Resensi

Film Yuni: Sulitnya Perempuan Menentukan Pilihannya

Film Yuni sampaikan bahwa perempuan bebas dalam memilih, mereka juga berhak untuk menyampaikan pendapatnya.

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


Sumber Gambar: Starvision.com

SKETSA - Lampu terang yang berpijar pada ruangan bioskop seketika padam, menandakan film Yuni akan segera dimulai pemutarannya. Bioskop ini seakan jadi milik sendiri lantaran sepi penonton dan menyisakan bangku-bangku kosong. Di pembukaannya, senyum semringah mengisi wajah penonton, lantaran adegan pertama film ini menyuguhkan seorang gadis tengah mengenakan pakaian dalam yang serba ungu, kemudian melapisinya dengan seragam anak sekolah menengah. 

Film Yuni yang rilis pada Kamis (9/12) lalu, memang paling dinanti para pecinta film tanah air. Kompas.com menyebut film ini telah mendapatkan banyak penghargaan. Sebut seperti Film International Toronto, lalu masuk pula pada seleksi Oscar 2022, dan memanen 14 nominasi Piala Citra. Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang membanggakan bagi perfilman Indonesia.

Yuni bukanlah film romansa Romeo dan Juliet. Tetapi film ini menceritakan potret kehidupan seorang gadis  SMA yang terjerat budaya patriaki di lingkungannya. Di tengah gelapnya ruang teater film itu penonton menyaksikan Yuni yang berusaha untuk mendapatkan beasiswa agar dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Sempat terasa aneh saat mendengar cara Yuni berkomunikasi dengan pemain lain, mereka seperti memadukan Bahasa Sunda dan Jawa menjadi satu. Dalam bahasanya terdapat “aing”  berarti aku dalam Bahasa Sunda. Kemudian kata “didelengi” artinya dilihat dalam Bahasa Jawa, dan masih banyak lagi bahasa campuran Sunda-Jawa itu. Penonton awam tersadar bahasa yang dipakai dalam Film Yuni merupakan Bahasa Jawa Serang. Bahasa yang cukup jarang diangkat lewat film. Film Yuni menjadi angin segar bagi para penikmat film dengan menawarkan keragaman budaya.

Riuh gelak tawa penonton mengisi ruangan bioskop, tawa itu muncul lantaran adegan kawan tokoh utama selalu menampilkan kelakuan konyolnya. Selain teman dengan tingkah kocaknya, Yuni juga membuat penonton geleng-geleng kepala, sebab kecintaannya terhadap sesuatu yang berwarna ungu sangat menggebu-gebu. Bahkan ia sempat mencuri ikat rambut ungu milik teman kelasnya yang menyebabkan dirinya masuk kantor guru.

Sosok Yuni rupanya menjadi daya tarik bagi beberapa pria. Bahkan penonton dibuat heran melihat Yuni dilamar pria hingga dua kali.

Lamaran pertama datang dari pria yang memantapkan tekadnya. Sedang lamaran kedua datang dari seorang pria tua yang sudah memiliki istri, namun ingin memad Yuni jadi istri. Kedua lamaran pun ditolak mentah-mentah oleh Yuni sebab ia tidak mengenal baik mereka, dan juga persyaratan beasiswanya melarang ia menikah.

Kendati demikian, Yuni harus menelan stigma bahwa seorang gadis tidak boleh menolak lamaran sebanyak tiga kali. Hal yang dapat disimpulkan Yuni wajib menerima jika seorang laki-laki datang meminangnya untuk ketiga kalinya. Lantas jalan mana yang dia pilih? Keraguan mulai dirasakan Yuni, dilema untuk memperjuangkan beasiswa dan menerima lamaran yang telah jadi tradisi harus dialaminya saat belia.

Film ini seakan membawa penonton masuk ke dalam alur ceritanya, banyak hal yang tidak terduga bermunculan di setiap adegannya. Detailnya apik, juga para aktornya bermain dengan totalitas dan patut diacungi jempol. Meski menggunakan bahasa daerah tak familier, hal tersebut justru memberikan gambaran baru tentang budaya Indonesia yang jarang terekspos.

Pesan tersirat di film ini pasti akan sangat membekas bagi para penontonnya, terlebih lagi kepada para perempuan. Dari sini tergambar dengan jelas bahwa perempuan jadi sosok yang paling tertekan dalam memilih jalannya. Mereka seakan hanya disuguhkan dan bisa memilih satu jalan. Bahkan tidak sedikit perempuan dipaksa memilih jalan yang diinginkan dari orang terdekatnya, tanpa mendengar apa yang diinginkan dari yang bersangkutan.

Film Yuni menawarkan potret baru dalam memahami dunia remaja. Juga ingin menyampaikan bahwa perempuan bebas dalam memilih, mereka juga berhak untuk menyampaikan pendapatnya. Maka dari itu film ini mengajarkan perempuan untuk tidak terbelenggu dalam budaya patriaki. Perempuan seharusnya dapat dengan bebas menentukan pilihan yang diambilnya. Pesan ini disampaikan secara tegas namun tak menggurui lewat film ini. (vyn/nkh)




Kolom Komentar

Share this article