Reportase

Upaya Satpam Unmul Atasi Penyusup

Papan larangan bertuliskan dilarang memancing di sekitar kolam, juga sudah terpasang. Namun, seringnya para pemancing itu memilih tak menggubris. (Foto: Wahid Tawaqal)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Senin pekan lalu, Unmul tampak seperti biasa. Riuh dan penuh. Mahasiswa dan dosen lalu-lalang melintasi jalan, bergegas untuk hal-hal baru yang akan dimulai. Pada pagi hari itu, Doni, pria berusia 30 tahun bergerak santai dengan laju pertama awal pekan. Ia memilih pergi memancing di kolam Unmul.

“Kalau negur sih tidak pernah, tahu semua orang dengan saya, teman-teman (sekuriti) di sini lama semua jadi kenal semua. Ada di gang saya sekuriti di sini juga,” ujarnya kepada Sketsa.

Doni bukan pemancing kemarin sore, ia tahu apa yang tersembunyi di dalam kolam Unmul. Ada nila, gabus, dan lele. Ukurannya cukup besar, bahkan dia pernah mendapat ikan nila sebesar telapak tangan orang dewasa. Sementara, ikan berukuran kecil sering ia kembangbiakkan lagi di rumah. Memeliharanya di akuarium yang terhubung dengan oksigen. Ikan kecil itu, ia jual lagi dan dibeli anak kecil dengan harga Rp5 ribu untuk 10 atau 20 ikan.

“Saya pernah dapat ikan gabus sebesar lengan orang dewasa, itu langsung digoreng. Padahal umpannya pakai cacing aja,” kisahnya.

Doni sempat mengenang, bagaimana dulu kolam Unmul termasuk kawasan yang terawat. Memiliki air mancur yang berfungsi dengan baik, ikan dan kura-kura hidup di dalamnya. Untuk mancing pun menjadi mudah. Lalu, pernah pula seorang kawannya iseng berenang di dalam kolam. Namun, berakhir sial karena kakinya terinjak beling di dasar kolam. Kenang-kenangan menyenangkan seperti itu yang masih dipelihara oleh orang-orang seperti Doni. Yaitu, orang yang mengikuti kolam Unmul dari semula baik hingga tak terurus.

Melalaikan Bahaya Aliran Listrik

Kehadiran pemancing seperti Doni sebenarnya terlarang. Papan larangan bertuliskan dilarang memancing di sekitar kolam, juga sudah terpasang. Namun, seringnya para pemancing itu memilih tak menggubris. Jadi, terpaksa petugas keamanan Unmul yang dituntut rutin mengecek kolam, guna memastikan ataupun mengusir para penyusup itu.

Solihin dan Dwi Haryanto adalah dua satpam yang berkali-kali bertemu dengan para pemancing. Mereka pun mesti menjalankan tugasnya, jika melihat pemancing, segeralah mereka mengusirnya.

"Kadang ada lima orang dalam satu kolam. Cuma sebenarnya enggak harus satpam juga yang menegur. Mahasiswa juga bisa,” kata Solihin.

Sore ketika Sketsa menemui keduanya pada akhir pekan pertengahan Februari lalu, keduanya sedang membersihkan rumput-rumput liar di sekitar Pos Satpam Rektorat. Sekitar 20 menit sebelum itu, Solihin telah melakukan patroli ke kolam Unmul dan tak menemukan pemancing atau anak kecil yang berenang.

Berdasarkan pengalamannya selama ini, Solihin mengatakan, intensitas kemunculan antara anak kecil yang berenang dan pemancing sebenarnya sama. Kedua subjek ini bertipikal sama: datang hari ini, diusir pergi, di waktu yang tak menentu akan datang lagi. Seakan memang tidak ada efek jera.

Komplotan anak kecil yang berenang di kolam Unmul ialah bocah yang sama. Solihin menakar, bocah-bocah ini merupakan anak gang yang tinggal di balik bangunan toko di seberang Unmul. Perkaranya, bocah ini berenang bukan cuma di air yang tak sehat, tetapi juga aliran listrik yang berada di sekitar kolam. Risiko tersetrum akan menjadi mungkin, jika para bocah ini terus berenang tanpa dilarang.

“Dalam kolam itu sekitar sepinggang orang dewasa. Dasarnya bisa lumpur, tapi itu yang bahaya listrik. Kalau jarang-jarang ya, mungkin enggak kejadian, tapi kalau sering kan mungkin,” katanya.

Dwi menyahut, untungnya para bocah ini tak repot diminta pergi. Asal satpam sudah kelihatan di muka si bocah, maka mereka akan segera keluar sendirinya dari kolam tanpa perlu diteriaki.

Memancing untuk Lauk

Dari segi jumlah, bocah yang berenang dengan pemancing liar, lebih dominan pemancing liar. Jumlah mereka terlalu beragam untuk tidak dikatakan banyak. Beberapa kasus memergoki, baik Dwi dan Solihin tak pernah menemukan orang yang sama.

"Namanya manusia di Samarinda banyak orangnya dan enggak bisa lihat kolam,” seloroh Solihin.

Beberapa dari pemancing yang mereka temui, memiliki alasan memancing di kolam Unmul karena hasil pancingannya hendak dipakai untuk lauk. Biasanya, setelah mendengar tuturan seperti itu mereka jadi lebih maklum. Makin prihatin, jika umpan ikan si pemancing belum ada yang disamba, tetapi sudah harus diminta untuk meninggalkan kolam. Tega atau tidak, tetap saja keduanya meminta si pemancing untuk pergi karena itu merupakan tugas sebagai penjaga keamanan.

“Tapi, ya enggak mungkin kita kasar sama mereka. Namanya ini daerah pendidikan, kita punya etika juga,” ungkap pria yang sudah tujuh tahun menjadi satpam itu.

Selain itu, di antara panjangnya pagar yang melindungi kolam Unmul, ada satu cela yang memang awalnya disediakan sebagai pintu masuk--saat masih terawat. Sehingga, orang yang tak punya niatan memancing atau berenang pun bisa masuk dengan mudah.

Belakangan, Solihin merasa hal itu jadi soal pula. Sebab, terbukanya jalan masuk menuju kolam, maka nyaris tak ada kerepotan berarti untuk pelaku mancing masuk. Padahal, jika cela ikut dipagar, setidaknya bisa membuat para pemancing berpikir dua kali untuk masuk memanjat pagar. (wal/iki/jdj)



Kolom Komentar

Share this article