Dosen Luar Biasa Unmul, Menaruh Renjana pada Dunia Mengajar
Sosok dosen luar biasa Unmul ungkapkan peran dosen yang baik sangat penting bagi mahasiswanya.
- 23 Dec 2021
- Komentar
- 2408 Kali
Sumber Gambar: Sari/Sketsa
SKETSA – “Dari banyaknya bacaan, saya mendapati bahwa peran dosen yang baik itu sangat penting bagi mahasiswanya.”
Inilah yang disuarakan oleh sosok penyandang gelar Dosen Luar Biasa Unmul yang hinga kini masih terus berdedikasi membagikan pengetahuannya, meski sudah memasuki waktu purnabakti.
Dengan nama lengkap Surya Sili, perempuan berdarah campuran Cina dan Banjar yang kerap disapa Surya ini rupanya lahir dan besar di Kalimantan. Tak hanya itu, sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) ia juga berfokus untuk tetap bersekolah di daerah kelahirannya itu.
Untuk mengetahui sosok Surya secara personal, Selasa (7/12) Sketsa mengunjungi salah satu kediamannya di Jalan Ir. H. Pangeran Muhammad Noor Samarinda. Perempuan yang memiliki ketertarikan dengan bunga anggrek ini membagikan kisahnya secara mendalam kepada Sketsa.
Setelah lulus dari salah satu SMA di Samarinda, Surya meneruskan pendidikannya untuk pergi ke Kota Parahyangan. Tak sia-sia, dirinya lulus dengan gelar doktoranda (Dra.) dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kini telah berubah menjadi menjadi Universitas Pendidikan Indonesia.
Uniknya, Surya sempat mendaftar ke Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menjadi fisikawan, hal ini lantaran terpacu dari kedua orang kakaknya yang juga turut berkuliah di perguruan tinggi bergengsi tersebut. Meski memiliki nilai rata-rata 100, Surya tak dapat bersaing hingga impiannya menjadi fisikawan tergantikan menjadi dosen yang berjasa.
Di rumah besar dengan pendingin ruangan itu, Surya bercerita bagaimana kala kuliah dirinya berjuang untuk bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sejak semester pertama hingga kedua, dirinya membiayai perkuliahannya sendiri, kemudian semester berikutnya barulah ia mendapatkan beasiswa ikatan dinas.
Alih-alih ikut di organisasi yang beragam, semasa kuliah Surya justru fokus untuk belajar. Hal itu lantaran dirinya yang tak mau memberatkan beban orang tua untuk membiayai perkuliahannya lebih lama.
“Saya lebih ke belajarnya, karena saya ingat orang tua saya, saya kalau main-main bahaya kalau terlalu lama. Makanya saya enggak mau mengecewakan itu,” tuturnya saat duduk di pelataran rumahnya yang megah.
Lulus jenjang sarjana pada tahun 1980, di tahun tersebut pula Surya menikah dengan kekasihnya sejak SMA. Selang dua tahun, awal ia menapaki karier untuk menjadi seorang dosen pun dimulai. Atas izin suami, pada 1982 dirinya bergabung menjadi dosen di program studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unmul.
Setahun setelah tahun pertamannya menjadi dosen, dirinya langsung menjadi dosen tetap berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia bercerita jika kala itu tak sulit untuk menjadi PNS seperti dewasa ini. Sembari menjadi dosen, pada 1984 ia mengikuti seleksi untuk melanjutkan jenjang magisternya.
Dengan mengambil gelar Master of Art and Teaching pada 1986, selang satu tahun kemudian perempuan yang merupakan anak bungsu dari empat bersaudara itu akhirnya lulus dari Georgetown University, Amerika Serikat. Ia berkisah kala itu pemerintah sedikit khawatir lantaran membayarkan biaya kuliahnya yang tergolong mahal di universitas swasta itu.
Setelah lulus dengan gelar masternya, Surya kembali mengajar sebagai dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris hingga tahun 1993. Di tahun 1994, Surya kembali mendapatkan beasiswa dari Bank Dunia untuk melanjutkan jenjang doktoralnya ke Ohio University Amerika Serikat selama lima tahun dan lulus dengan gelar Doctor of Philosophy (PhD).
Setelah lulus, ia kembali mengajar di Unmul. Tak berhenti sampai di situ, pada 2000, ia mencoba mendirikan Prodi Magister Pendidikan. Surya memiliki peran penting dan terlibat aktif dalam proses membangun Prodi yang hingga kini banyak diminati oleh mahasiswa itu.
Tak hanya melahirkan Prodi tersebut, Surya juga rupanya kembali mencetuskan salah satu fakultas yang kini diisi tiga Prodi. Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang berdiri pada 2009 ini rupanya merupakan hasil gagasan dirinya, yang ingin melihat potensi lain para mahasiswa.
Dengan alasan bahwa banyak mahasiswa yang menyukai Bahasa Inggris. Namun, tak semua mahasiswa tertarik untuk menjadi seorang guru. Dasar itulah, dirinya menggarap FIB terkhusus Prodi Sastra Inggris. Meski berdiri pada tahun 2009, Surya mengaku telah mengawal kelahiran FIB sejak 2005 dengan segala lika-likunya.
Dari perjalanannya sebagai seorang dosen, Surya juga telah menjadi Ketua 1 Bidang Akademik (saat ini bernama Wakil Dekan 1). Tak ayal bertetap di jabatan itu, Rektor menunjuk Surya menjabat jadi Dekan yang kala itu namanya Ketua FIB. Terlebih, Surya masa itu juga merangkap sebagai Kepala UPT Bahasa Unmul.
Bukannya merasa penat karena banyaknya tugas dan tanggungjawab yang harus dikerjakan, Surya justru merasa bahwa semua hal tersebut sangat dinikmatinya. Hal itu lantaran dirinya yang melihat mahasiswanya FIB kian banyak, dari situlah pelan-pelan FIB bertambah kuat dan banyak diminati dibawah kepemimpinannya.
Perjalanan panjang serta perjuangan Surya itu ia ceritakan di ruangan yang dipenuhi koleksi perangko yang ia kumpulkan kala berkuliah di negeri Paman Sam itu. Hingga pada 2019, dengan nada sedikit sendu ia berucap jika itu merupakan tahun terakhir dirinya menjadi dosen tetap di Unmul.
Alih-alih menikmati masa pensiunnya, Surya justru kini masih tetap mengajar sebagai dosen. Karena masih ingin mengajar dan tidak bisa berhenti mengajar, Surya kini menyandang status Dosen Luar Biasa. Atas kecintaannya terhadap dunia belajar mengajar itulah ia merasa rugi jika tidak membagikan ilmunya kepada mahasiswa secara maksimal.
“Rasanya saya telalu (rugi) kalau tidak berbagi ilmu. Karena yaa itu tadi, kesenangan saya itu ketemu dengan mahasiswa, sharing dengan mahasiswa itu salah satu yang buat saya bahagia,” tutur Surya disebelah jendela rumahnya yang dipenuhi pandangan hijau pepohonan.
Ia juga mengenang, kerap kali mengajak mahasiswanya untuk belajar di pendopo kayu besar yang berada di halaman rumahnya. Sembari menunjukkan letak pendoponya, Surya mengaku mahasiswa yang belajar di luar kelas justru merasa rileks dan cenderung mendapatkan nilai lebih tinggi dari biasanya.
Berbeda seperti dulu, ia melihat fenomena learning lost pada proses belajar mengajar saat ini. Hal itu merata dari pendidikan dini hingga perguruan tinggi ada kualitas belajar yang hilang. Cara dan budaya belajarnya yang hilang karena tidak ada pertemuan tatap muka. Hal itulah yang menurutnya harus segara diatasi.
Selain kepada mahasiswa, Surya juga sering mengumpulkan anak-anak di sekitar Rumah Ulin untuk dibacakan cerita dan mendorong mereka mengasah critical thinking. Hal itu penting untuk memberi mereka kecintaan dalam membaca. Hal itu juga yang membuat dirinya dipercaya menjadi Ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak Indonesia (KPBA).
Beranjak dari urusan di Unmul, Surya juga mengingat kembali bahwa diriya juga pernah membagikan ilmunya selama dua tahun sebagai dosen di Universitas Widyagama Mahakam Samarinda yang kala itu baru saja berdiri.
Ditanya mengenai siapa sosok yang mendukung dan memotivasi dirinya untuk menapaki karier sebagai seorang dosen, Surya mengaku keluarga merupakan sistem pendukung utamanya. Orang tua dan suami adalah orang di balik kesuksesan Surya saat ini.
Surya juga menuang harapan pada generasi yang ingin menjadi tenaga pengajar seperti dirinya. Ia mengungkap jika menjadi dosen bukan hanya memberikan ilmunya saja, tapi sentuhan humanisme ke kolega dan mahasiswa juga menjadi faktor penting proses pengajaran yang sehat.
“Totalitas (sebagai dosen) itu penting. Kalau mau jadi dosen harus bertanggungjawab dengan keilmuan itu wajib, hal itu agar mahasiswanya dapat yang terbaik,” tutupnya. (fzn/khn)