Agama Saya Adalah Jurnalisme: Pentingnya Independensi Seorang Wartawan
Resensi buku Andreas Harsono berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme, tuangkan “makna” jurnalisme yang sesungguhnya untuk masyarakat.
- 20 Jan 2022
- Komentar
- 2157 Kali
Sumber Gambar: Fauzan/Sketsa
“Kalau misalnya ditanya juga soal agama saya, saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme.”
Itulah tuturan Andreas Harsono, dalam bukunya berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme. Jurnalis senior yang pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa media bergengsi, baik pada skala nasional mau pun internasional ini menuangkan banyak kisahnya dalam buku tersebut.
Karya yang disebut Harsono sebagai “buku-bukuan” ini harus diberikan apresiasi besar. Bagaimana tidak, setiap lapisan kertas yang tergores tinta ini diisi untaian kalimat penuh makna. Lebih tepatnya buku ini menuangkan “makna” jurnalisme yang sesungguhnya untuk masyarakat.
Usut punya usut, pria yang pernah mendapatkan Nieman Fellowship on Journalism dari Universitas Harvard ini, menulis semua isi buku dari jawaban-jawabannya atas pertanyaan yang pernah dibalasnya pada mailing list majalah Pantau ketika ia menjadi Redaktur di sana. Tak heran, semua naskah dalam tulisan ini unjuk gigi dengan format orisinil berupa surat, esai, hingga feature.
Buku bersampul merah dengan aksen hitam ini tersusun dalam empat tema besar. Di antaranya laku wartawan (code of conduct), penulisan (writing), dinamika ruang redaksi (newsroom diversity) serta liputan (reporting). Klasifikasi tersebut membuat pembaca memahami secara mendalam setiap tajuk-tajuk yang disuguhkan.
Pada tema pertama mengenai laku wartawan, kita akan menemukan beragam pembahasan mengenai bagaimana potret laku wartawan yang sesungguhnya. Dibahas pula mengenai pengertian, fungsi, tugas, jenis, tujuan hingga etika wartawan ketika bekerja.
Pada bagian itu, pembaca akan melihat lebih jauh sosok wartawan sesungguhnya yang punya tanggung jawab sosial dan tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di tempat mereka bekerja.
Beranjak ke tema kedua mengenai penulisan, pembaca akan menemukan beragam pembahasan menarik. Misalnya mengenai esensi jurnalisme. Harsono dengan tegas mengatakan bahwa esensi jurnalisme adalah verifikasi, semua keterangan harus disaring untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Kita juga akan menemukan bahwa menulis perlu tahu dan berani. Harsono membagikan pengalamannya terkait penulisan feature. Tak dapat dimungkiri bahwa kebanyakan wartawan ketika menulis feature biografi seseorang hanya berpatok pada si sosok itu saja sebagai sumber. Padahal, wartawan bisa melihat sosok tersebut dari sudut pandang orang lain.
Pendapat Harsono, untuk mendapatkan tulisan yang ciamik, seorang wartawan harus senantiasa membaca, termasuk karya-karya rujukan agar mampu mengikuti perkembangan dalam teknik peliputan.
Jika membaca lebih jauh buku besutan murid dari jurnalis terkenal Bill Kovach (penulis sembilan elemen jurnalisme) yang juga menjadi kiblat para wartawan ini, kita akan terbawa hanyut hingga tema ketiga. Dinamika ruang redaksi, yang banyak menjadi persoalan di industri media.
Harsono banyak membahas terkait polemik yang kerap terjadi di ruang redaksi. Misalnya saja terkait unsur kecepatan dan ketepatan yang kerap kali menjadi perdebatan. Unsur kecepatan memang sangat penting, namun seorang wartawan juga tidak boleh melupakan proses verifikasi untuk membongkar fakta demi fakta.
Ia juga menegaskan kala seorang wartawan melakukan kesalahan kecil maupun fatal, maka kesalahan tersebut merupakan tanggung jawab penuh pimpinan redaksi. Maka kerja jurnalis juga perlu diawasi secara detil oleh redaktur, sebab bagaimanapun redaktur akan bertanggungjawab jika ada gugatan terhadap kinerja jurnalistik wartawannya.
“Peliputan” menjadi tema terakhir yang dibahas penulis dalam buku ini. Bagian menarik pada tema ini terletak pada pembahasan mengenai cara melihat baik buruknya wartawan. Bagi Harsono, kita akan mengetahui seorang wartawan yang baik saat melakukan wawancara ketika dia mendapati rasa ingin tahu dari audiens. Utamanya dia harus sopan.
Selain itu, seorang wartawan juga harus siap dengan pemahaman bahan, menggali informasi sebanyak-banyaknya, dan yang terpenting ia tidak bernada menghakimi. Seorang wartawan juga harus rendah hati dan tidak menunjukkan kesan sok tahu, sok pamer, dan sok pintar.
Secara keseluruhan buku ini membuat pembaca enggan menuntaskan bacaan secara terburu-buru. Sebab, buku ini sangat nyaman dibaca lembar demi lembar, topik ke topik, dan sangat disarankan jika membacanya secara komprehensif.
Buku ini sangat penting dimiliki para wartawan sebagai rujukan. Pasalnya, buku ini mampu membantu para wartawan dan masyarakat untuk lebih mengerti pentingnya independensi jurnalisme terutama untuk konsolidasi demokrasi. (fzn/khn)