Sosok

Terus Mengajar Meski Sedikit

SD Negeri 017 Gunung Cermin, Samarinda Utara, menjadi salah satu potret pendidikan di ibukota. (Foto: Eka Rizky)

SKETSA - 31 murid berbaris di halaman SD Negeri 017 Gunung Cermin, Samarinda Utara. Jumlah mereka lebih mirip jumlah satu kelas, ketimbang disangka jumlah murid satu sekolah.

Pernah ada tahun-tahun kosong. Tahun di mana SDN 017 sama sekali tak kedatangan anak kecil untuk dijadikan murid. Hingga muncul wacana dari pemerintah untuk memindahkan lokasi sekolah. Agar tidak seperti sekarang ini yang “hidup segan, tapi mati pun tak mau”. Pemerintah ingin menarik lokasi sekolah yang semula berjarak 3 kilometer dari Jalan Batu Cermin menjadi sedikit lebih dekat dengan kota. Tapi, itu urung terjadi karena lebih banyak masyarakat sekitar menolak usulan tersebut.

“Saya lupa itu terjadi di tahun berapa, tapi benar-benar tidak ada yang mendaftar dua tahun berturut-turut sehingga dua kelas kosong,” kata Liung, Kepala Sekolah kepada Sketsa, (29/4) lalu.

Sudah dua tahun belakang ini tak ada apel bendera di sekolah tersebut. Sebab, jumlah murid tak mencukupi. Sebenarnya dulu SDN 017 tak seseret ini untuk urusan murid. Ketika didirikan pada 1983 sekolah ini disayangi oleh warga sekitar. Meski sebelumnya pada 1982-1983 sempat terjadi kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kemarau panjang selama sebelas bulan. Namun, kala itu banyak warga masih tak terganggu dan memilih tetap menetap di sekitar Gunung Cermin.

Lanskap cerita baru mulai berubah ketika pada 1997-1998 kembali terjadi kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan. Catatan dari The Singapore Center for Remote Sensing menyebutkan diperkirakan pada 1997 api melahap 3 juta hektare hutan di Kalimantan dan di Sumatra 1,5 juta hektare. Sialnya lagi, kebakaran hutan itu terjadi bersamaan dengan fenomena perubahan iklim El-Nino. Akibatnya, dari kejadian ini pelbagai dampak dihasilkan: kemarau hamil selama sembilan bulan, reformasi, dan memicu ditinggalkannya Gunung Cermin oleh warga secara perlahan.

Menjelang tahun-tahun sepi itulah Liung masuk sebagai guru di SDN 017. Ia menyaksikan bagaimana sekolah ini bertahan, di kala pasang maupun di kala surut. Pada 2007 atap-atap sekolah mulai dibenahi, memasuki 2013 giliran akses jalan di semenisasi oleh pemerintah. Hal terakhir ini mengatasi problem besar. Sebelumnya, untuk bisa sampai ke SDN 017 seseorang perlu memacu kendaraannya di atas kubangan lumpur. Pikir Liung, bayangkan jika ingin menyekolahkan anak, untuk apa memilih sekolah yang dipenuhi lumpur. Maka ketika akses jalan mulai membaik seperti sekarang, ia jadi optimis akan kedatangan murid-murid baru.

Sejauh ini Liung telah berupaya agar sekolahnya bisa lebih dilirik Dinas Pendidikan. Keadaan terakhir yang ia tahu SDN 017 sudah masuk daftar tunggu untuk perbaikan gedung sekolah. Liung berharap agar hal itu bisa terlaksana di tahun ini, karena dalam penantiannya ia berbaik sangka saja saat berkata, “mungkin ingin diprioritaskan sekolah lain dulu yang muridnya banyak atau ada sekolah lain yang lebih membutuhkan”.

“Kalau (sekolah) ini muridnya sedikit, tapi gedungnya masih bagus dikit. Lumayanlah,” ucapnya.

Bangunan SDN 017 sejatinya merupakan bangunan tua dari kayu sebagai penopang. Ada enam bangunan kayu yang berdiri di lingkungan sekolah. Satu bangunan panjang diperuntukkan sebagai ruang kelas, satu ruang guru dan kepala sekolah, satu perpustakaan dan UKS, satu ruangan untuk penjaga sekolah. Sedang dua sisanya adalah bangunan kayu reyot telah rusak sana-sini.

“Sekolah lain sudah bagus semua, kenapa kita enggak?” katanya.

Selain murid minim, tenaga pengajar SDN 017 juga masih amat terbatas. Di sini akan ditemukan guru agama dan guru olahraga yang merangkap sebagai guru kelas. Liung berkata, urusan begini adalah tanggung jawab pemerintah untuk meratakan distribusi guru. Karena sekolah yang letaknya di pinggir tak berarti boleh dilupakan. Sebab seperti kata Liung, mereka yang dipinggir sudah lama berteriak. Dan semua itu logis.

 

Merangkul Anak Didik

Hari ketika Sketsa berkunjung ke SDN 017, BEM FKIP dari Dinas Sosial Masyarakat sedang melaksanakan salah satu program kerjanya yakni Gerakan FKIP Mengajar. Sejauh ini sudah dua kali dilakukan, sebelum di SDN 017 mereka telah lebih dulu melakukannya di SDN 020 Samarinda.

Kedatangan BEM FKIP ini mencoba membagikan ilmu kepada anak usia sekolah dasar. Pada Minggu sebelumnya mereka datang lebih dulu dengan mengajarkan gerakan senam dan permainan tradisional. Lalu pada Sabtu kemarin, mereka menggelar lomba-lomba yang salah satu tujuannya untuk menyenangkan hati anak-anak. BEM FKIP memberikan bingkisan hadiah kepada 31 murid untuk yang menang maupun yang tidak menang.

Gregorius Aprinda Roynaldo, seorang mahasiswa Prodi Geografi 2015 menguraikan bahwa kegiatan ini ditujukan untuk menyasar sekolah di Samarinda, yang spesialnya berstatus sebagai ibukota, tapi masih kerap tak terjamah oleh pendidikan yang merata. Mudah untuk melihat bagaimana SDN 017 jauh dari cita-cita “pendidikan merata”. Tanpa mengeyampingkan kenyataan bahwa sekolah ini memiliki bangunan tua dan letak yang bersisian dengan jurang, yang konyolnya tak diberi pembatas yang berarti.

Kendati muram, semangat anak-anak di sana seperti tak surut melainkan menyala. Liung menceritakan bahwa ia menerima siapapun murid yang ingin masuk ke sekolah yang ia pimpin. Jika ada anak yang pupus sekolah karena tak ada sekolah yang mau menerimanya, maka Liung akan datang dan mengajaknya untuk bergabung di SDN 017. Siapapun ia terima karena baginya setiap anak layak mendapat ilmu yang bermanfaat.

Saat ini di sekitar Gunung Cermin ada satu murid berhenti sekolah, Liung sedang dalam usaha untuk mengajak kembali si bocah mengeyam bangku kelas. Problemnya anak ini tak memiliki seragam, maka Liung perlu mencari seragam terlebih dahulu. Mungkin ia akan pergi ke yayasan-yayasan untuk mencarinya. Hal seperti ini cukup biasa Liung lakukan. Di waktu yang lalu, Liung pergi ke gereja dan meminta jika ada baju bekas layak bisa diserahkan kepada anak didiknya.

“Ya daripada dia ndak sekolah, pertimbangannya ya kemanusiaan aja lagi,” ujar perempuan 50 tahun itu.

Dari semua tingkatan kelas, kelas 3 jadi satu-satunya tingkatan yang diisi oleh satu murid. Murid itu perempuan dan dia bernama Angle, pindahan dari sekolah di Malinau, Kalimantan Utara. Sebelum kedatangan Angle, kelas 3 memang adalah angkatan kosong. Dalam kegiatan belajar mengajar, Angle ditempatkan satu kelas dengan anak kelas 5. Materi ajaran yang ia terima masih sesuai tingkatan kelasnya, hanya di pelajaran Bahasa Inggris ia bisa menyamai anak kelas 5.

“Walaupun satu ya tetap diajar,” kata Liung.

Di lomba yang diadakan BEM FKIP itu, Angle berhasil mendapat juara satu untuk lomba menggambar. Ketika di wawancara selepas pembagian hadiah, dengan sedikit malu-malu Angle mengaku imajinasinya kerap dipakainya untuk menggambar gunung. Tetapi, katanya, mata pelajaran favoritnya justru adalah matematika.

Angle mengaku tak pernah merasa kesepian di SDN 017. Di waktu istirahat dia biasa berkejaran dengan teman-temannya yang lintas kelas, kalau tidak itu dia akan bermain ajakan sungkup di lingkungan sekolahnya yang kecil. (wal/iki/jdj)



Kolom Komentar

Share this article