Resensi

Petualangan Menangkap Petir: Impian di Hidup dan Legenda Dari Tanah Jawa

Poster film Petualangan Menangkap Petir

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


(Sumber foto: Gilafilm.id)

Sutradara    : Kuntz Agus

Produser     : Abimana Aryasatya

Penulis Naskah: Eddie Cahyono dan Jujur Pranoto

Pemeran     : Bima Azriel, Darius Sinathrya, Putri Ayudya, Slamet Rahardjo, Fatih Unru, Zara Leola, Jidate Ahmad, Danang Parikesit, Abimana Aryastyo, Arie Kriting

Rumah Produksi : Four Clours Community

Tanggal Rilis   : 30 Agustus 2018

Seperti tahun-tahun sebelumnya, jumlah film anak di Indonesia masih belum banyak diproduksi oleh rumah produksi film lokal. Menurut data Lembaga Sensor Film (LSF), tercatat hanya 22 film dari 201 film yang ditayangkan memiliki kategori Semua Umur (SU) pada periode 2017 hingga awal 2018. Bahkan, tidak seluruhnya tayang di layar lebar secara nasional.

Karena hal inilah Abimana Aryasatya berinisiatif memproduksi sebuah film anak berjudul Petualangan  Menangkap Petir. Dibantu Kuntz Agus selaku sutradara, serta Eddie Cahyono dan Jujur Pranoto selaku penulis naskah. Film anak ini juga disisipi dengan beberapa adegan dari salah satu kisah legendaris Ki Ageng Selo yang di juluki sebagai penangkap petir.

Petualangan  Menangkap Petir mengisahkan tentang Sterling, seorang anak yang tidak memiliki teman dan hanya bermain serta tumbuh dengan media sosial. Di usia yang terbilang sangatlah muda, Sterling sudah memiliki ribuan subscriber.

Suatu ketika, kedua orangtua Sterling, Mahesa dan Beth, memutuskan untuk pindah dari Hong Kong ke Jakarta. Tetapi, sebelum pindah ke Jakarta kedua orantua Sterling menginginkan agar Sterling mau untuk berlibur terlebih dahulu ke Boyolali, tempat eyang Sterling berada.

Awalnya, Sterling merasa suntuk dan tidak nyaman setelah meninggalkan Hong Kong dan tinggal di kawasan pegunungan Merapi. Seiring berjalannya waktu, Sterling bertemu dengan teman-teman barunya yakni, Gianto/Jayen, Neta, Wawan, dan Kuncoro. Karena pertemuan dengan teman baru ini pun membuat Sterling akhirnya nyaman dan betah berada di pedesaan ini. Momen ini memberikan pengalaman baru untuk Sterling, mulai dari betapa menyenangkannya memiliki banyak teman, bermain kotor-kotoran, dan melakukan permainan masa kecil yang tidak pernah dia tahu dan mainkan di Hong Kong.

Didorong oleh keinginan Jayen untuk menjadi bintang film, Sterling dan teman-teman barunya berencana membuat film yang diangkat dari kisah Ki Ageng Selo dengan bantuan Arifin dan Kriwil. Unsur dalam film ini pun tidak hanya mengambil unsur kearifan lokal saja melainkan juga fokus pada isu digital yang sedang marak terjadi.

Dewasa ini, anak-anak generasi digital yang lebih mementingkan unsur yang ada di dalam gadget-nya daripada berinteraksi secara langsung dengan teman-teman sebayanya. Menganggap teman dunia maya sebagai teman baiknya dibanding teman yang ada di sekitarnya.

Isu digital ini sangat tampak terlihat saat Sterling ditanya oleh eyangnya, apakah dia memiliki teman dekat atau tidak. Sterling pun membanggakan di depan eyangnya bahwa ia memiliki teman ribuan. Padahal yang kita tahu, sebanyak apapun teman yang dimiliki di dunia maya, tidak akan sebanding dengan teman yang ada di kehidupan nyata.

Sebenarnya, alur film ini sangat simpel dan tidak ada istimewanya. Hanya saja karena mengangkat tema isu digital yang terjadi saat ini, membuat film ini menjadi lebih dekat dengan kehidupan yang terjadi di lingkaran kehidupan kita. Konfliknya pun bukan hanya sebatas kebimbangan Sterling yang jauh dari media sosialnya, namun ada kedinamisan hubungan antara ibu dan anak. Konflik tersebut memberikan sisi lain seorang ibu yang berupaya mengarahkan, memahami keinginan dan membuat anaknya bahagia.

Jika ingin disimpulkan, banyak sekali pesan moral yang sengaja dihadirkan dalam film ini. Penonton diajak lebih mengenal salah satu legenda dari tanah Jawa era Mataram Islam yakni cerita penangkap petir yang merupakan julukan dari Ki Ageng Selo. Naskahnya pun ditulis sesuai realita, hal ini yang membuat penonton menikmati alur yang ada dalam film ini.

Ditulis oleh Fitrie Amelia mahasiswi Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya 2017



Kolom Komentar

Share this article