Press Release

Peringatan Hari Toleransi Internasional: Humanawa Buka Bincang Tentang Eksistensi Toleransi

Memperingati Hari Toleransi Internasional 2023 bersama Laboratorium Intelektual Humanawa

Sumbe Gambar: Laboratorium Intelektual Humanawa

28 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 16 November 1995, UNESCO mendeklarasikan Hari Toleransi Internasional untuk membangun kesadaran akan pentingnya menghargai dan menghormati kemajemukan kehidupan manusia. Dalam upaya turut mengkampanyekan prinsip-prinsip toleransi sekaligus memperingati Hari Toleransi Internasional, Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa mengadakan diskusi “Toleransi Lintas Agama, Budaya, dan Ideologi: Sebuah Keberlanjutan atau Angan-Angan di Masa Depan?”. 

Diskusi ini diadakan pada Kamis, 16 November 2023 di Taman Universitas Mulawarman. Dipantik oleh Muhammad Al-Fatih (mahasiswa Universitas Mulawarman) sebagai Pemantik I, Muhammad Ichwan Ramadhani (Ketua Umum HMI Korkom Unmul) sebagai Pemantik II, dan Davynalia Pratiwi Putri (Duta Baca Unmul 2023) sebagai moderator diskusi tersebut. 

Diskusi tersebut dibuka dengan argumentasi mengenai toleransi dan relevansinya di Indonesia, beragamnya agama dan budaya, serta ideologi yang dipercayai oleh masyarakat, dan dijabarkan juga mengenai definisi dari toleransi yaitu bagaimana seseorang/sesuatu bisa memaklumi perbedaan yang ada sebagai faktor penting keberlangsungan di kehidupan yang sangat majemuk ini. 

Pemantik berargumen, jika tidak diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat maka konsekuensinya ada dua, terjadinya konflik antar masyarakat yang majemuk atau masyarakat yang majemuk ini harus dipaksa untuk menjadi masyarakat yang homogen. 

Disambung dengan pendapat dari Pemantik II bahwa toleransi adalah persoalan sikap, yakni sikap penerimaan. Kita diciptakan berbeda bukan untuk menegaskan perbedaan itu, tapi walaupun berbeda, kita tetap bisa untuk bersama demi tujuan yang lebih besar daripada kepentingan suatu kelompok. 

Sebagai contoh kasus, proses kemerdekaan Indonesia, pada saat itu kita tidak hanya berbicara mengenai Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa komunal dominan dan mayoritas lainnya, tapi kita berbicara tentang Indonesia. Bisa kita tilik isi dari Sumpah Pemuda, yang di mana menitikberatkan kepada kepemilikan Indonesia terhadap tanah air, bangsa, dan bahasa. Hal tersebut diniatkan untuk menyatukan perbedaan yang ada tanpa menghilangkan ciri khas tertentu dengan menyatakan Indonesia sebagai tonggak persatuan. 

Pemantik II juga menambahkan mengenai toleransi adalah sikap tidak mencampuri dan menyalahkan sesuatu yang berbeda dengan kita. Sikap toleransi hadir dengan harapan tidak ada pengkotak-kotakan masyarakat. Sangat berbahaya jika sesuatu atau seseorang berprinsip bahwa sesuatu yang tidak sama dengan dirinya adalah musuhnya.

Pemantik I menambahkan mengenai hubungan toleransi dengan hak asasi manusia dan konvensi-konvensi, salah satunya adalah International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination yang dilatarbelakangi oleh peristiwa Holocaust. Walaupun sangat ironis bahwa mereka yang pernah menjadi korban dari peristiwa itu, saat ini malah melanggar konvensi yang lahir dari peristiwa yang dulu menimpa mereka. 

Contoh kasus intoleransi ideologi di Indonesia sendiri adalah adanya wacana kaum nasionalis dan kaum radikal. Jika tidak nasionalis, pasti radikal. Wacana semacam ini pernah dipakai pada saat masa pemilu 2014 dan 2019. Teknik ini digunakan dengan sengaja untuk memecah-belah seperti halnya pasca peristiwa 9/11. “Either you are against them or against us.” Kurang lebih itulah yang dikatakan George H. Walker Bush pada saat itu, sedangkan realitanya tidak sehitam putih itu. 

Sangat disayangkan bahwa isu-isu toleransi di banyak kejadian adalah isu yang sangat dipolitisasi dalam lingkup lokal maupun global. Isu toleransi menjadi kontradiktif ketika isu ini tidak menguntungkan pihak yang mengusungkan isu toleransi. 

Zain selaku Koordinator Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa juga ikut menambahkan argumentasi Pemantik I perihal tahun-tahun politik dan bagaimana konteks nasional-internasional perihal toleransi. Ia berpendapat, bagaimana toleransi ini berlangsung ialah bagaimana masyarakat itu sendiri berlangsung. Isu-isu toleransi atau narasi-narasi intoleran biasanya berkembang dari masyarakat-masyarakat yang merasa termarjinalkan. 

Biasanya juga narasi-narasi yang dianggap intoleran ini cenderung berasal dari masyarakat yang justru mayoritas di dalam suatu lingkungan. Seperti di Amerika Serikat, narasi-narasi intoleran berasal dari mayoritas masyarakat kulit putih. Di indonesia sendiri narasi intoleran dikembangkan oleh agama mayoritas. 

Zain menawarkan solusi agar toleransi ini tetap eksis dengan mensejahterakan masyarakat, keharusan untuk mengurangi kesenjangan sosial, jadi narasi-narasi intoleran, narasi-narasi “kami” dan “mereka”, narasi-narasi “hak kami yang mayoritas direnggut oleh mereka-mereka yang minoritas” ini supaya tidak bisa berkembang. 

Jangan sampai narasi-narasi seperti itu dipakai di tahun-tahun politik yang akan datang. Yang seharusnya pemangku kebijakan membuat kebijakan yang mensejahterakan orang banyak, malah mengeksploitasi penderitaan masyarakat-masyarakat bawah untuk maju ke pucuk-pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif. 

Kembali ke ingatan awal kita, kita bisa seperti ini, kita bisa mengalami kedinamisan politik karena persatuan yang telah dibangun oleh para pejuang, para intelektual dulu. Untuk membangun apa yang dimakan “Indonesia” ini, kita perlu saling menerima, saling mengakui keberadaan sesuatu dan seseorang yang berbeda dengan kita. 

Pemantik II dan pemantik I ikut menanggapi argumentasi Zain dengan pengalaman empiris mereka, perbedaan atau identitas merupakan suatu keniscayaan di kehidupan sosial masyarakat. Pemantik I pun membagikan salah satu cara menghentikan intoleransi adalah membuat interaksi antar kelompok. Seperti yang kita lihat di Inggris, angka rasisme di Inggris cukup tinggi terutama terhadap Kaum Muslim. 

Namun, angkanya menurun ketika muncul pemain bola, Muhammad Salah. Berdasarkan riset, setelah ada Muhammad Salah, angka rasisme terhadap Muslim menurun, bahkan di hampir semua stadion di Inggris mulai ada mushola. Dari hal ini, bisa dikatakan adanya interaksi yang terjalin secara intensif bisa mematahkan stereotip yang berkembang. 

Adapun tanggapan dari Presiden BEM FMIPA, Muhammad Arjunada Al Asad, yang hadir dalam diskusi ini menyatakan bahwa intoleransi bisa dihapus apabila kita terjun langsung untuk mencari tahu kebenaran dari wacana-wacana yang beredar. Ia mengambil contoh aliran-aliran yang ada di dalam Agama Islam. Bagaimana beberapa aliran tersebut dipandang jelek karena media, padahal banyak dari kita yang kurang tahu bagaimana aliran itu sebenarnya. 

Bahkan, masih banyak orang-orang membenci aliran-aliran tersebut karena informasi palsu yang diciptakan oleh media. Jadi, apabila kita bisa jauh lebih objektif lagi menerima informasi yang ada, kita bisa sangat mengatasi sikap-sikap intoleran. 

Diskusi ini ditutup dengan kesimpulan bahwa terlepas dari berbagai macam tantangan, toleransi merupakan satu keniscayaan bagi eksistensi Negara Indonesia.

Press release ditulis Davynalia Pratiwi Putri, Kepala Bidang Administrasi dan Pendanaan Komunitas Laboratorium Intelektual Humanawa



Kolom Komentar

Share this article