Resensi

Gunjan Saxena: The Kargil Girl, Ketimpangan Gender Itu Ada di Ruang Ganti

Perjuangan perempuan di tengah ketimpangan gender India.

Sumber Gambar: images.hindustantimes.com

SKETSA – Siang itu aku hendak berleha-leha, mencari hiburan pada platform menonton anak muda, Netflix. Drama Korea memenuhi posisi teratas. Namun, poster gadis India bertuliskan Gunjan Saxena: The Kargil Girl, yang tayang 2020 lalu menuntunku melihatnya lebih jauh.

Biopik yang disutradarai oleh Sharan Sharma ini mengawali cerita melalui gadis kecil yang terobsesi dengan miniatur pesawat. Tiap detiknya diisi dengan impian terbang jauh ke sisi dunia yang lain. Gunjan Saxena atau Gunju (diperankan oleh Janhvi Kapoor) tumbuh menjadi perempuan teguh pendirian dan tak pantang menyerah semasa sekolah agar nilainya dapat membantu dirinya meraih apa yang ia mau.

Mimpinya bukan angin lalu bak gadis kecil yang tiba dewasa mengalah, bersisian dengan cemooh orang lain. Ia, kuat menuntun tekadnya bermodal semangat dari sang Ayah (Pankaj Triptahi). Sekalipun kakak laki-lakinya, Anshuman (Angad Bedi) dan ibunya (Ayesha Raza Mishra) kerap meragukan impiannya menjadi pilot.

Jika pesawat tak peduli siapa yang menerbangkannya, kenapa kau peduli?

Dialog yang dituturkan sang ayah itu terucap usai Anshuman merendahkan Gunju yang tak mungkin bisa menjadi pilot, sebab ia perempuan. Dialog yang memotivasi Gunju dalam film berdurasi 1 jam 52 menit itu membuatku bergidik. Pasalnya, India menjadi negara yang masih berkutat pada ketimpangan gender, pun kelas sosial. Itu tercermin dari World Economic Forum yang beberkan bahwa India berada di peringkat 140 dari 156 negara dengan ketidaksetaraan gender pada April 2021 lalu.

Usai menamatkan sekolah, ia tak berniat kuliah, karena sekolah penerbangan di Delhi lebih menarik baginya. Namun, peruntungannya itu nihil. Tak sekali dua kali ia gagal dalam kesempatan yang memperbesar potensinya jadi awak pesawat. Akhirnya ia terpaksa melanjutkan kuliah.

Ayahnya bukannya acuh, ia mendorong putrinya untuk mendaftar di angkatan udara (AU) India. Gunju mulai habis tenaga dan kepercayaan. Saat itu, ia harus mengikuti seleksi ketat. Lantas satu persatu ia taklukan, hingga berhasil singkirkan kandidat lain. Meski begitu, di penghujung seleksi, berat hati ia harus menerima fakta bahwa berat badannya melebihi persyaratan.

Itu membuat Gunju harus kembali ajukan banding dua minggu ke depan untuk membuktikan bahwa ia pantas masuk jadi bagian AU India. Kali ini, nasib baik adalah miliknya. Ia lolos menjadi satu-satunya perempuan di angkatan udara.

Semangatnya membuncah, namun ekspektasinya luluh lantak. Sebab, meski menjadi opsir perempuan pertama di pangkalan Udhampur, dirinya terasing. Segala sudut seolah hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Profesi yang akan ia arungi, nyatanya mengerdilkan dirinya sebagai perempuan.

Bagaimana tidak, perkara ganti baju saja, Gunju harus kelabakan menyusuri lorong mencari ruang ganti khusus perempuan. Waktu sepuluh menit itu tak cukup untuknya berganti pakaian serta lanjut berlatih menambah jam terbang. Hari kedua dan ketiga ia habis-habisan dimarahi karena dinilai manja dan tak kompeten. Hari berikutnya, tak habis akal, ia membuat ruang ganti bermodal lemari yang dimepetkannya di ruangan yang disesaki laki-laki. Gunju makin jadi pusat perhatian.

Sebab selalu di posisi terakhir dengan jam terbang minim, komandannya (diperankan oleh Manoj Vij), mengajaknya terbang bersama dan melatih Gunju jadi sosok piawai. Alhasil, ia menyabet penghargaan opsir terbaik dengan jam terbang terbanyak. Bak maju kena mundur kena, pencapaian Gunju membawanya jadi bulan-bulanan opsir laki-laki. Kesal diperlakukan demikian, ia pulang dan hendak menyudahi profesinya itu.

Kegamangannya tak berlangsung lama, surat pengunduran dirinya ditolak dan dirinya harus ikut berperang menjaga India. Singkat cerita, dengan kapabilitasnya, ia menaklukkan musuh, dan kontribusinya diakui di pangkalan Udhampur.

Berangkat dari hidup Gunju membuatku bercermin atas keadilan gender di Indonesia sendiri. Isu yang tak sudah-sudahnya dibahas di negara berkembang. Film ini dibarengi sinematografi apik. Meski tetap dibumbui dengan ciri khas India, yakni tarian dan musik. Kelebihan dalam film ini ialah aktor mampu membangun penokohan, utamanya kedekatan Gunju dan sang Ayah.

Film ini turut memotret sedikit bagian dari budaya India seperti perayaan, mulai dari kelulusan juga pernikahan. Realitas kehidupan perempuan di India tergambar dari lelahnya Gunju menelan ekspektasi bahwa dirinya menjadi warga India 'kelas dua' saat menggapai mimpinya.

Maskulinitas sebenarnya sudah amat tergambar dari dialog-dialog internal keluarga, di mana ayah dan kakaknya dijadikan perspektif dominan saat menit awal, dalam melihat apa yang mampu dan tidak mampu Gunju kerjakan. Belum lagi ketidakpunyaan wawasan sang ibu untuk mendukung karier si anak, karena menganggap Gunju harus piawai urusan domestik.

Jatah untuk opsir perempuan pun, meski untuk pertama kalinya, dibuka dan diberikan hanya untuk satu orang. Putus asanya Gunju dalam film ini, tak jauh-jauh dari gambaran perempuan India: ingin menikah saja dan meninggalkan karier yang baru ditapakinya.

Gunjan Saxena: The Kargil Girl setidaknya menawarkan penonton sudut pandang segar 'menghadapi' patriarki. Walaupun biopik ini berasal dari kisah semasa 1999, rasanya masih begitu terasa hari ini. Bahkan fakta bahwa ibunya hanya ingin Gunju menikah dan memasak untuk suami, menambah deret kepedihan cuplikan timpangnya kesempatan bagi perempuan. Serta edukasi bahwa perempuan lebih dari layak untuk mengisi beragam profesi.

Lebih lanjut, peran ayah yang dominan dengan komentae-komentar meneduhkan dalam film ini menghidupkan kesadaran penonton. Seakan ikut memberi pesan bahwa keadilan gender bisa direngkuh oleh siapa saja, tak hanya dari dan oleh perempuan.

Meski tak dimungkiri, sosok Gunju bagiku tak diberi banyak dialog yang menegaskan keengganannya apabila dihadapkan pada situasi yang tak disuka. Gunju, sebagai perempuan merdeka, lebih sering diam dalam film ini, atau diberi adegan-adegan “ngambek” serta terpaku. Itu seakan menegaskan pandangan masyarakat bahwa seperti itulah perempuan.

Hal itu masih dapat ditolerir, sebab terbantu dengan penjelasan "tak terucap" seperti gestur aktor-aktor yang coba bercerita pada penonton, bagaimana sulitnya menjadi Gunju, sampai ia kerap terpaku.

Bagaimana, tertarik mengarungi kisah hidup Gunju dalam Gunjan Saxena: The Kargil Girl? (rst/khn)



Kolom Komentar

Share this article