Berita Kampus

Chairil dalam Ada Apa dengan Cinta?

Chairil Anwar, meski sudah tiada namun karyanya selalu ada dan hidup hingga kini. (Sumber foto: Wikipedia)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Chairil Anwar selalu tentang cinta, kemarahan, perlawanan yang mampu ia lakukan. 68 tahun setelah mangkat, karya-karyanya senantiasa dibicarakan. Masa kepenyairannya tak lama, tetapi cukup untuk menjadikan Chairil penanda susastra yang penting.

Haul Chairil dirayakan di berbagai tempat--yang masih dan akan terus membicarakan karya-karyanya. Jumat (28/4) di Fakultas Ilmu Budaya, BEM FIB membuka panggung terbuka untuk siapa saja yang ingin berbicara ataupun membacakan puisi-puisi Chairil. Malam harinya mereka menggelar diskusi bertajuk “Ada Apa dengan Chairil?”. Kumpul-kumpul yang ingin mengurai keberadaan Chairil di Ada Apa dengan Cinta? (2002) karya Rudi Soedjarwo.

Di lapangan bekas tenis yang terbengkalai diskusi digelar. Pukul 20.00 Wita lebih dulu dipertontonkan film Ada Apa dengan Cinta?Lalu, Irwan Syamsir seorang mahasiswa Sastra Indonesia maju sebagai moderator dan Dahri Dahlan yang seorang dosen sastra ditunjuk pula sebagai pemateri.

Pertama-tama puisi menjadi narasi penting dalam Ada Apa dengan Cinta?. Tidak bisa tidak, tanpa puisi Cinta yang gemar mengigit bibir itu tak akan pernah bertemu dengan Rangga. Begitu juga sebaliknya. Tokoh Rangga dalam film itu sedikit banyak memperlihatkan Chairil yang dapat dilacak: tak banyak bicara dan kedua orang tua yang berpisah. Bahkan, saking tak banyak bicaranya Chairil ini, ia pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, Sri Ayati namanya, dan hingga maut datang tak sekalipun ia ungkapkan apa yang menjadi perasaannya.

Kedekatan Rangga dengan buku menunjukkan dunia yang tak jauh berbeda dengan Chairil. Dahri Dahlan sebagai pemateri mengisahkan bahwa Chairil adalah bohemian yang gemar mencuri buku. Suatu kali karena ia tak benar-benar memerhatikan buku yang ia curi, alih-alih buku sastra Chairil justru membawa bibel.

Salah satu hal yang membuat Chairil terus dikenang sampai hari ini justru karena ia menulis dengan mendobrak tatanan lama. Pada masa itu, Angkatan Pujangga Baru yang diisi penyair seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane memiliki gaya puisi yang cukup khas. Melulu menggunakan bahasa Melayu serta tema yang diangkat tak jauh beda, soal perjuangan dan romansa beberapa. Sementara Chairil datang dari musim yang berbeda dan memunculkan cara lain.

“Chairil besar karena mendobrak pengucapan pada zaman itu. Dia mempunyai gaya baru dalam penulisan puisi dan gaya itu diperlukan untuk mengungkapkan keadaan diri sendiri dengan zaman waktu dia hidup. Karena zaman waktu dia hidup kan berbeda dengan zaman waktu perang,” kata penyair Sapardi Djoko Damono dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia.

Ada Apa dengan Cinta? telah berusaha memperkenalkan Chairil kepada penontonnya yang saat itu kebanyakan merupakan remaja. Gelombang besar lahir kemudian karena setelah film itu tayang banyak pria SMA berpikir menulis puisi dan menghadiahkannya kepada wanita yang ia suka. Secara pengakuan Ada Apa dengan Cinta? boleh dikata memang sangat berhasil. Film yang memperkenalkan kita dengan Ladya Cherill ini mendapatkan penghargaan berupa Piala Citra Festival Film Indonesia 2004 dan disebut-sebut sebagai penanda penting dari kebangkitan industri film nasional. Dengan Ada Apa dengan Cinta?  telah menjadi kultus.

Sampai kemudian tepat setahun lalu, April 2016 Ada Apa dengan Cinta 2? beredar di bioskop-bioskop. Meski meraup jumlah penonton yang jauh lebih banyak, tak sedikit yang menyayangkan kehadiran sekuel ini. Ada Apa dengan Cinta 2? lebih mirip sebagai sekumpulan hal yang coba diklarifikasi. Menurut Dahri, yang jadi soal di sini adalah karena cerita berakhir dengan bahagia dan itu merusak fantasi akan hubungan Cinta dengan Rangga. Ia mencontohkan kisah cinta seperti Romeo and Juliet, Laila dan Majnun, dan Sampek Engtay yang mestinya berada di level sama dengan kisah Cinta dan Rangga.

“Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang baik di dalam film, tidak jika bukan di dunia rill,” katanya.

Suatu ketika senja di pelabuhan Sunda Kelapa, Chairil ada di sana dengan perasaan hati yang rawan. Ia merasa ingin menulis puisi kepada Sri Ayati yang baru saja diketahuinya telah dilamar oleh seorang dokter. Ia simpan perasaan baik itu, tetapi kerawanan hatinya ia catat melalui puisi. Dan Rangga, pria fiksi, bernasib lebih beruntung daripada Chairil yang rill.

Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

(wal/jdj)



Kolom Komentar

Share this article