Press Release

Freeport Didapat Tidak Gratis, Hati Masyarakat Indonesia Teriris

Ilustrasi (Sumber: Istimewa)

avatar
Sketsa Unmul

sketsaunmul@gmail.com


"Bangsa yang besar adalah bangsa yang berdaulat di bidang energi dan ekonomi. Dengan kita berdaulat, maka rakyat akan menjadi pemenang di negara sendiri."

Polemik tarik ulur antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia terkait permasalahan pelepasan saham telah menghasilkan kesepakatan pada Kamis, 12 Juli 2018. Proses pelepasan 51% saham PT Freeport Indonesia kepada pemerintah dapat dituntaskan, untuk mengakhiri tarik ulur yang sudah berlangsung puluhan tahun.

PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) dan Freeport-McMoRan telah meneken pokok-pokok kesepakatan divestasi atauHead of Agreement (HoA) saham PT Freeport Indonesia. Dalam kesepakatan ini Inalum akan menguasai 41,64% PT Freeport Indonesia. Langkah ini untuk menggenapi 51% kepemilikan saham oleh pihak nasional. Hasil ini tentu akan menjadi keuntungan besar bagi negara. Tetapi semua itu didapatkan tidaklah secara gratis. Diperlukan dana sekitar 55 triliun untuk divestasi saham Freeport dan membutuhkan waktu negosiasi kurang lebih 3,5 tahun.

Kewajiban divestasi 51% sebenarnya sudah diatur sejak PT Freeport Indonesia meneken Kontrak Karya yang kedua pada 1991, tetapi transisi kepemimpinan dan kebijakan membuat ketentuan tersebut membuat proses negosiasi antara kedua belah pihak menjadi lama. Bahkan di akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014, mengubah kewajiban divestasi menjadi 30%.

Kemudian, kebijakan itu dianulir oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, dengan menerbitkan aturan baru yang menganulir kebijakan divestasi 30% dan kembali menyatakan divestasi 51% untuk Indonesia.

Sudah 51 tahun PT Freeport Indonesia menggali sumber daya alam Indonesia dengan potensi tambang emasnya yang besar untuk mensejahterakan masyarakat. Ini tak terlepas dari pemerintah yang masih mempermudah regulasi bagi pihak asing sehingga kita menjadi penonton dirumah sendiri. Hasilnya, jelas merugikan Indonesia dengan hanya memiliki saham di PT Freeport Indonesia sebesar 9,36%.

Selama ini, sumber daya alam kita tidak bisa mensejahterakan masyarakat karena pihak asing mengebiri. Jelas, pemerintah tidak pernah berdaulat dan selalu bertentangan dengan amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Tentu, masih banyak catatan kritis dari kesepakatan divestasi saham 51% untuk pemerintah ini dan ternyata belum ada transparasi capaian kesepakatan secara detail terkait penentuan nilai dan pelepasan saham PT Freeport Indonesia yang membutuhkan dana sebesar 3,85 miliar dolar AS.

Berikut catatan kritis dan sikap BEM FEB Unmul terkait divestasi saham sebagai berikut:

  1. Mendesak pemerintah untuk mentransparasikan capaian komitmen dan kesepakatan akan bentuk pengelolaannya yang sesuai dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
  2. Mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas dan memberikan sanksi terkait pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport Indonesia.
  3. Menuntut pemerintah untuk konsisten memberikan PI 10% kepada masyarakat Papua.
  4. Mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus PHK 8.000 karyawan PT Freeport Indonesia dengan mendapatkan hak kerjanya kembali.
  5. Menagih janji pemerintah untuk menjaga kedaulatan energi, migas dan sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Ada fakta menarik terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia. Pertama, adanya HoA ini belum memastikan saham Freeport milik Indonesia. Pasalnya transaksi kedua belah pihak belum terealisasi. Belum adanya capaian kesepahaman, komitmen dan kesepakatan akan bentuk pengelolaannya sesuai IUPK. PT Freeport Indonesia bukan hanya harus melepaskan 51% sahamnya untuk dimiliki Indonesia. 

Namun perlu ditegaskan, PT Freeport Indonesia juga harus menyepakati klausa kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri untuk peningkatan nilai tambah dan sepakat atas ketentuan fiskal dan perpajakan secara prevailing yang disyaratkan pemerintah. Namun, butir-butir tersebut belum dicapai dalam kesepakatan disvestasi termasuk pula masalah kepastian tenaga kerja yang di PHK akibat kasus operasional dan permasalahan kerusakan lingkungan.

Fakta kedua, belum jelasnya mekanisme penyerahan PI 10% kepada Papua. Karena perjanjian perpanjangan Kontrak PT Freeport Indonesia hanya tertulis pelepasan saham 51% yang akan diserahkan kepada PT. INALUM sebagai pelaksana. Secara sederhana, peralihan dari rezim kontrak karya ke rezim IUPK hanya menyebutkan perjanjian 51% kepada pemerintah sedangkan posisi PI 10% ke Papua bukan bagian dari isi kontrak PT Freeport Indonesia terbaru. PI hanya diatur dalam bentuk MoU, bukan terikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Hingga hari ini, hasil kesepakatan antara PT Freeport Indonesia dan pemerintah masih terus dijalankan. Namun, pemerintah banyak sekali kebobolan dalam kesepakatan disvestasi kali ini. Kegagalan sebagai negara berdaulat terlihat dengan hasil menang dan kalah. Menang untuk PT Freeport Indonesia dan kalah untuk rakyat Indonesia. Jelas, pemerintah mengaburkan semangat kedaulatan dalam mengelola hasil kekayaan alam dari bumi pertiwi untuk menghapus kesenjangan yang terjadi di masyarakat.

Nasionalisasi harus terus digaungkan jika ingin rakyat sejahtera. Indonesia harus berani bersikap sehingga tidak lagi dipermainkan atau malah dirugikan!

Siaran Pers BEM FEB Unmul terkait divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia yang ditulis oleh Freijae Rakasiwi, Gubernur BEM FEB Unmul 2018.



Kolom Komentar

Share this article