Sosok

Wiji Thukul di Kisah Menhir dan Orde Baru Pelenyap Jagoan

Kelik Ismunandar alias Menhir, mahasiswa Sejarah 1993, Universitas Sebelas Maret yang mengawal Wiji Thukul. (Sumber: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA – Diskusi Indonesia Cemas—pelesetan dari Indonesia Emas—digelar di rumah Widji Thukul, di kampung Jagalan, Solo. Diskusi itu tak berjalan hingga selesai, Thukul keburu kabur dikawal Menhir ke kampung sebelah. Gara-gara aparat merangsek masuk menyetop alur diskusi dan memburu Thukul. Thukul telah mengakrabi kucing-kucingan bersama aparat sejak 1995.

Ketika itu sajak-sajaknya sudah mengganggu kuping rezim. Kepenyairannya dikenal memiliki keberpihakan yang jelas: pada rakyat miskin dan buruh-buruh yang terpinggirkan. Tak mengandalkan kata-kata, Thukul juga membangun relasi dengan gerakan mahasiswa pada saat itu.

Di Solo, ia memiliki kedekatan dengan para aktivis dari organisasi ekstra kampus, Ikatan Mahasiswa Solo (IMS). Pada 1994 IMS melebur ke dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di bawah organisasi payung Partai Rakyat Demokratik (PRD), di mana Thukul ada di dalamnya sebagai aktivis.

Dalam setiap gerakan yang Thukul ada di sana, mahasiswa betul-betul hendak menjaga Thukul dari penangkapan aparat. Ibaratnya Thukul adalah obor gerakan sehingga jangan sampai ia dibekap. Beberapa mahasiswa lantas diplot khusus untuk menjaga Thukul, salah satunya Kelik Ismunandar alias Menhir, mahasiswa Sejarah 1993, Universitas Sebelas Maret.

Tugas Menhir adalah menemani dan mengamankan Thukul dalam masa pelarian. Jika Thukul ditangkap, Menhir harus menjadi saksi dan memberi kabar kepada kawan yang lain. Menhir juga yang membawa Thukul pergi dari gerebek aparat saat diskusi Indonesia Cemas. Mereka hanya berdua, kabur tanpa sepeda motor, hanya berlari.

Kudatuli dan Perburuan

Meletusnya Peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal juga dengan Kudatuli membangkitkan gairah rezim dalam memburu aktivis PRD. Pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menuding aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Catatan Komnas HAM menyebut dalam peristiwa itu ada lima orang meninggal dunia, 149 orang—sipil maupun aparat—luka-luka, dan 136 orang ditahan.

Hari pasca Kudatuli adalah masa pelarian bagi aktivis PRD dan organisasi di bawahnya. Mereka mulai diburu. Wiji ada di Solo dan cuma berdiam diri di rumah. Menhir sama cemasnya, ia berkomunikasi dengan keluarga Thukul bahwasanya selepas magrib, ia akan datang dengan sepeda motor, Wiji sebaiknya juga ikut. Mereka akan memulai pelarian, keluar dari Solo pergi ke Karanganyar.

“Kami singgah di salah satu rumah anggota SMID di Karanganyar tanpa diketahui oleh orang tuanya kawan bahwa sesungguhnya kami sedang dalam pelarian,” kata Menhir kepada Sketsa.

Mereka hanya semalam di Karanganyar, selepas itu mereka balik lagi ke Solo. Menhir mengantar Thukul ke rumah seorang kawan yang merupakan anggota Sanggar Suka Banjir (SSB), kelompok teater di mana Thukul juga berkesenian. Merasa cukup aman, Thukul pun ditinggal di sana sedangkan Menhir pergi bertemu dengan kawan lain untuk melakukan koordinasi lanjutan. Menyusun tindakan yang selanjutnya akan dilakukan.

Pada waktu yang sama, polisi menggerebek rumah di mana Wiji Thukul terakhir kali diantar. Setelah digeledah tidak ditemukan siapa-siapa. Sebelum polisi hendak menyeruduknya, rupanya Wiji Thukul sudah memutuskan pergi sendiri.

“Kami sudah putus kontak dengan Thukul. Tidak tahu dia di mana,” ujar Menhir.

Menhir lantas melanjutkan pelariannya seorang diri. Tidak ada tempat yang benar-benar aman dalam kondisi pelarian seperti itu, begitu menurut Menhir. Ia ditangkap aparat pada pagi hari ketika keluar untuk pergi ke kampus dalam upaya melakukan koordinasi lanjutan. Menurutnya penangkapan itu lebih mirip penculikan, tidak ada saksi mata yang melihat ketika ia dibawa paksa oleh intel. Menhir ditahan di Korem Surakarta lalu dilimpahkan ke kepolisian wilayah Surakarta.

Ia diburu pertanyaan seputar “kamu bawa ke mana Wiji Thukul?”, yang dijawabnya “tidak tahu”. Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya sudah dikantongi oleh aparat. Bahwa Thukul dijemput Menhir, pergi ke Karanganyar, dan balik lagi ke Solo. Menurut Menhir, rumah Thukul terindikasi sudah dipantau sebelum ia datang memboyong Wiji.

Malioboro dan Perjumpaan

Memasuki Agustus 1996 sebuah kabar diterima oleh para aktivis di Solo bahwasanya Thukul akan muncul di Yogyakarta. Thukul dalam pesannya mengatakan hendak bertemu dengan istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon. Pertemuan itu lantas dirancang oleh para aktivis yang tersisa di Solo.

Skenarionya Sipon, tanpa gelagat aneh-aneh, akan berangkat dari Solo ke Yogya menaiki bus. Yang bertugas mengawal dan mengantar Sipon adalah Menhir. Menhir bernasib baik, ia hanya ditahan polwil Surakarta selama satu kali dua puluh empat jam. Selepas itu ia keluar dan kembali berada di garis pergerakan. Sedangkan yang akan menjemput Thukul di Yogya adalah Aboe, kawan aktivis Menhir.

Menhir tidak langsung menjemput Sipon di rumahnya. Dalam koordinasi singkat, Sipon diminta pergi ke Pasar Klewer. Nanti di titik yang ditentukan sudah ada Menhir menunggu. Keduanya tidak boleh berinteraksi. Berjalan pun harus jauh-jauhan, Menhir berjalan jauh di depan dan Sipon mengikuti tanpa gelagat. Dua bis yang dinaiki menuju Solo, mereka pun tetap duduk berjauhan.

Siang hari setibanya di Yogya, di Jalan Malioboro tempat di mana banyak hal terjadi, Thukul akhirnya bertemu dengan Sipon. Pertemuan itu bukan yang terakhir bagi sepasang suami-istri itu, tetapi yang terakhir untuk seorang Menhir. Kali itu Thukul memuji Menhir.

“Iya to, aku sudah menduga kamu akan bertahan di garis gerakan ini,” ujarnya mengenang perkataan Thukul hari itu.

Reformasi dan Pelenyapan

Reformasi mewujud pada Mei 1998 lewat serangkaian aksi massa yang menggoyang kursi Soeharto. Rezim tua menyerah dan menyatakan mundur dari tampuk kekuasaan. Aksi massa tak cuma di Jakarta, di kota-kota lain jalan-jalan juga penuh dengan massa aksi. Di Solo, Menhir menjadi korlap aksi memimpin ribuan massa.

Meski dalam kondisi di ujung tanduk, Orde Baru tetap semena-mena dengan melakukan penculikan dan pembunuhan kepada banyak aktivis. Solo setidaknya kehilangan tiga aktivis yang hilang dan meninggal.

Leonardus Nugroho alias Gilang yang tewas beberapa hari setelah reformasi. Suyat hilang pada 13 Februari 1998. Terakhir, Wiji Thukul yang hilang di Jakarta pada akhir 1998. Thukul terlihat terakhir kali ada di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur. Total keseluruhan ada 13 aktivis yang dilenyapkan Orde Baru dan hingga dua puluh tahun kemudian seumpama bunga, bunga yang entah berada di mana dan bagaimana keadaannya. (nnd/wal/wil)



Kolom Komentar

Share this article