Reportase

Pandangan Mereka yang Memikul UKT Golongan Atas

Pandangan mahasiswa yang memikul UKT golongan atas. (Sumber ilustrasi: indiatimes.com)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


SKETSA - Sejak sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) berlaku di Unmul pada 2013 lalu, suara mahasiswa yang merasa keberatan acap kali nyaring terdengar. Mereka merasa biaya kuliah per semester yang terbayar, kurang sebanding dengan fasilitas perkuliahan yang didapat.

Masuk tahun keempat bergulirnya sistem UKT, Sketsa coba menelisik tanggapan mahasiswa terhadap fasilitas penunjang perkuliahan di kampus mereka masing-masing. Narasumber yang disasar memiliki dua kategori khusus: berasal dari bidang saintek dan soshum, serta mendapat golongan UKT “golongan atas”. Dua mahasiswa diwarta Sketsa untuk menyuarakan argumennya.

Salah satu mahasiswi Fakultas Pertanian (Faperta) prodi Agroekoteknologi 2014, Ade Mutiara angkat bicara perihal nominal UKT. Ia mendapat golongan IV yang mana merupakan golongan tertinggi di Faperta saat itu (2014) dengan nominal UKT Rp4 juta per semester. Ade memberikan komparasi UKT yang dirinya bayar dengan fasilitas penunjang perkuliahan yang didapat.

“Kalau untuk saya pribadi cukup terbebani. Karena biaya kuliah murni dari orang tua, meski orang tua menyanggupi. Akan tetapi masih banyak keperluan lain yang harus orang tua saya tanggung. Apalagi saya masih memiliki dua adik lagi yang harus dibiayai,” katanya. “Sekadar info, untuk Prodi Agroekoteknologi hanya dua orang saja yang nominal UKT golongan IV. Saya dan salah satu teman saya.”

Pun demikian, Ade tetap merasa nominal UKT yang dibayarkan cukup sepadan dengan fasilitas penunjang perkuliahan yang diperoleh. “Sudah lumayan cukup, hanya fasilitas di kelas yang kurang. Kadang suka panas kalau beberapa kelas digabung dalam satu ruangan. Kipas anginnya tidak nyala semua, sehingga kurang efektif jika beberapa kelas digabung dalam satu ruangan,” tuturnya.

Pembenahan mulai dari kursi, papan tulis, meja kuliah, hingga kipas angin sudah mulai ditambah jumlahnya. Untuk fasilitas lain semisal toilet, pembenahan masih terus dilakukan oleh pihak kampus. “Untuk toiletnya lumayan bersih, airnya tersedia terus,” ujarnya. Hal seperti inilah, menurutnya, yang memicu kesadaran mahasiswa untuk bersama-sama menjaga kebersihan.

Ketika disinggung pengembangan fasilitas kampus selama kurun empat tahun terakhir (sejak UKT diberlakukan), ia cukup merasakan adanya pembenahan fasilitas kampus sedikit demi sedikit. Ade berharap dekan Faperta yang baru terpilih, Rusdiansyah, dapat lebih meningkatkan fasilitas perkuliahan agar semakin baik ke depannya.

Masalah Ketersediaan Proyektor

Kata serupa tapi tak sama terlontar dari mulut Denni Ilham Pratama, mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), prodi Sastra Inggris 2014. Nominal UKT yang dipikul Denni dari golongan V—juga golongan tertinggi—di FIB dengan biaya sebesar Rp4 juta per semester.

“Sebenarnya sempat merasa terbebani. Semester lalu juga sempat mengadu (keberatan UKT) pada dekan FIB untuk diturunkan, tapi kata beliau sudah tidak bisa turun lagi,” keluh Denni. Meskipun keberatan, dirinya tetap senada dengan Ade tentang fasilitas penunjang perkuliahan yang cukup berkembang. Tetapi, ada satu fasilitas yang dirasa amat kurang di FIB yakni ketersediaan proyektor.

“Yang masih kurang itu masalah proyektor. Masih banyak proyektor yang rusak dan jumlahnya pun terbatas. Di kelas saya, kalau mau presentasi atau dosen memang membutuhkan proyektor. Nah, saat seperti itu sering banget dapat proyektor yang rusak, bahkan bisa tidak kebagian proyektor sama sekali,” sorot Denni. (dan/cin/pil/lbn/amr/wal) 



Kolom Komentar

Share this article