann)



Kolom Komentar

Share this article