Reportase

Taji Unmul dalam Men-DO Mahasiswa

Wakil Rektor Bidang Akademik, Mustofa Agung Sardjono. (Foto: Khajjar Rohmah)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Dalam Peraturan Menteri Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 44 Tahun 2015 telah diatur bahwa masa studi mahasiswa strata 1 (S1) adalah maksimum tujuh tahun. Peraturan tersebut menjadi acuan di seluruh perguruan tinggi baik negeri dan swasta. Artinya jika mahasiswa telah melewati masa studi maksimum, maka salah satu konsekuensi yang mesti diterima adalah drop-out (DO).

DO adalah pencabutan status sebagai mahasiswa oleh pihak universitas dikarenakan oleh beberapa hal. Melebihi masa studi menjadi salah satu yang paling mayoritas. Terkait kebijakan dan aturan DO di Unmul sendiri tertuang dalam Buku Peraturan Akademik Tahun 2016 dalam Pasal 6 tentang Beban Studi dan Masa Studi. Di mana mahasiswa S1 maksimum menempuh beban studi lebih kurang 144 satuan kredit semester (SKS) dengan masa studi 8-14 semester.

Ditemui di ruangannya pada 29 Maret lalu Wakil Rektor Bidang Akademik, Mustofa Agung Sardjono menuturkan kepada Sketsa, Unmul sempat menerapkan kebijakan tidak ada DO mahasiswa pada masa rektor dijabat oleh Zamruddin Hasid. Tetapi sebenarnya itu bertentangan dengan aturan masa studi maksimum yang bisa ditempuh oleh seorang mahasiswa. Buntut dari kebijakan tersebut diakuinya menjadi beban di masa sekarang.

“Kebijakan tidak men-DO mahasiswa yang saya denger pada rektor sebelumnya, itu yang jadi beban kami sekarang. Akibat kebijakan itu, di tahun 2015-2016 kami terpaksa men-DO sampe ratusan (mahasiswa),” ujar Guru Besar Fakultas Kehutanan ini.

Ia sendiri tidak setuju dengan kebijakan tidak men-DO mahasiswa. Karena menurutnya kebijakan tersebut akan mengacaukan beberapa sistem lain. Seperti rasio dosen dan mahasiswa yang berpotensi timpang.

Rasio dosen mahasiswa ideal untuk jurusan eksak dan saintek berkisar antara 25-30 mahasiswa dalam satu kelas dengan satu dosen. Sedang untuk jurusan sosial humaniora (soshum) berkisar antara 30-40 mahasiswa. Jika tak ada sistem DO, tentu jumlah mahasiswa akan menumpuk dan tidak sebanding dengan jumlah dosen.

Mustofa pun mengajak untuk tidak melihat kebijakan DO dari sisi negatif. Kebijakan DO juga membawa sisi positif bagi institusi dan mahasiswanya sendiri. Pertama, menertibkan administrasi dan meningkatkan mutu universitas. Kedua menjadi peringatan bagi mahasiswa agar menyelesaikan studi dengan tepat waktu.

Mustofa menjelaskan, pihaknya tidak serta-merta men-DO mahasiswa. Ada tahapan evaluasi sejak tahun pertama hingga ketiga di masa perkuliahan pada akhir semester dua, empat, dan enam. Ia menyebut, di setiap periode pengevaluasian ada persyaratan SKS dan Indesk Prestasi (IP) minimal yang harus dipenuhi mahasiswa.

“Nah dari evaluasi satu, dilihat kalau dia sama sekali tidak punya harapan baiknya memang diajukan untuk di drop-out jika tahun berikutnya ada lagi. Artinya bahwa evaluasi tidak dilakukan pada akhir masa studi saja,” ujarnya. Tujuan dari evaluasi tersebut tambah Mustofa, untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa bersangkutan agar mendaftar lagi di jurusan atau program studi (prodi) yang dirasa lebih cocok.


Musabab DO Mahasiswa

Penyebab DO tidak semata-mata terjadi saat seorang merasa tidak sanggup memenuhi batas maksimum masa studi. Menurut Mustofa, itu bisa saja terjadi saat seorang tidak mampu secara akademik terhitung sejak tahun pertama, kedua, dan ketiga. Di posisi seperti itu supaya tak sampai di DO Mustofa menganjurkan si mahasiswa untuk pindah atau mengundurkan diri.

“Karena kalau sudah mendekati semester yang terakhir baru minta surat pindah biasanya universitas lain tidak mau menerima,” jelas Alumnus Program Doktor, di Hamburg University Jerman itu.

Ia menyayangkan fakultas atau prodi yang masih kerap mempertahankan mahasiswa padahal tahu yang bersangkutan telah gagal memenuhi syarat evaluasi. Fakultas atau prodi itu biasanya memberi bantuan ataupun kesempatan bagi si mahasiswa untuk melakukan perbaikan di semester berikutnya. Hal semacam itu berpotensi menjadi masalah yang membuat mahasiswa di DO karena tak dapat memenuhi prestasi akademiknya dan melewati batas maksimum studi.

Penyebab lain banyaknya mahasiswa di DO lantaran karena alasan kerja. Tak sedikit mahasiswa alih-alih menyelesaikan penelitian akhirnya, justru berkubang dengan kesibukan kerja.

“Kerja jadi alasan yang paling mayoritas kita peroleh. Saya punya data fakultas dan prodi yang mengajukan cuti akademik paling banyak. Salah satunya FISIP HI. Alasannya mahasiswanya sendiri yang banyak kerja,” sebut Mustofa.

Ada lagi masalah administratif yang menjadi penyebab DO mahasiswa. Ia menyebut, dulu beberapa fakultas seperti FISIP dan FKIP pernah membuat kelas jauh. Yang dimaksud kelas jauh adalah membuka kelas perkuliahan di beberapa daerah seperti Balikpapan dan Kutai Barat. Itu membuat Unmul sulit mengontrolnya dan secara administratif kelas jauh termasuk ilegal.

Juni 2017 nanti menjadi batas waktu masa studi bagi mahasiswa angkatan 2010. Jika mahasiswa bersangkutan tak mampu menyelesaikan masa studinya sampai batas waktu tersebut, maka DO akan menjadi konsekuensi paling buruk yang mesti ditanggung. Namun, Mustofa memberikan opsi lain. Ia dan pihaknya mengimbau ke seluruh fakultas untuk mengingatkan mahasiswa angkatan 2010 supaya mengajukan cuti akademik jika dirasa tidak mampu menyelesaikan studi sampai dengan Juni 2017 ini.  

Hal itu ditujukan untuk memperpanjang napas mahasiswa angkatan 2010 agar tak sampai kena DO.

“Kalau ambil cuti satu semester masih ada waktu sampai Desember 2017. Kalau ambil cuti maksimal dua semester bisa sampai Juni 2018,” terang Mustofa.

Universitas hanya akan men-DO mahasiswa setelah mendapat usulan dari fakultas. Mustofa sendiri tidak mengetahui angka pasti berapa mahasiswa yang di-DO setiap tahunnya. Namun tahun ini saja kabarnya, FISIP akan men-DO sekitar 350 mahasiswanya. Meski begitu Mustofa ingin menegaskan bahwa yang men-DO mahasiswa bukan universitas ataupun fakultas, melainkan peraturan yang telah berlaku.

Kebijakan DO mahasiswa di Unmul ini juga, kata Mustofa, baik untuk memperbaiki citra yang pernah melekat di Unmul sebagai "universitas mudah lulus". Namun terlalu banyak men-DO mahasiswa juga berarti citra buruk bagi universitas. Ia menyatakan saat ini Unmul memilik persentase yang termasuk tinggi dalam men-DO mahasiswa yaitu 14,6 persen dari total jumlah mahasiswa.

Guna memperbaiki hal itu Mustofa akan meningkatkan sistem penerimaan mahasiswa baru dengan meningkatkan kembali kriteria penerimaan. Salah duanya adalah akreditasi sekolah dan tes kemampuan berbahasa Inggris. Hal itu diharapkan dapat meningkatkan kualitas mahasiswa Unmul dan lulusannya dalam mendukung visi Unmul untuk menjadi world class university. (krv/ann/wal)




Kolom Komentar

Share this article